Home BERITA Dari Pengalaman Hidup di Kamp Konsentrasi, Viktor E. Frankl Mendefisinikan Manusia

Dari Pengalaman Hidup di Kamp Konsentrasi, Viktor E. Frankl Mendefisinikan Manusia

Viktor E. Frankl (Courtesy of Biographics)

MANUSIA adalah makhluk hidup (living being) yang kompleks. Kompleksitas itu membuat eksistensi, karakteristik, apalagi finalitas manusia tidak mudah dimengerti.

Beberapa  telah mencoba menjawab pertanyaan, “Siapakah manusia itu?” termasuk Viktor Frankl, seorang psikiater yang pernah mengalami kamp konsentrasi Nazi.  Jawabannya atas pertanyaan itu didasarkan pada pengalamannya ditahan di kamp konsentrasi.

Dalam tulisan ini, saya akan menguraikan beberapa jawaban Frankl atas pertanyaan siapakah manusia dan apa ciri atau kemampuan khas manusia sebagaimana termuat dalam buku Man’s Search on Meaning:

  • Makhluk yang punya tujuan atau arti hidup untuk dapat hidup,
  • Makhluk yang mempunyai kebebasan.
  • Makhluk yang dapat membiasakan diri.
  • Makhluk yang mampu melakukan pengorbanan.
  • Makhluk yang dapat tersinggung,.
  • Makhluk yang dapat mengontemplasikan orang yang dikasihi.
  • Makhluk yang punya selera humor untuk bertahan hidup.

Makhluk tidak dapat hidup tanpa punya tujuan atau arti hidup.

Manusia harus memiliki arah hidup dan itu terwujud dalam alasan mengapa ia hidup. Pengalaman Frankl di dalam kamp konsentrasi mendasari pandangan ini.

Seorang narapidana bermimpi bahwa tanggal 30 Maret 1945 Perang Dunia II akan berakhir dan semua tahanan akan dibebaskan. Hidupnya menjadi bersemangat. Namun menjelang tanggal 30, tidak terdengar berita bahwa perang akan berakhir. Segera ia jatuh sakit dan akhirnya wafat tanggal 31 (hal 96).

Kisah lain, dokter kepala kamp konsentrasi mengatakan pada Frankl bahwa tingkat kematian antara Natal 1944 dan Tahun Baru 1945 meningkat drastis (hal 97).

Menurut analisis Frankl, ini adalah bukti betapa vitalnya peran tujuan dan arah atau alasan hidup bagi manusia. Tanpanya,  manusia tidak dapat bertahan hidup.

Si narapidana sungguh berharap mimpinya terwujud dalam kenyataan. Ketika ia melihat mimpinya tak kunjung terealisasi, semangat hidupnya memudar, ia jatuh sakit hingga akhirnya meninggal. Demikian pu­la para tahanan pada umumnya mengharapkan bisa merayakan Natal dan Tahun Baru bersama ke­luarga. Ketika hal itu tak dapat terwujud, banyak yang lalu kehilangan semangat hidup.

Maka te­pat sekali kata-kata Nietzsche, “Manusia yang memiliki alasan (why) apa pun untuk hidup akan mam­pu menanggung (penderitaan, kesulitan, tantangan) apapun (how) (hal 97).”

Penemuan tentang pentingnya tujuan atau alasan hidup ini menginspirasi Frankl mengembangkan Lo­go­therapy, suatu metode psikiatrik untuk menolong pasien dengan cara menemukan arti hidupnya. 

Makhluk yang memiliki kebebasan

Para tahanan dalam kamp konsentrasi nampaknya kehilangan kebebasan sama sekali. Mereka dipaksa bekerja berat, hidup dalam kelaparan dan rasa terancam, dipisahkan dari orang-orang yang mereka cintai, dan sebagainya.

Namun menurut Frankl, mereka tetap memiliki kebebasan mereka. Selalu ada pilihan setiap saat untuk membuat keputusan, misalnya apakah aku ingin hidup atau bunuh diri, apakah aku mau taat pada sipir atau tidak, dan sebagainya. Kalau pun kebebasan lahir tidak dapat mereka peroleh, mereka tetap memiliki kebebasan batin.

Para tahanan dapat memilih untuk menerima dan memaknai penderitaan mereka atau menolak dan mengutukinya.

Kebebasan, menurut Frankl, khususnya kebebasan batin, adalah satu-satunya hal yang tidak dapat direnggut dari seorang manusia. Semua yang melekat pada manusia bisa diambil darinya terkecuali kebebasan (hal 86). 

Makhluk yang  dapat melakukan pengorbanan.

Itu sekalipun  secara instingtif ia cenderung mencari aman dan nyaman.

Frankl menyaksikan sendiri bahwa beberapa tahanan tak segan melakukan hal-hal yang tidak pantas demi keamanan dan kenyamanan diri. Ada tahanan yang mengambil makanan tahanan lain, ada pula tahanan yang berebut mengambil mantel tahanan yang sekarat.

Menurut Frankl, ini merupakan naluri instingtif manusia saat berada dalam situasi serba terbatas. Kendati demikian, ia melihat beberapa pengecualian, misalnya saat seorang tahanan memberikan makanannya pada tahanan lain yang sakit.

Ada pula tahanan yang senang menghibur rekan-rekannya dan menguatkan mereka untuk tetap bertahan dalam penderitaan. Baginya, ini adalah bukti kemampuan manusia untuk memilih (terkait dengan kebebasan) dan tidak terikat sama sekali pada kecenderungan instingtif (hal 86). 

Makhluk yang dapat membiasakan diri dengan apa pun

Situasi dalam kamp konsentrasi tentu sangat mengenaskan dan sangat tidak layak untuk hidup manusia. Makanan, kebersihan, istirahat, dan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya tidak diperoleh para tahanan secara mencukupi.

Namun, Frankl melihat dan mengalami sendiri bahwa para tahanan dapat bertahan dalam situasi serba kekurangan tersebut. Perlahan mereka menjadi terbiasa dengan keadaan tersebut.

Atas dasar itu, Frankl lalu menolak teori-teori seperti manusia tidak dapat hidup tanpa waktu tidur tertentu. Ia lebih setuju pendapat Dotoevski yang mendefinisikan manusia sebagai makhluk yang dapat membiasakan diri dengan apapun (hal 35-36). 

Makhluk yang dapat merasa tersinggung

Suatu hari ketika berbaris, ada seorang tahanan dalam barisan Frankl yang tidak berbaris dengan lurus. Melihat itu, seorang sipir yang kebetulan berada di dekat Frankl marah dan memukul Frankl. Lain hari, seorang sipir memanggilnya “babi” karena merasa ia bekerja terlalu lamban. Sipir itu lalu meremehkan latar belakang pekerjaan Frankl sampai membuatnya naik darah.

Dari pengalaman itu, Frankl menyimpulkan bahwa hal yang menyakitkan ternyata bukan pertama-tama yang terasa secara fisik (pukulan), melainkan perilaku para tentara yang membuatnya tersinggung. Mendapatkan pukulan meskipun tidak bersalah lebih menyakitkan daripada menerima pukulan itu sendiri. Disakiti secara batin (diremehkan) lebih menyakitkan daripada disakiti secara fisik (hal 42-44). 

Endure Burning – Viktor Frankl Quote

Makhluk yang dapat mengontemplasikan orang yang dikasihinya

Suatu hari seorang teman Frankl di kamp berkata, “Semoga isteri kita mendapat kamp yang lebih baik dan jangan sampai mereka melihat kita berada dalam situasi memprihatinkan ini.”

Perkataan itu mengingatkan Frankl pada istrinya yang ditahan di kamp lain.

Pikirannya lalu melayang mengontemplasikan sang istri, seolah-olah ia sungguh hadir secara nyata. Ia tidak tahu apakah istrinya masih hidup dan baginya itu tidak penting lagi. Yang lebih penting baginya adalah kenangan, imajinasi, dan bayangan akan istri yang amat dicintainya. Membayangkan orang yang ia cintai menjadi hiburan dan kekuatan tersendiri bagi Frankl di kamp konsentrasi (hal 57).

 Makhluk yang punya selera humor dalam rangka bertahan hidup

Di kamp konsentrasi, Frankl mengajak salah satu rekan tahanan untuk membuat satu kisah lucu setiap hari tentang kehidupan di kamp konsentrasi. Ia merasa selera humor dapat memampukannya melampaui segala keadaan yang tidak mengenakkan sekalipun. Mempertahankan selera humor bahkan di situasi mengenaskan seperti di kamp menurut Frankl merupakan bagian dari  seni hidup (art of living). Humor dapat menghasilkan sukacita yang penting untuk bertahan hidup. Dengan adanya sukacita, penderitaan menjadi relatif (lebih ringan) (hal 63-64).

Demikianlah Viktor Frankl berusaha menjabarkan pandangannya tentang siapa itu manusia dan kemampuan-kemampuan khasnya, terutama berdasarkan pengamatan dan pengalamannya saat ditahan di kamp konsentrasi.

Ada banyak hal yang dikatakan Frankl, namun menurut saya, jawaban utama Frankl atas pertanyaan eksistensial itu adalah manusia merupakan makhluk hidup yang bebas dan bertendensi untuk mengetahui arti atau alasan hidupnya.

Mengetahui arti atau alasan hidup memberikan manusia arah untuk menjalani hidupnya dan kebebasan memungkinkan manusia berusaha menuju makna hidup yang dicita-citakannya.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version