OMK St. Petrus Warak: Gereja Bukan Gedung, Refleksi tentang “Rumah” Kaum Muda

0
88 views
OMK Santo Petrus Paroki Warak di Kabupaten Sleman, DIY, gelar refleksi tajam tentang makna "Rumah" di penghujung Specta. Kegiatan pentas seni diisi dengan gelaran band. (Panitia)

SEBUAH perjalanan panjang yang sarat akan energi dan makna akhirnya mencapai puncaknya. Rangkaian acara akbar “Specta” yang diinisiasi oleh Orang Muda Katolik (OMK) Santo Petrus Warak, Kabupaten Sleman, DIY, telah resmi ditutup dalam sebuah perayaan yang menggabungkan kedalaman spiritual dan gegap gempita kreativitas.

Setelah sukses mengobarkan semangat persaudaraan lewat Turnamen Futsal, dan merayakan keragaman ekspresi melalui Lomba Lukis serta Kompetisi Mobile Legends, Specta menepati janjinya untuk “pulang” ke inti persoalan: menjadi rumah.

Acara puncak yang digelar pada Minggu 26 Oktober 2025 ini terbagi dalam dua babak yang saling melengkapi: Ekaristi Kaum Muda (EKM) yang sakral dan Pentas Seni yang meriah.

Keduanya menjadi jawaban utuh atas tema besar yang diusung: “Mengenali Diri, Menyuarakan Asa, dan Melangkah Bersama”.

Salah satu adegan dalam film pendek berjudul “Rumah” yang dipertontonkan dalam Specta OMK Paroki Warak, Sleman, DIY. (Panitia)
Rena dalam salah satu adegan film pendek bertitel “Rumah”. (Panitia)

Homili yang menghantam realita: sebuah film bernama “Rumah

EKM kali ini terasa begitu istimewa dan berbeda. Dipimpin langsung oleh Romo Paroki Santo Petrus Warak, Romo Yohanes Yunuar Ismadi Pr, misa ini tidak berjalan seperti biasa. Atmosfer gereja yang hening seketika berubah menjadi ruang sinema yang kontemplatif. Tepat setelah pembacaan Injil

Film berjudul “Rumah” itu menampar jemaat dengan sebuah cerita yang getir namun jujur. Penonton diperkenalkan pada sosok Rena, seorang laki-laki muda yang hidupnya adalah rangkuman dari mimpi buruk Generasi Z. Di sekolah, ia menghadapi tunggakan SPP dan patah hati karena pacarnya berselingkuh. Namun, alih-alih menjadi tempat berlindung, rumahnya justru menjadi sumber luka yang paling dalam.

Penonton menyaksikan bagaimana Rena pulang ke rumah yang dingin, disambut pertengkaran orang tua. Ayahnya, yang kecanduan judi slot dan mabuk-mabukan, menghabiskan uang SPP-nya. Rena tidak mendapatkan kehangatan, sapaan, atau pelukan.

Ia terasing di dalam rumahnya sendiri. Dalam pergolakan jiwa dan puncak keputusasaan, Rena memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan loncat dari jembatan.

Di titik nadir itulah, film ini memberikan resolusi. Beberapa teman OMK melihatnya, mencegahnya, dan yang terpenting: merangkulnya. Mereka tidak menghakimi, mereka hanya menemani dan mengajak Rena masuk ke dalam komunitas OMK.

Film ditutup dengan sebuah refleksi yang menusuk: “Kita hidup di dunia tidak dapat memilih di mana kita akan lahir. Ada dari kita lahir di keluarga yang terasa asing. Rumah yang diharapkan sebagai tempat bercerita, terasa jauh dan dingin… yang hanya ada kesibukan, pertengkaran, tuntutan, dan keheningan.”

OMK St. Petrus Paroki Warak bersama Vitri Angita, penyanyi dangdut umat paroki setempat. (Panitia)

Layar kemudian memunculkan sebuah pertanyaan besar yang ditujukan langsung kepada setiap OMK yang hadir:

  • “Apakah OMK mau merangkul sesama dan menjadi tempat yang nyaman?
  • Tempat di mana boleh mengadu, boleh syering tentang lelah?
  • Apakah Gereja dan OMK bisa menjadi tempat boleh lelah, boleh mengadu, dan mendengarkan sesama?
  • Jadikan Gereja rumah yang sesungguhnya. Gereja bukan lagi sekadar gedung, tapi rumah bagi manusia orang muda dalam mencari kasih, dimulai dari mendengarkan satu sama lain.”

Romo Yunuar: menjawab kegelisahan dengan realitas

Refleksi tajam dari film tersebut diperkuat dan dipertajam oleh Romo Yohanes Yunuar Pr dalam homilinya. Ia tidak menghindar dari realitas pahit yang dihadapi anak muda saat ini.

“Kondisi saat ini penuh dengan tuntutan,” tegas Romo Yunuar.

“Tuntutan untuk sukses, tuntutan rangking bagus, tuntutan IP bagus, tuntutan harus masuk sekolah idaman orangtua, tanpa mereka peduli kondisi si anak.”

Ia lalu menghubungkan cerita Rena dengan tragedi nyata yang viral belakangan ini. “Kita melihat kasus bunuh diri yang terjadi di anak muda, seperti yang menimpa Timothy, mahasiswa Universitas Udayana. Apa yang ia cari? Dalam tulisannya, ia hanya ingin punya teman. Tapi yang ia dapatkan adalah pembulian. Ia tidak punya tempat bercerita.”

OMK Paroki Warak gelar pentas seni dengan penampilan grup musik. (Panitia)

Kondisi ini, menurut Romo Yunuar, sangat memprihatinkan dan tidak boleh terulang lagi. Jika anak muda tidak menemukan “rumah”, mereka tidak hanya lari ke bunuh diri, tapi juga ke pergaulan bebas.

“Saya prihatin, akhir-akhir ini di Jogjakarta kita sering menemukan bayi yang dibuang. Ini adalah akibat dari anak-anak muda yang kehilangan arah, yang tidak punya tempat untuk mengadu,” lanjutnya.

Romo Yunuar kemudian menegaskan kembali pesan inti dari Specta.

“OMK harus menjadi ruang saling berbagi, saling berkreasi. Jangan sampai kita terjerumus di situasi yang tidak menentu ini. Gereja terbuka untuk umat. Jangan sungkan-sungkan datang ke gereja. Bila ada teman-teman kalian yang butuh tempat untuk bercerita, untuk berkreasi, ajak mereka terlibat. Gereja adalah rumah,” tandasnya.

Dari Refleksi Menuju Pesta Kreasi

Setelah misa yang penuh permenungan itu selesai, OMK Warak tidak membiarkan jemaat pulang dengan kegelisahan. Sebaliknya, mereka langsung menunjukkan wujud nyata dari “rumah” yang mereka tawarkan: sebuah Pentas Seni yang meriah.

Pelataran belakang gereja disulap menjadi panggung ekspresi. Acara dibuka dengan penampilan band-band dari berbagai paroki di Kevikepan Jogja Barat, menunjukkan bahwa persaudaraan yang telah terjalin di lapangan futsal berlanjut di atas panggung musik.

Suasana semakin asik ketika band tamu, Nawasena, naik panggung dan menghentak penonton dengan penampilan energik mereka. Puncak kemeriahan ditutup oleh penampilan spesial Vitri Anggita, artis dangdut yang juga merupakan Umat Paroki Warak sendiri, membuktikan bahwa “rumah” OMK adalah tempat di mana semua talenta, dari genre apa pun, dirayakan bersama.

Sebuah Mimpi yang Berawal dari Kegelisahan

Ketua Specta 2025, Mikael Maria Ansera Parama Swastyastu, menegaskan bahwa seluruh rangkaian acara ini adalah sebuah proses yang organik.

“Specta lahir dari refleksi, kegelisahan, sekaligus mimpi teman-teman OMK Santo Petrus Warak,” tutur Wastu. “Tema ‘Mengenali Diri, Menyuarakan Asa, dan Melangkah Bersama’ bukanlah slogan, melainkan rekaman jejak dari apa yang kami rasakan. Kami mencoba mengenali masalah yang ada, kami berani menyuarakan kegelisahan itu—lewat film, lewat diskusi, lewat lomba—dan malam ini, kita semua membuktikan bahwa kita bisa ‘melangkah bersama’.”

Specta 2025 mungkin telah usai, namun pesan yang ditinggalkannya baru saja dimulai. OMK Santo Petrus Warak telah membuktikan bahwa Gereja bisa lebih dari sekadar gedung tempat ibadah di hari Minggu. Ia bisa menjadi “ruang gawat darurat” bagi jiwa yang lelah, dan pada saat yang sama, menjadi panggung pesta bagi kreativitas yang meluap-rua.

“Semoga,” tutup Wastu, “acara ini bisa menjadi inspirasi bagi kita semua untuk berani menjadi bagian dari ‘rumah’ bagi sesama kita.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here