KETIKA St. Ignatius de Loyola memproklamirkan berdirinya ordo religius baru di abad ke-16, banyak orang –termasuk Gereja—dibuat terperangah. Mereka geleng-geleng kepala tanda bingung bercampur kagum sekaligus cemas. Mengapa ordo religius yang baru seumur jagung ini berani mendeklarasikan dirinya dengan nama yang waktu itu sangat tidak lazim: Societas Iesu.
Kata bahasa Latin ‘societas’ berarti kawanan, kelompok. Kata Latin ‘Iesu’ berarti Yesus. Dengan demikian, Ignatius Loyola menyebut diri dan kelompok Patres Primi –teman-teman angkatan pertama—itu sebagai ‘Kelompok Yesus’.
Dalam bahasa Perancis, kelompok ini sering menyebut diri La Compagnie de Jésus. Istilah resmi bahasa Inggrisnya Society of Jesus yang dalam bahasa Indonesia lalu muncul terminologi baku sebagai “Serikat Yesus”. Lagi-lagi, konotasinya adalah kelompok/kawanan sahabat Yesus.
Wah, punya nyali sedemikian besar. Demikian barangkali ungkapan kegalauan para pembesar Gereja Katolik ketika disodori ‘proposal’ identitas nama sebuah ordo religius baru yang bernama Societas Iesu (SJ).
Ketika ‘proposal’ pendirian ordo baru dengan nama ‘wah’ itu akhirnya disetujui oleh Tahta Suci Vatikan dalam hal ini Paus Paulus III pada tahun 1540 melalui bulla “Regimini Militantis Ecclesiae”, maka resmi sudah Societas Iesu mulai eksis di dalam pangkuan Gereja Katolik. Dan sejak itulah, para imam baru yang rata-rata sudah berumur itu boleh menyandang nama “SJ” di belakang namanya.
Karena menyebut diri mereka sebagai ‘kawanan sahabat’ Yesus, maka kelompok imam-imam baru itu lalu sering disebut Les Jésuites –sebuah terminologi bahasa Perancis yang berkonotasi punya kaitan erat dengan Yesus.
Barulah pada tahun-tahun selanjutnya, muncul istilah “Yesuit” untuk menyebut para imam anggota Ordo Serikat Yesus.
Arti SJ
Setiap nama frater dan imam Yesuit selalu diikuti dengan huruf ’SJ’ yang merupakan akronim identifikasi keanggotaannya sebagai Yesuit. Terhadap sebutan “SJ” ini, penulis buku Pastor James “Jim” Martin SJ dengan terus-terang pernah dibuat jengah (untuk sesaat saja), ketika seorang perempuan dengan nada marah menulis surat kepada Redaksi Majalah America yang digawanginya.
Dengan garang, tulis Jim Martin dalam buku Spiritualitas Yesuit dalam Keseharian (2017), perempuan itu memprotes artikelnya.
”Ini mengenai Anda,” demikian tulis perempuan itu dengan amat galaknya ‘menyapa’ Pastor Jim Martin, ”SJ itu jelas-jelas merupakan singkatan dari ‘Stupid Jerk’”.
Pengalaman dimaki sebagaimana dialami oleh Pastor Jim Martin di tahun 2010 tentunya juga pernah dan sering dialami para Jesuit Perdana (Patres Primi) ketika para founding fathers ini mendirikan sekolah khusus anak lelaki (kemudian disebut collegium, kolese) dan bahkan rumah khusus untuk menampung para pekerja seks komersial. Banyak orang dibuat terkesima, ketika sejumlah Yesuit bisa masuk ke lingkaran dalam di Vatikan menjadi penasehat Paus.
Militansi para Yesuit
Gereja Katolik juga terperangah ketika seorang imam Yesuit asal Portugal dengan sangat militan berani mengarungi lautan hingga pernah mendarat di Maluku (Indonesia): Santo Fransiskus Xaverius. Lalu, ada dua imam Perancis bernama Isaac Jogues dan Jean de Brébeuf yang berani meninggalkan segala kemapanan hidup dan pergi ke permukiman kaum Indian Huron dan Iroquois di Canada pada abad ke-17 dan menemui kematiannya di sana dengan dipenggal kepalanya.
Begitu pula Pastor Edmund Campion SJ yang diam-diam berani melayani umat Katolik di Inggris pada abad ke-16 di tengah himpitan Kaum Protestan. Atau, yang paling grès adalah kisah heroik Pastor Walter Ciszek SJ yang mampu bertahan hidup dalam penderitaan ekstrem di kamp kerja paksa di Siberia, Rusia.
Tak boleh lupa juga harus menyebutkan para Yesuit yang berani berkarya di antara kaum papa di San Salvador (El Salvador, Amerika Latin) hingga akhirnya dibantai dengan kejam oleh rezim penindas pada tahun 1989-an. Enam pastor Jesuit El Salvador dan dua mitra kerja mereka ditembak mati oleh tentara di Kampus José Simeón Cañas Central American University (UCA El Salvador) in Ibukota El Salvador: San Salvador.
Mentalitas tahan banting
Kepada kita sekarang ini, kisah-kisah heroik para Yesuit ‘istimewa’ itu sedikit bisa memperlihatkan sisi-sisi mental tahan uji dan tahan banting plus ‘militansi’ para Yesuit.
Darimana ‘orang-orang pemberani’ ini punya mental baja tak goyah oleh semua tantangan sosial dan alam? Rasanya jari kita tak perlu menunjuk yang jauh-jauh, karena sumber asali mental tahan uji dan tahan banting itu datang dari relung-relung hati mereka yang paling dalam.
Lalu, darimana pula relung-relung hati itu memancarkan sinar terangnya yang menghangatkan jiwa dan menenteramkan hati, sekalipun alam begitu ganas dan tantangan sosial ada di depan mata?
Tentu, semua itu menjadi ada dan hidup berkat spiritualitas Ignatian atau semangat Yesuit.
Nah, detil mengenai mengapa para Yesuit ‘bisa begini dan begitu’, maka buku Spiritualitas Yesuit dalam Keseharian karya Pastor James “Jim” Martin SJ menjadi jawabannya.