60 Tahun Gravissimum Educationis, Paus Leo XIV Rilis Surat Apostolik “Disegnare Nuove Mappe di Speranza”

0
59 views
Ilustrasi: Para murid SD Kanisius Murukan di Wedi, Klaten, mengungkapkan sukacita lulus sekolah dengan aksi lempar topi ke atas. (Ist)

BERSAMA para mahasiswa Universitas Kepausan hari Senin 27 Oktober 2025 kemarin dan dalam rangka Yubileum Dunia Pendidikan, Paus Leo XIV menandatangani sebuah Surat Apostolik untuk memperingati enam puluh tahun Gravissimum Educationis. Pertemuan kemarin itu sekaligus kesempatan bersama untuk merenungkan relevansi Deklarasi Konsili tersebut di masa kini dan tantangan yang dihadapi dunia pendidikan; khususnya bagi sekolah dan universitas Katolik.

Surat tersebut akan dipublikasikanSelasa tanggal 28 Oktober 2025 hari ini.

Setelah penandatanganan dokumen, Paus memimpin Perayaan Ekaristi di Basilika Santo Petrus. Dalam homilinya, Paus mengingatkan makna mendalam dari ziarah yang menandai perayaan Yubileum: “Hidup hanya bermakna ketika dijalani sebagai sebuah perjalanan.”

Ia menjelaskan bahwa melintasi ambang Pintu Suci mengingatkan kita bahwa iman, seperti halnya hidup, bukanlah sesuatu yang statis. Iman adalah proses “menyeberang terus-menerus,” dari kematian menuju kehidupan, dari perbudakan menuju kebebasan — pengalaman akan Misteri Paskah yang memanggil kita kepada pembaruan dan harapan yang berkelanjutan.

Pandangan yang lebih luas

Mengalihkan perhatian kepada para mahasiswa dan akademisi, Paus Leo bertanya, karunia apa yang paling dalam menyentuh hidup mereka?

Lalu ia menjawab: “Itu adalah rahmat dari suatu pandangan yang luas, sebuah perspektif yang mampu menangkap cakrawala, yang dapat melihat melampaui diri sendiri.”

Merenungkan bacaan Injil Lukas (13:10–17), di mana Yesus menyembuhkan seorang perempuan yang bungkuk selama delapan belas tahun, Paus membandingkan kesembuhan itu dengan anugerah pengetahuan. Kondisi perempuan itu, kata Paus, mencerminkan keadaan penutupan rohani dan intelektual — ketidakmampuan untuk melihat melampaui diri sendiri.

“Ketika manusia tidak mampu melihat melampaui dirinya, melampaui pengalaman, ide, dan keyakinan mereka sendiri, melampaui proyek pribadinya,” jelas Paus, “maka mereka tetap terpenjara, diperbudak, dan tidak mampu membentuk penilaian yang matang.”

Studi sejati, lanjutnya, menjadi tindakan pembebasan. Sebagaimana Kristus menegakkan perempuan itu agar berdiri tegak, demikian pula pembelajaran mengangkat semangat manusia, menyembuhkan keasyikan diri, dan membuka pandangan yang lebih luas — pandangan yang merangkul misteri, kebenaran, dan persekutuan dengan sesama.

“Mereka yang belajar,” kata Paus, “telah ‘diangkat’, memperluas cakrawala dan perspektif mereka agar memperoleh pandangan yang tidak tertunduk ke bawah, tetapi mampu memandang ke atas — kepada Allah, sesama, dan misteri kehidupan.”

Kesatuan iman dan akal budi

Paus Leo kemudian menyayangkan bahwa di dunia modern, umat manusia telah menjadi “ahli dalam hal-hal terkecil dari realitas,” tetapi kehilangan pandangan menyeluruh — pandangan yang memadukan pengetahuan dengan makna. Menghadapi fragmentasi ini, Paus mengajak para sarjana untuk menemukan kembali harmoni antara intelek dan roh, suatu kesatuan yang diwujudkan oleh para santo seperti Agustinus, Thomas Aquinas, Teresa dari Ávila, dan Edith Stein.

“Gereja membutuhkan pandangan terpadu ini, baik untuk masa kini maupun masa depan,” lanjut Paus, sambil mendorong para mahasiswa dan dosen agar karya akademis mereka tidak berhenti pada “latihan intelektual yang abstrak,” tetapi menjadi kekuatan yang mengubah hidup, memperdalam iman, dan meneguhkan kesaksian Injil.

Pendidikan sebagai tindakan kasih

Paus menggambarkan misi para pendidik sebagai karya belas kasih yang sejati. Mengajar, katanya, seperti mukjizat dalam Injil: “Sebab karya pendidik adalah mengangkat orang lain, membantu mereka menjadi diri mereka sendiri dan mengembangkan suara hati yang tercerahkan serta kemampuan berpikir kritis.”

Ia menegaskan bahwa universitas-universitas kepausan harus terus melanjutkan gerak Yesus ini — suatu bentuk amal yang diwujudkan melalui studi.

Memberi makan rasa lapar akan kebenaran, lanjut Paus, bukan sekadar kewajiban akademis, melainkan tugas kemanusiaan yang mendalam.

“Memenuhi rasa lapar akan kebenaran dan makna adalah tugas yang esensial,” katanya, “sebab tanpa itu kita akan jatuh ke dalam kehampaan dan bahkan menuju kematian.”

Perjalanan menuju rasa memiliki dan harapan

Menutup homilinya, Paus Leo mengingatkan bahwa pencarian akan kebenaran bukan hanya menyingkapkan pengetahuan, melainkan juga rasa memiliki.

Mengutip surat Rasul Paulus: “Kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu kembali takut, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah” (Rm 8:15), Paus mengatakan bahwa dalam studi dan penelitian, setiap orang dapat menemukan kembali kebenaran terdalam: bahwa kita tidak sendirian, melainkan milik Bapa yang penuh kasih, yang memiliki rencana atas hidup kita.

Akhirnya, Paus berdoa agar semua yang mengemban panggilan akademik menjadi “pribadi yang tidak tertunduk pada dirinya sendiri, tetapi selalu tegak berdiri,” sambil membawa “sukacita dan penghiburan Injil ke mana pun mereka pergi.”

PS: Sumber Vatican News; kredit foto: Vatican Media

Paus Leo XIV merilis Surat Apostolik dalam rangka peringati 60 tahun Gravissimum Educationis, 28 Oktober 2025. (Vatican Media)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here