Minggu, 26 Oktober 2015
Sir. 35:12-14,16-18.
Mzm. 34:2-3,17-18,19,23; 2Tim. 4:6-8,16-18.
Luk. 18:9-14
DOA bukanlah tentang seberapa indah kata-kata yang kita ucapkan, melainkan tentang seberapa jujur hati kita di hadapan Allah.
Banyak orang bisa berdoa dengan susunan kalimat yang indah, penuh ungkapan rohani dan kata-kata suci. Namun di hadapan Tuhan, keindahan bahasa tidak pernah lebih berharga daripada kejujuran hati.
Doa yang rendah hati tidak berusaha menutupi luka, dosa, atau kelemahan. Ia justru datang membawa semuanya di hadapan Allah, seolah berkata: “Tuhan, inilah aku apa adanya, tanpa topeng, tanpa pembenaran, tanpa kebanggaan.”
Di situlah doa menjadi nyata: bukan upaya untuk tampak baik, tetapi kerinduan untuk menjadi benar di hadapan-Nya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini.”
Orang Farisi memamerkan kesalehan dan puas dengan keberhasilannya. Namun tanpa disadari, doanya bukan lagi persembahan kepada Tuhan, melainkan pujian bagi dirinya sendiri. Ia berbicara tentang dirinya, bukan kepada Tuhan.
Sementara itu, pemungut cukai berdiri jauh, tidak berani menengadah, hanya memukul dadanya dan berkata, “Ya Allah, kasihanilah aku, orang berdosa ini.”
Tidak ada prestasi yang ia sebutkan, tidak ada pembenaran diri, hanya hati yang hancur dan penyesalan yang tulus.
Yesus menegaskan, justru pemungut cukailah yang pulang sebagai orang yang dibenarkan Allah. Karena Tuhan memandang hati yang hancur dan rendah, bukan mulut yang penuh keangkuhan.
Doa yang penuh kesombongan mudah mengenakan topeng: berbentuk ucapan syukur, tetapi sesungguhnya pamer keberhasilan.
Kita mungkin berkata, “Terimakasih Tuhan, karena Engkau membuat aku lebih baik dari mereka.”
Namun di balik kata-kata itu tersimpan kesombongan halus yang menutup pintu rahmat.
Sebaliknya, doa yang rendah hati lahir dari kesadaran bahwa tanpa Tuhan kita tidak mampu apa-apa.
Orang yang rendah hati berdoa bukan untuk didengar manusia, melainkan untuk didengar Tuhan. Ia tidak menuntut agar doanya segera dikabulkan, melainkan menyerahkan diri pada kehendak-Nya.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku pernah secara halus memamerkan kesalehan atau keberhasilanku di hadapan Tuhan atau orang lain?










































