Home BERITA Emansipasi Zaman Now: Belajar dari Maria, 85 Tahun Kongregasi Suster CIJ

Emansipasi Zaman Now: Belajar dari Maria, 85 Tahun Kongregasi Suster CIJ

0
Kongregasi Suster CIJ

Lk 1, 26–38

SETELAH Seminari Mataloko diresmikan pada tanggal 15 September 1929, Uskup Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara) saat itu, Mgr. Arnold Verstraelen SVD, lalu memulai permenungan:

“Kalau anak laki-laki sudah bisa diterima di seminari sebagai calon imam, mengapa anak perempuan masih diragukan kalau mereka ingin menjadi suster”.

Emansipasi

Harus diakui persamaan hak antara perempuan dan laki-laki masih menjadi semacam “pandemi“ sosial waktu itu. Juga masih terus mewabahi setiap kultur, tradisi dan generasi manusia. Emansipasi atau persamaan gender masih mendapat kesulitan di berbagai kultur, di banyak tempat dan di berbagai waktu.

Virus monopoli terus berkolaborasi dengan berbagai kepentingan yang membuat emansipasi menjadi jalan di tempat atau bahkan menjadi vakum.

Teriakan Maya Angela semoga tetap menggelegar: “Aku takkan diam membisu, dalam deritaku, aku takkan mungkin menyerah, pada nasibku.“

Mulainya dari Revolusi Perancis

Dalam sejarah modern, kesetaraan semua orang adalah ide dasar Revolusi Perancis  (1789 -1799).

Olympe de Gouges, seorang penulis dan tokoh revolusioner perempuan Perancis, menuntut tahun 1791 hak dan kewajiban yang sama bagi perempuan – karena hingga saat itu, rumusan hak asasi manusia dan hak sipil hanya berlaku untuk laki-laki.

Di Jerman sendiri, Republik Weimar baru membawa hak politik yang telah lama ditunggu oleh perempuan pada bulan November 1918, saat di mana Dewan Perwakilan Rakyat mengeluarkan undang-undang tentang pemilihan umum.

Dengan UU ini semua warga negara dari usia 21 tahun memiliki hak aktif dan pasif dalam pemilu. Pada 19 Januari 1919, negara Jerman mencetak sejarah di mana kaum perempuan untuk pertama kalinya menjalani hak politiknya.

Jerman dewasa ini pun mengakui, masih banyak hal dalam hal kesetaraan yang menuntut reformasi. Perempuan (ibu-ibu) yang memiliki ambisi profesional masih dibatasi, demi anak-anak mereka. Bahkan dalam pekerjaan yang sama upah yang diterima perempuan masih lebih rendah daripada laki-laki.

Posisi manajemen di perusahaan-perusahan besar hampir secara eksklusif terdiri dari pria. Banyak laki-laki produktif yang mengatakan: “Cukup sudah dengan kesamaan gender.“

Sejarah kekristenan

Apakah ini seperti harapan Rhoma Irama dalam lagunya Emansipasi Wanita: “Tapi peranan wanita, jangan sampai keterlaluan, kalau peranan wanita, melanggar batasan fungsinya, ini bencana, wanita dan pria takkan pernah sama, secara kodrati, berbeda fungsinya, jiwanya badannya, Tuhan telah mengatur…“

Sejarah iman Kristen lahir dari kesiapsediaan seorang Maria untuk melaksanakan titah Tuhan.

“Terjadilah padaku menurut kehendakMu,“ menjadi simbol keberanian seorang perempuan Maria untuk tampil dalam sejarah manusia.

Bagaimanapun kesiapsediaan Bunda Maria untuk menjadi Bunda Yesus (Theotokos) adalah sebuah keputusan berani, karena kehamilan di luar nikah (tidak sah) berakhir dengan rajaman batu.

Keberanian ini direfleksi kembali oleh gerakan Maria 2.0 di Jerman, yang lahir di Keuskupan Münster –keuskupan asal Santo Arnoldus Janssen— tahun 2019, yang bertujuan untuk menghadirkan kembali citra positif Maria yang sayangnya, menurut Andrea Voß-Frick, salahsatu inisiator gerakan ini, oleh Gereja (laki-laki) dipahami secara salah secara berabad-abad.

Saya tidak bermaksud menyetujui atau menolak gerakan ini. Tapi mengangkat kembali keberanian Maria dalam kultur yang membatasi ruang gerak perempuan adalah landasan biblis emansipasi, yang seharusnya menjadi gerakan dasar kekristenan.

Kongregasi Suster CIJ

Pater Lamber Flint SVD, pembimbing gadis-gadis desa yang bermimpi menjadi biarawati di pedalaman Flores, mengakui bahwa dalam diri mereka ada tanda-tanda panggilan Tuhan, yang tercermin dalam kesungguhan hidup para calon baik dalam doa maupun dalam tugas.

“Mereka setia, rajin, tanggung jawab dan penuh semangat menjalankan tugas yang dipercayakan kepada mereka.”

Berdasarkan rekomendasi ini, Mgr. Arnold Vestraelen SVD memutuskan untuk mulai mengambil langkah-langkah konkrit untuk menjawab cita-cita suci para gadis pribumi.

“Persamaan Gender“ dalam hirarki Gereja pun mengukir sejarah di Tanah Flobamora. 25 Maret 1935, berpadu dengan kidung Magnificat-nya Maria, Congregatio Imitationis Iesu untuk puteri-puteri Flobamora diproklamirkan. Selamat HUT ke-85 untuk para suster CIJ.

Br. Bruder Othmar Jessberger SVD

“Saya seorang penggemar setia para suster biarawati. Saya selama 48 tahun di Indonesia telah melihat betapa hebatnya mereka bekerja. Sebuah pencapaian luar biasa yang terlalu sedikit dibicarakan. Ada ribuan dari mereka adalah ‘Ibu Teresa’. Sepanjang hidupnya, 24 jam untuk orang-orang miskin. Mereka melihat makna hidup mereka dalam pengabdian, ingin menjadi roti bagi sesama.”

Semoga kita tidak berhenti dengan keadaan yang ada. Profesionalitas adalah emansipasi zaman now.

Untuk semua yang karena Corona tidak dapat merayakan misa hari ini, jangan padamkan keberanian Anda.

Selamat Hari Raya Kabar Sukacita.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version