Minggu, 12 Oktober 2025
2Raj. 5:14-17.
Mzm. 98:1,2-3ab,3cd-4.
2Tim. 2:8-13.
Luk. 17:11-19
BERSYUKUR bukan hanya ucapan spontan ketika sesuatu berjalan sesuai keinginan kita.
Bersyukur yang sejati tidak bergantung pada keadaan, melainkan lahir dari hati yang mengenal Tuhan secara pribadi.
Ketika seseorang sungguh mengenal kasih dan penyelenggaraan Tuhan, ia akan mampu melihat kehadiran-Nya di balik setiap peristiwa, baik suka maupun duka.
Sering kali, kita mengaitkan rasa syukur dengan keberhasilan, kesehatan, atau berkat yang tampak. Namun, bagaimana ketika hidup tidak berjalan seperti yang diharapkan?
Ketika doa belum dijawab, atau jalan terasa gelap? Justru di saat itulah makna syukur diuji. Syukur sejati tidak menunggu keadaan membaik, tetapi tetap diucapkan dengan keyakinan bahwa Tuhan sedang berkarya dengan cara-Nya yang indah.
Orang yang bersyukur memiliki mata iman: ia melihat bukan hanya apa yang tampak, tetapi juga tangan Tuhan yang bekerja di balik layar kehidupan.
Ia percaya bahwa setiap hal , bahkan penderitaan, dapat menjadi sarana untuk bertumbuh, memperdalam iman, dan mendekatkan diri pada Tuhan.
Bersyukur dalam segala hal membuat hati damai, sebab kita menyerahkan kendali hidup kepada Allah yang penuh kasih.
Kita tidak lagi ditentukan oleh situasi, melainkan oleh keyakinan bahwa Tuhan tetap memelihara dan menyertai kita setiap hari.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Dan seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring.”
Kisah sepuluh orang kusta yang disembuhkan Yesus mengajarkan kepada kita pelajaran iman yang sangat mendalam.
Dari sepuluh orang yang menerima kesembuhan, hanya satu yang kembali kepada Yesus untuk mengucap syukur. Yang lain pergi melanjutkan hidupnya tanpa kembali kepada sumber berkat itu.
Kerap kali, kita pun seperti sembilan orang kusta lainnya. Saat berada dalam kesulitan, kita berdoa dengan sungguh-sungguh: memohon pertolongan, mencari keajaiban, meminta Tuhan hadir.
Setelah keadaan membaik, kita sering lupa untuk kembali kepada-Nya. Kita lupa bersyukur, lupa mengakui bahwa semua kebaikan yang kita alami bersumber dari kasih Tuhan.
Padahal, hubungan sejati dengan Tuhan bukan hanya muncul di saat duka, tetapi juga di saat suka.
Tuhan bukan tempat pelarian ketika kita terjepit, melainkan Sahabat setia yang selalu layak disapa dalam setiap situasi hidup, baik saat kita menangis maupun saat kita tertawa.
Bersyukur bukan sekadar reaksi atas hal baik, tetapi sebuah sikap hati yang mengenali kehadiran Tuhan dalam setiap hal.
Orang yang bersyukur akan menemukan damai bahkan di tengah penderitaan, sebab ia tahu bahwa Tuhan tetap bekerja dan memelihara hidupnya.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku hanya mengandalkan Tuhan ketika mengalami kesulitan?