Home BERITA Coronavirus dan “Orang Farisi” dalam Gereja Katolik

Coronavirus dan “Orang Farisi” dalam Gereja Katolik

0
Paus Fransiskus berdoa agar pandemi coronavirus berakhir - Vatican News

TULISAN ini adalah sebuah autokritik kepada kita semua umat Gereja. Jadi, saya berharap semoga tulisan ini dapat disikapi dengan dewasa dan lapang hati demi perbaikan kita bersama.

Sifat orang Farisi

Kenapa pada judul tulisan saya memakai istilah “Orang Farisi”?

Dari beberapa sumber, orang Farisi dimaksudkan sebagai orang-orang penganut agama Yahudi yang sangat fanatik terhadap ajaran agama dan tradisinya. Atau, golongan dari para rabi dan ahli Kitab Taurat yang sangat fanatik pada penerapan Hukum Taurat.

Dalam tulisan ini, istilah “Orang Farisi” saya maknai dari sifat-sifat yang sering kali melekat pada diri mereka. Jika ditelusuri dari Alkitab, kita bisa temukan beragam hal yang menggambarkan sifat dan karakter orang Farisi pada zaman itu.

Itu antara lain:

  • merasa paling benar/saleh;
  • terlalu saklek dalam melihat/menilai sesuatu hal;
  • sikap angkuh;
  • munafik;
  • gila hormat, pujian;
  • hobi mengkritik;
  • suka membandingkan, menjelekkan;
  • dan berbagai sifat lain yang cenderung negatif.

Sifat-sifat laiknya seperti orang Farisi inilah yang ternyata masih terpelihara di dalam diri sebagian umat Gereja Katolik hingga sekarang.   

Gereja Katolik hadapi coronavirus

Dunia, termasuk masyarakat Indonesia  dan Umat  Katolik di Indonesia saat ini sedang berada dalam pusaran kecemasan dan terpaan wabah coronavirus.

Negara-negara yang terdampak mengupayakan berbagai hal sebagai langkah penanganan maupun pencegahan meluasnya pandemi virus ini.

Pemimpin negara maupun pimpinan umat beragama (termasuk Gereja) juga bahu-membahu menghadapi bencana ini. 

Pada lingkup Gereja Katolik di Indonesia, dalam beberapa bulan belakangan ini telah beredar surat imbauan dari berbagai Keuskupan mengenai upaya pencegahan wabah corona virus. Beberapa langkah antisipatif yang diimbau oleh Keuskupan di antaranya terkait dengan:

  • sikap dalam Salam Damai;
  • pengosongan wadah air suci;
  • perubahan prosesi penciuman salib dalam misa Jumat Agung.

Hal itu segera ditindaklanjuti oleh gereja-gereja di berbagai paroki, termasuk dengan mengambil tindakan tertentu yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan dari masing-masing gereja.

Ada beberapa gereja di paroki bahkan mengambil langkah-langkah preventif  lain seperti penyediaan botol di pintu-pintu masuk gereja yang berisi cairan hand sanitizer, peniadaan misa lingkungan, peniadaan pertemuan APP, dan lain-lain.

Berlebihan

Kita patut bersyukur bahwa pimpinan Gereja (Hirarri) telah mengambil kebijakan dan langkah-langkah yang proaktif dalam kondisi seperti ini.

Sayangnya, pada sebagian umat, ada pihak-pihak tertentu yang kurang bijak. Terkesan bahwa mereka justru terlalu berlebihan dalam bersikap terkait wabah coronavirus ini.

Pada titik inilah, saya menganggap sebagian umat dan saudara kita itu sebagai umat Katolik yang bersikap seperti “Orang Farisi” di tengah wabah coronavirus.

Orang-orang yang kerap kali merasa paling benar atau paling tahu, terlalu kaku dan saklek, hobi mengkritik, serta suka membanding-bandingkan atau bahkan menjelekkan Gereja parokinya sendiri.

Coba kita introspeksi bersama, jangan-jangan diri kita termasuk dalam golongan orang yang dimaksud.

Tidak dilarang jika orang ingin menyampaikan sebuah masukan atau pun kritik sekalipun. Akan menjadi masalah jika masukan atau kritik yang disampaikan itu hanya sekadar nyinyiran.

Lebih celaka lagi, jika seandainya seseorang cuma senang menyampaikan usulan, ide tetapi enggan atau malas-malasan kalau diminta terjun langsung melaksanakan ide tersebut.

Hal ini yang pernah diingatkan oleh Yesus dalam Injil Matius 23 (Yesus mengecam Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi), di mana ada ayat yang tertulis, “..tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya.”    

Tidak ada salahnya kita belajar dari St. Paulus, seorang Farisi yang bertobat dan menjadi rasul yang tangguh. Semoga kita semua bisa meneladani St. Paulus dan menjadi “Paulus-paulus” yang tangguh pada zaman ini.

Sekaligus tangguh menghadapi wabah coronavirus.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version