Sinta Pejalan Kaki

0
19 views
Berjalan kaki naik turun bukit untuk napak tilas pelayanan katekis Barnabas Sarikrama oleh murid dan guru SD Kanisius Kenalan. (SD Kanisius Kenalan)

PULUHAN tahun silam, udara Subuh di Desa Sukamaju masih pekat oleh aroma embun dan tanah basah. Ayam jantan belum sepenuhnya bangun, tetapi lampu minyak kecil di dapur rumah Sinta sudah menyala. Jarum jam menunjukkan pukul 05.00 WIB.

Sinta Permata Sari, gadis empat belas tahun dengan kepang dua yang selalu rapi, sudah duduk di meja belajar sederhananya. Buku-buku pelajaran menumpuk, siap untuk dicerna sebelum mentari benar-benar meninggi.

Dia adalah murid kelas IX di SMP Darma Rakit, sebuah sekolah yang terletak di ibu kota kecamatan, berjarak sekitar tujuh kilometer dari desanya.

Jarak tujuh kilometer itu bukanlah lintasan yang bisa ditempuh dengan mudah. Tidak ada angkutan umum yang menjangkau Sukamaju, dan sepeda satu-satunya milik keluarga hanya bisa dipakai oleh ayahnya, seorang petani paruh waktu, untuk mengangkut hasil kebun.

Maka, sejak kelas VII, Sinta telah menobatkan dirinya sebagai “Pejalan Kaki Sejati.”

Pukul 06.15 WIB, setelah membantu Ibu menyiapkan sarapan, Sinta mengenakan sepatu kets usang yang solnya sudah menipis. Tas punggungnya berisi buku dan bekal nasi jagung. Sebuah tekad keras terpancar dari matanya yang bening.

“Hati-hati, Nak. Kalau ada yang mengganggu, jangan diladeni,” pesan Ibu, mengusap bahunya.

“Iya, Bu. Sinta pamit,” jawab Sinta, mencium punggung tangan Ibu.

Langkah kaki Sinta menyusuri jalan setapak desa, melintasi sawah yang berembun, kemudian beralih ke jalanan aspal yang mulai menanjak menuju kecamatan. Kakinya seperti sudah terprogram, bergerak ritmis dan stabil. Seakan setiap langkahnya adalah tapak menuju masa depan yang dicita-citakannya: menjadi seorang dosen, profesi mulia yang bisa mencerdaskan anak bangsa, memutus rantai kemiskinan dengan ilmu.

Di sepanjang perjalanan, ia sering kali berjalan sambil menggumamkan rumus-rumus matematika atau menghafal istilah-istilah biologi. Otaknya bekerja optimal di bawah desakan waktu dan jarak.

Sesampainya di gerbang SMP Darma Rakit, Sinta biasanya sudah berkeringat tipis, tetapi wajahnya selalu menampilkan senyum lega. Dia menjadi sosok yang paradoks; murid paling cerdas di angkatannya, tetapi juga yang paling pendiam.

“Wah, Si Kaki Baja sudah sampai!” Suara ejekan itu datang dari Madun, siswa berbadan gempal yang sering bolos. Madun selalu merasa superior karena ia diantar motor ayahnya sampai gerbang sekolah.

Madun tertawa bersama Beno, teman karibnya. “Ngapain capek-capek jalan? Otakmu pintar, tapi apa gunanya kalau kamu jalannya saja harus tujuh kilo? Besok-besok, kamu kuliah di mana? Mau jalan kaki juga?”

Sinta hanya menunduk, mengelap keringat di pelipisnya. Ia memilih bungkam. Bukan karena takut, melainkan karena ia sadar, meladeni Madun hanya akan menguras energi yang ia butuhkan untuk belajar. Namun, tidak semua teman seperti Madun.

Ada Jaka, ketua OSIS yang sangat kagum pada ketangguhan Sinta. Ada juga Yani dan Susan, dua siswi cerdas dari keluarga berada, yang diam-diam menjuluki Sinta dengan sebutan “Pejuang Ilmu.”

“Jangan dengarkan mereka, Sin,” kata Jaka, menghampiri Sinta di koridor. Jaka adalah teman sekelasnya yang juga sering bersaing ketat dalam perolehan nilai. “Aku serius, Sin, kamu itu inspirasi. Aku saja yang cuma naik sepeda kayuh dua kilo kelelahan, lha kamu…” Jaka menggelengkan kepala.

Sinta tersenyum tipis. “Terimakasih, Jaka. Aku cuma tidak punya pilihan lain.”

“Itu bukan soal pilihan, itu soal mental, Sinta. Soal ketangguhan,” timpal Susan yang tiba-tiba datang.

Meskipun mendapat dukungan, Sinta tetaplah gadis yang kurang pergaulan. Dunia Sinta hanya berkisar antara rumah, buku, dan jalan setapak. Ia sering menolak ajakan teman-teman untuk berkumpul sepulang sekolah, bukan karena sombong, melainkan karena ia harus segera memulai perjalanan pulangnya sebelum hari terlalu sore.

“Maaf, aku harus cepat pulang. Ada banyak tugas yang harus kuerjakan,” kata Sinta, suatu sore, menolak ajakan Yani untuk mengerjakan PR kelompok di rumah Yani.

Yani menghela napas. “Tapi, Sin, kita bisa belajar kelompok sambil makan martabak, lho. Kita bisa lebih santai…”

“Maaf,” Sinta memotong dengan sopan, matanya menatap jam dinding sekolah, “Tujuh kilometer itu jarak yang jauh. Aku tidak bisa terlambat.”

Ketidakmampuan Sinta untuk bersosialisasi ini sering disalahpahami. Madun menyebarkan gosip bahwa Sinta pelit dan sombong. Padahal, Sinta hanya memprioritaskan waktu secara ketat.

Satu jam terlambat, berarti ia harus berjalan di kegelapan hutan kecil di perbatasan desa. Satu jam terlambat, berarti waktu belajarnya di malam hari akan berkurang drastis.

Ketangguhan Sinta benar-benar diuji saat menjelang Ujian Nasional.

Hujan deras mengguyur Sukamaju selama dua hari tanpa henti, membuat jalanan tanah di desa menjadi lumpur tebal.

Pada hari ketiga, Madun dan Beno dengan bangga menceritakan bahwa mereka izin tidak masuk sekolah karena motor mereka tidak bisa melewati lumpur.

“Lagi pula, sebentar lagi UN, kan? Satu hari bolos tidak akan membuat bodoh,” kata Madun dengan seringai lebar.

Pagi itu, Sinta harus bangun lebih awal. Ia mengikat kantong plastik besar di kaki dan lututnya untuk melindungi sepatu dari lumpur yang bisa mencapai betis. Ia tidak mungkin tidak masuk. Setiap menit pelajaran adalah emas baginya.

Ia berjalan, menjejak lumpur tebal. Beberapa kali ia terpeleset, buku-buku di tasnya nyaris basah. Ia harus menggunakan tongkat kayu untuk menjaga keseimbangan. Tangan dan kakinya penuh lumpur, nafasnya terengah. Tapi ia terus maju. Cita-citanya menjadi dosen, mengajar di universitas ternama, terus berputar di benaknya.

“Ini bukan lumpur, ini tantangan,” bisik Sinta pada dirinya sendiri. “Semua orang bisa naik kendaraan, tapi tidak semua orang bisa bertahan dalam kondisi seperti ini.”

Ketika Sinta tiba di sekolah, ia sudah terlambat lima belas menit dan penampilannya sangat kontras dengan teman-temannya yang bersih dan rapi. Kepala Sekolah, Pak Ridwan, kebetulan sedang berada di gerbang.

“Sinta. Kamu kenapa, Nak?” tanya Pak Ridwan cemas melihat Sinta yang berlumur lumpur, tapi matanya memancarkan kelelahan dan kebanggaan.

“Maaf, Pak. Jalanan desa sangat parah. Tapi saya berhasil sampai,” jawab Sinta, suaranya sedikit serak.

Pak Ridwan terdiam. Di belakangnya, Yani, Susan, Jaka, bahkan Madun dan Beno yang datang hari itu, menyaksikan semua.

“Pergi ke toilet, bersihkan diri. Kamu luar biasa, Nak,” ujar Pak Ridwan, suaranya penuh haru.

Sore harinya, saat bel pulang berbunyi, Sinta bersiap untuk berjalan kaki kembali. Tiba-tiba, Jaka menghampirinya.

“Sin, jangan menolak. Hari ini aku akan mengantarmu dengan sepedaku, cuma sampai perbatasan jalan yang berlumpur.

Susan dan Yani ikut menyambung. “Ya, Sin. Besok-besok kami akan bergantian menjemputmu. Atau paling tidak, mengantarmu sampai titik jalan yang paling mudah. Kami tidak mau kamu sakit menjelang UN.”

Madun, yang kebetulan mendengar, hanya bisa menunduk malu. Ia melihat betapa bodohnya ia selama ini mengejek gadis yang memiliki ketangguhan yang jauh lebih besar darinya.

Sinta menatap teman-temannya. Untuk pertama kalinya, air matanya menetes bukan karena lelah atau ejekan, melainkan karena haru. Ia menyadari, kerja keras dan ketangguhannya selama ini tidak hanya menguatkan dirinya sendiri, tetapi juga telah membuka mata teman-temannya. Ia tidak lagi sendirian.

Ujian Nasional tiba dan berlalu. Hasilnya mengumumkan sebuah keajaiban: Sinta Permata Sari meraih nilai tertinggi se-kecamatan, bahkan masuk daftar sepuluh besar nilai terbaik se-kabupaten.

Beberapa bulan kemudian, saat Sinta menerima beasiswa penuh untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas terbaik di kota, ia berpidato di hadapan warga desa dan guru-gurunya.

“Setiap langkah kaki saya selama tiga tahun ini bukan sekadar jarak. Tujuh kilometer itu adalah pelajaran. Tujuh kilometer itu adalah janji. Janji bahwa kemiskinan dan keterbatasan tidak boleh menjadi alasan untuk berhenti bermimpi.

Profesi dosen yang saya cita-citakan adalah simbol. Simbol bahwa ilmu pengetahuan adalah satu-satunya jalan tercepat untuk keluar dari lumpur kehidupan,” ucap Sinta, suaranya bergetar tetapi penuh keyakinan.

Ia menatap kakinya, lalu tersenyum. Sinta Pejalan Kaki. Julukan yang dulu kadang terasa menyakitkan, kini menjadi lencana kehormatan. Lencana tentang ketangguhan yang dicapai dari kerja keras yang tak kenal menyerah.

Kisahnya adalah bukti nyata bahwa jarak terpanjang menuju kesuksesan harus ditempuh, langkah demi langkah, dengan keyakinan yang teguh.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here