Home BERITA Artikel Kesehatan: Kota Sehat

Artikel Kesehatan: Kota Sehat

0
Smart City by Ist

SETENGAH dari populasi dunia sekarang tinggal di kota. Pada tahun 2050, dua pertiga populasi dunia akan menjadi penduduk kota, dan 90% dari perubahan tersebut akan terjadi di Afrika dan Asia. Tren ini berarti bahwa fokus pada pembangunan perkotaan yang bermanfaat bagi kesehatan, lebih penting daripada sebelumnya.

Apa yang harus dicermati?

Jaringan Global Kota yang terdiri dari hampir 800 kota di 40 negara, didirikan untuk mendorong pertukaran pengalaman dan saling belajar antar kota di seluruh dunia, sehingga kota dapat memenuhi kebutuhan para penghuninya.

Urban Health Initiative (UHI) WHO berfokus untuk memasukkan faktor kesehatan ke dalam kebijakan pembangunan kota. Kota yang terlibat adalah Bonn (Jerman), Helsinki (Finlandia), Loncoche (Chile), Montevideo (Uruguay), Quito (Ecuador), Manchester (UK), Kanagawa (Jepang), Maco (Filipina), New York City (USA), dan Santo Domingo (Dominika).

Pembangunan kota harus mampu meningkatkan aktivitas fisik warganya,  menyediakan ruang terbuka hijau, meningkatkan keselamatan di jalan raya, mengurangi kemacetan lalu lintas, meningkatkan penggunaan transportasi umum, dan mendesain perkotaan yang kompak, sehingga memungkinkan orang dari segala usia dan kemampuan, untuk seaktif mungkin.

Pembuatan jalan raya harus mempertimbangkan kecepatan kendaraan, orang berjalan, masalah mobilitas, dan masalah keselamatan lainnya, bukan sekedar hanya merancang jalan sesuai ukuran kendaraan. Demikian pula, dimensi arsitektur fasilitas umum yang sangat tidak proporsional dengan ukuran tubuh manusia, terutama di lingkungan di mana orang ingin menghabiskan banyak waktu, tentu harus dikoreksi.

Hal ini penting karena peningkatan aktivitas fisik, membutuhkan ruang di mana orang tidak harus terburu-buru dan sedapat mungkin merasa nyaman.

Sejak 2010 Pemerintah Kota Istanbul, Turki telah membuat kota yang lebih mudah dinavigasi oleh pejalan kaki (traffic-calming measures), koneksi yang lebih baik ke tepi laut, dan lintasan pemantauan menyusuri jalan. Bahkan di banyak kota padat penduduk, desain ulang perkotaan dapat membawa manfaat, seperti di New York AS, yang membuat pejalan kaki sebagai bagian dari jalan utama.

Taman terbuka di plaza telah meningkatkan keselamatan di jalan dan juga perkembangan bisnis lokal, karena warga dapat lebih mudah mengakses area tersebut.


Accra adalah salah satu kota urbanisasi tercepat di Afrika, yang membuatnya menjadi kota yang ideal untuk menjadi pilot model UHI (Urban Health Initiative).

Accra adalah ibu kota sekaligus kota terbesar Ghana, Afrika dan terletak di bagian selatan Ghana dengan penduduk berjumlah 1.970.400 jiwa. Accra didirikan oleh suku Ga pada abad ke-15, sebagai pusat perdagangan bagi bangsa Portugal. Pemerintah Kota Accra  memiliki proyek sektor transportasi (termasuk jalur pejalan kaki dan pesepeda), pengelolaan limbah padat (termasuk pembakaran limbah terbuka), energi (terutama rumah tangga), dan perencanaan kota (termasuk ruang hijau publik).

Kebijakan ini termasuk perubahan cara kota mengelola limbah padat, juga menghilangkan minyak tanah dan arang sebagai bahan bakar utama dalam memasak, karena sangat berpolusi. Selain itu, juga mendorong orang untuk berhenti mengendarai mobil pribadi dan beralih menggunakan transportasi umum, berjalan kaki atau bersepeda.

Dengan demikian Ghana mendapat keuntungan besar menuju mitigasi perubahan iklim. Keterlibatan masyarakat untuk menginspirasi perubahan perilaku dan membangun momentum politik untuk perubahan kebijakan, telah terjadi di Accra.

Proyek percontohan kedua adalah di Kathmandu, Nepal, yang terletak di lembah berbentuk mangkuk di pegunungan Himalaya, yang telah lama terganggu oleh polusi udara. Polusi ini adalah dampak dari limbah transportasi, pengelolaan limbah padat, energi rumah tangga, dan pembakaran batu bata.

Projek diawali dengan mengumpulkan umpan balik tentang dampak kesehatan dan ekonomi dari polusi udara di Lembah Kathmandu dan saat ini sedang berlangsung.

Pendekatan untuk mengurangi kekerasan perkotaan  perlu disesuaikan dengan karakteristik kota. Dalam Model Cardiff, yang dikembangkan Universitas Cardiff di Wales, data dikumpulkan dari departemen gawat darurat rumah sakit, senjata yang digunakan penyerang, dan waktu terjadinya kekerasan.

Metode yang dilaksanakan adalah untuk mengurangi kekerasan jalanan (reducing street violence). Identifikasi lokasi kekerasan telah mengubah perubahan rute patroli polisi, sehingga mampu meningkatkan keselamatan anak sekolah, keselamatan di taman dan pejalan kaki, bahkan dukungan yang lebih baik bagi orang yang terluka dalam kekerasan rumah tangga.

Seluruh Inggris telah mengurangi pasien baru di rumah sakit, karena tindak kekerasan sebesar 42% dan kekerasan serius sebesar 32%. Pendekatan ini juga sangat menguntungkan dalam aspek biaya dengan analisis ekonomi. Model Cardiff telah digunakan di tujuh negara (Australia, Kolombia, Jamaika, Belanda, Afrika Selatan, Inggris, dan AS).

Pada tahun 2014, WHO meneliti derajad kesehatan orang lanjut usia (lansia) di  sub-Sahara Afrika, yaitu Bamenda (Kamerun), Conakry (Guinea), dan Kampala (Uganda). Para lansia melaporkan bahwa mereka tidak dihormati oleh banyak orang yang lebih muda, dan penyedia layanan publik berbeda dengan bagaimana memperlakukan orang tua mereka di masa lalu. Temuan ini sesuai dengan data survei dari 83.034 orang dewasa dari 57 negara, yang menemukan bahwa rasa hormat adalah rendah terhadap para lansia.

Di banyak negara berpenghasilan tinggi, pemanfaatan fasilitas kesehatan oleh warga meningkat seiring bertambahnya usia. Namun demikian, di sub-Sahara Afrika dan negara setipe, tren ini tidak ada, sehingga banyak lansia berada dalam derajad kesehatan yang lebih buruk dan lebih jarang menggunakan layanan kesehatan.

Derajad kesehatan yang buruk dan kemiskinan pada lansia menjadi lebih memprihatin, dengan berkurangnya kemampuan mereka menjaga kesehatan karena bertambahnya usia, kurangnya akses ke perawatan kesehatan yang mereka butuhkan, dan bagaimana mereka dapat menghidupi diri sendiri secara finansial.

Pembangunan kota yang ideal seharusnya dilengkapi dengan fasilitas kesehatan yang dapat diakses oleh para lansia. Namun demikian, dalam praktiknya masih ada sejumlah hambatan, termasuk kurangnya transportasi umum untuk mengakses layanan, kurangnya rumah yang ramah lansia, tingginya biaya pengobatan untuk kondisi kronis, sikap petugas kesehatan yang kurang ramah, dan tidak adanya ruang tunggu pasien atau sistem perjanjian bertemu dokter, yang dirancang khusus untuk lansia.

Selain itu, di banyak kota memerlukan akses ke perlindungan sosial dan keamanan pendapatan finansial, yang berkontribusi besar untuk mengurangi kekhawatiran terhadap proses penuaan pada lansia (reducing concerns over ageing).

Sebuah usulan pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke lokasi lainnya, telah didiskusikan sejak kepresidenan Soekarno, yaitu ke Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Pada tahun 2017 Presiden Joko Widodo kembali mengusulkan pemindahan ibu kota ke Palangka Raya.

Namun demikian, kunjungan Presiden Joko Widodo ke Hutan Raya Bukit Suharto di Kalimnatan Timur pada 7 Mei 2019, menunjukkan hal yang belum pasti. Pembangunan kota yang baru sebagai ibukota Indonesia ataupun revitalisasi kota lainnya, seharusnya mencermati hakekat dan kriteria kota sehat menurut UHI (Urban Health Initiative) bagi warganya.


Sudahkah kita bijak?

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version