Saat Kehilangan Menjadi Titik Balik Kebijaksanaan

0
41 views
Ilustrasi - Saat merasa putus asa karena kehilangan semuanya. (Pixabay)

Jumat, 7 November 2025

Rm 15:14-21
Mzm 98:1-4
Luk 16:1-8

KECERDIKAN sejati bukan diukur dari seberapa banyak seseorang mampu mengumpulkan harta, melainkan bagaimana ia menggunakannya.

Harta duniawi hanyalah alat, bukan tujuan akhir. Orang yang bijak tahu bahwa semua yang dimilikinya hanyalah titipan Tuhan untuk diolah dan dibagikan demi kebaikan yang lebih besar.

Yesus memuji bendahara yang cerdik karena ia tahu bagaimana memanfaatkan yang sementara untuk masa depan yang kekal.

Ia tidak menunggu keadaan sempurna untuk bertindak, melainkan menggunakan kesempatan yang ada. Demikian pula kita, dipanggil untuk mengubah apa yang fana, waktu, tenaga, dan harta, menjadi berkat abadi melalui kasih dan pelayanan.

Hidup yang cerdik secara rohani berarti sadar bahwa setiap pemberian Tuhan memiliki maksud ilahi.

Ketika kita memberi kepada yang miskin, kita sedang menabung di surga. Ketika kita mendukung karya pelayanan, kita sedang menanam benih bagi Kerajaan Allah.

Ketika kita membangun kebaikan yang tak lekang oleh waktu, kita sedang mempersiapkan tempat di rumah Bapa.

Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Kata bendahara itu di dalam hatinya: Apakah yang harus aku perbuat? Tuanku memecat aku dari jabatanku sebagai bendahara. Mencangkul aku tidak dapat, mengemis aku malu.”

Kalimat di atas menggambarkan momen refleksi yang jujur dari seseorang yang kehilangan kendali atas hidupnya.

Sang bendahara tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan pahit: ia akan kehilangan posisinya, kehilangan rasa aman, dan harus memikirkan kembali arah hidupnya.

Dalam situasi genting itu, ia berpikir dalam hati, sebuah tanda bahwa ia mulai menyadari tanggung jawab dan konsekuensi dari tindakannya.

Sering kali, Tuhan mengizinkan kita masuk dalam keadaan “kehilangan jabatan,” “kehilangan kenyamanan,” atau “kehilangan kontrol” supaya kita berhenti sejenak dan bertanya dalam hati: Apa yang harus aku perbuat sekarang?

Pertanyaan itu bisa menjadi awal dari kebijaksanaan, bila dijawab dengan kejujuran dan iman.

Bendahara itu sadar akan keterbatasannya, tidak kuat mencangkul, malu mengemis. Tetapi di sanalah muncul kecerdikan: ia tidak menyerah, melainkan mencari cara agar hidupnya tetap berarti.

Dalam bahasa rohani, ini adalah panggilan untuk bertobat kreatif: menggunakan akal, waktu, dan kesempatan yang masih ada untuk memperbaiki hidup dan membangun relasi yang benar, baik dengan sesama maupun dengan Tuhan.

Hidup akan selalu berubah, jabatan bisa hilang, keadaan bisa berbalik. Namun mereka yang mau berpikir dalam terang iman, seperti bendahara itu, akan menemukan cara baru untuk hidup sesuai kehendak Allah.

Bagaimana dengan diriku?

Apakah saya lebih sering menyesali keadaan, atau mencari cara bijak untuk memperbaikinya bersama Tuhan?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here