Belajar dari St. Ignatius Loyola

3
127 views
Ilustrasi - Santo Ignatius de Loyola. (Ist)

LANGIT sore menggantung mendung tipis saat lima sahabat duduk melingkar di taman belakang sekolah. Di antara mereka, Rudi menggenggam sebuah buku lusuh berjudul Wasiat & Petuah St. Ignatius Loyola.

Di sampulnya terpampang potret seorang lelaki berjanggut tipis, mata tajam menatap ke kejauhan. Buku itu baru diselesaikan kemarin malam, dan entah mengapa, ada kegelisahan yang menyeret dirinya membuka percakapan hari ini dengan teman-teman.

Ia tahu, di usia seperti mereka -remaja kelas 11 SMA- pertanyaan tentang arah dan tujuan hidup perlahan mulai mengusik, meski sering ditutupi oleh tumpukan tugas, tekanan nilai, dan obsesi akan masa depan.

“Aku baru selesai baca ini,” ujar Rudi pelan.

“Kisah hidup Ignatius Loyola. Gila banget… dari ksatria penuh ambisi jadi peziarah rohani.”

Aleks menoleh dengan ekspresi penasaran. “Lho, bukannya dia itu orang suci ya? Santo gitu?”

Rudi mengangguk. “Iya, tapi awalnya dia itu sama kayak kita. Bahkan lebih parah. Hidupnya cuma soal reputasi, kekuasaan, dan kesenangan duniawi.

Dia itu bangsawan Spanyol, penggila duel dan wanita. Tapi semuanya berubah waktu pertempuran Pamplona tahun 1521. Kakinya kena meriam. Di atas ranjang sakit, dalam rasa hancur dan tak berdaya, dia mulai baca kitab suci dan kisah para santo – karena nggak ada bacaan lain.

Dari situ, benih pertobatannya mulai tumbuh. Dia mulai bertanya: buat apa semua ambisi ini kalau tak membawanya ke arah yang sejati?”

Rahel memandang langit senja yang mulai temaram. “Kayak kita juga ya. Dari kecil disuruh ranking, disuruh masuk universitas favorit. Tapi pernah nggak sih kita benar-benar nanya: hidup ini buat apa?”

Keheningan menyelimuti mereka sejenak, hingga Chandra yang biasanya pendiam ikut bersuara. “Gue suka bagian waktu Ignatius bilang: ‘Bukan banyak tahu yang memuaskan jiwa, tapi merasakan dan menghayati secara mendalam.’ Itu nyentuh banget. Kita tuh tahu banyak hal dari sekolah dan medsos, tapi jarang benar-benar paham apa yang dicari hati.”

Lenny, yang sejak tadi termenung, berkata pelan, “Aku ngerasa kayak Inigo sebelum Pamplona. Hidupku penuh ambisi orang lain. Aku sendiri bingung aku mau ke mana.”

Rudi kemudian menceritakan masa menyepi Ignatius di Manresa (1522–1523). Di gua sunyi itu, Ignatius berpuasa keras dan mengalami krisis batin mendalam: merasa tak layak, tergoda bunuh diri, bergumul dengan rasa bersalah dan kehampaan.

Tapi di sanalah dia mengalami titik balik spiritual, yakni menyadari bahwa Tuhan hadir bukan dalam jawaban instan, tapi dalam keheningan, dalam luka, dan dalam kerelaan untuk berubah.

Di Manresa pula dia menyusun cikal bakal Latihan Rohani, yang menyuarakan prinsip hidup baru: manusia diciptakan untuk memuji, menghormati, dan mengabdi Allah—dan dengan itu menyelamatkan jiwanya. Semua hal lain hanyalah sarana menuju tujuan itu.

“Setelah itu, dia ziarah ke Yerusalem tahun 1523,” lanjut Rudi. “Mau tinggal di Tanah Suci selamanya, melayani Tuhan. Tapi para Fransiskan di sana bilang itu bahaya banget karena konflik politik.

Dia terpaksa pulang.”

Aleks mengangkat alis. “Kok bisa ya, udah sejauh itu terus ditolak?”

Rudi mengangguk. “Justru karena ditolak berkali-kali, dia belajar rendah hati. Dari Yerusalem, dia sadar bahwa niat baik aja enggak cukup. Dia harus siap dibentuk Tuhan, bahkan lewat kegagalan.”

Sepulang dari Yerusalem, Ignatius sadar bahwa dia tak bisa membimbing orang lain kalau tak punya dasar pendidikan. Maka, meski sudah kepala tiga, ia mulai belajar Latin dari nol di Barcelona (1524–1526).

Yang luar biasa, dia belajar bersama anak-anak kecil tanpa malu. Setelah itu, dia lanjut ke Universitas Alcalá dan Salamanca, tapi di sana dicurigai menyebar ajaran sesat karena mengajar tanpa otoritas. Dia bahkan sempat dipenjara.

Namun bukannya menyerah, Ignatius justru memilih pergi ke Paris (1528) untuk belajar secara serius. Di sinilah dia bertemu teman-teman seperjalanan -Xavier, Faber, dan lain-lain- yang kelak menjadi pendiri Serikat Yesus (Yesuit).

“Di Paris Ignasius mulai sadar,” kata Rudi, “bahwa untuk mengabdi Allah sepenuh hati, dia nggak bisa sendirian. Harus bersama sahabat-sahabat yang sehati. Para sahabat mengangguk perlahan. Perjalanan Ignatius yang penuh luka dan kegagalan itu justru menjadi lahan subur bagi pertumbuhan rohaninya. Dia bukan menjadi suci karena tak pernah gagal, tapi karena terus mau belajar dari kegagalan.

“Akhirnya dia tinggal di Roma, memimpin Serikat Yesus,” lanjut Rudi. “Tapi walau jadi jenderal ordo, dia tetap sederhana. Dia membimbing orang muda, menulis ribuan surat, dan selalu berusaha mengarahkan semua karya demi kemuliaan Tuhan.”

Mereka mulai melihat bahwa Ignatius bukanlah figur ideal yang jauh dan tak tergapai, melainkan contoh nyata bahwa arah hidup bisa berubah total saat seseorang berani membiarkan dirinya disentuh krisis, ditata ulang oleh Tuhan, dan membuka diri terhadap panggilan yang lebih dalam dari sekadar ambisi pribadi.

Sore makin gelap, dan suara jangkrik mulai terdengar. Rudi menatap teman-temannya satu per satu. “Ignatius enggak mulai hidup barunya dengan semua jawaban. Dia mulai dengan satu pertanyaan jujur. Dan membiarkan Tuhan menjawabnya perlahan.”

Mereka terdiam, masing-masing mulai mendengarkan suara dalam dirinya: “Apa yang paling aku rindukan?” “Untuk siapa aku hidup?” “Apa yang bisa kuberikan, bukan cuma kukejar?”

Tidak ada yang bicara, tapi mereka mengerti, sesuatu telah bergeser di dalam.

Lampu-lampu taman menyala satu per satu, membentuk jalur cahaya yang samar. Mereka bangkit perlahan, tidak tergesa-gesa, membawa sesuatu yang tak tampak, tapi terasa: sepotong cahaya, sebutir niat, dan harapan akan hidup yang lebih bermakna.

Hari itu, di taman belakang sekolah, lima remaja memeluk pertanyaan-pertanyaan penting yang mungkin tak langsung terjawab, tapi justru mengantar mereka kepada satu arah baru – arah yang lebih sejati.

3 COMMENTS

  1. terima kasih romo.cerpen inspitratif dari tokoh Ignatius Loyola.”membiarkan Tuhan membentuk hidup lewat peristiwa-peritiwa tragis dalam hidup”. Salam AMDG

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here