Home BERITA “Eye in the Sky”, Moralitas Serangan Pesawat tanpa Awak (Drone)

“Eye in the Sky”, Moralitas Serangan Pesawat tanpa Awak (Drone)

0

MELECUT serangan mematikan di sarang musuh dalam teknologi perang modern kini tak lagi harus berhadapan langsung dengan target serangan. Sejak dikenal rudal jarak jauh dengan tingkat presisi sangat tinggi, maka strategi perang kini lebih mengandalkan data intelijen di lapangan dan baru kemudian target serangan diindentifikasi melalui penginderaan jarak jauh dengan pesawat tanpa awak (drone) dan sejurus kemudian… bum…bum.

Bom dengan daya ledak terukur yang dikendalikan dengan panduan laser dan diluncurkan dari drone jauh di angkasa adalah seni perang modern masa kini. Amerika adalah perintis strategi perang model ini yang kemudian mempraktikkannnya baik di Irak maupun di Afghanistan untuk memburu musuh-musuh AS yakni kaum ekstremis agamis.

Masalahnya muncul jauh sebelum drone itu dilepaskan oleh sang operator. Ketika drone hendak ditembakkan, para operator pemegang kendali pesawat tanpa awak ini  harus yakin bahwa target serangan mematikan itu benar-benar mengenai sasaran, sekaligus meminimalisir korban yang tak bersinggungan dengan target operasi.

Di satu sisi, strategi perang dengan memanfaatkan drone untuk melakukan serangan jarak jauh yang sangat mematikan ini merupakan capaian teknologi perang yang luar biasa. Tidak perlu serangan udara yang melibatkan pesawat tempur yang juga rawan ditembak musuh dengan rudal darat-ke-udara, namun daya ledaknya sangat mematikan karena tepat sasaran. Hanya saja, pada sisi lain, upaya meminimalisir korban menjadi sebuah isu yang sensitif, terutama ketika musuh yang menjadi sasaran target operasi ada di tengah kerumunan manusia yang tidak ada sangkut pautnya dengan sasaran penembakan drone ini.

Moralitas drone

Konflik moralitas inilah yang ditengahkan film anyar Eye in the Sky.  Tidak ada tembak-menembak di sini, namun daya ‘ledak’ fim besutan Inggris sangat luar biasa.

Daya ledak serangan rudal yang dilepaskan dari pesawat intai tak berawak (drone) dengan presisi sangat tinggi. (YouTube)

Di satu sisi muncul Kolonel Catherine Powell (Helen Mirren), perwira intelijen  Inggris yang sangat ambisius menghabisi  kaum ekstremis agamis di Nairobi (Kenya) yang menjadi momok menakutkan bagi Eropa dan AS. Pada sisi lain, ada Letnan Steve Watts (Aaron Paul) –sang operator utama drone di Nevada Air Force Base di AS—yang memilih sikap sangat hati-hati setiap kalli diperintah untuk menembakkan drone ke target sasaran.

Di tengah pusaran dua kutub sikap tersebut ada ‘manajemen’ sistem birokrasi perang di Inggris yang rumi. Di Tim Cobra –nama sandi sebuah panel para pejabat senior Inggris bidang keamanan–  pertimbangan yang njlimet itu terjadi, ketika birokrasi perang menjadi sangat pelik, bertele-tele untuk hanya mengatakan ‘ya’ bagi sebuah upaya melakukan serangan drone ke sasaran musuh di Kenya. Tapi justru di sinilah, kekuatan ‘daya ledak’ Eye in the Sky ini.

Pesawat intai tanpa awak (drone).

Ketegangan tidak dibangun melalui rentetan dar-der-dor. Tapi dengan menganalisis setiap argumen untuk memberi akses kepada Kolonel Powell memicu kunci pelepas serangan udara agar Letnan Watts dan asistennya boleh meluncurkan drone di wilayah target sasaran operasi. Hanya di sini lalu muncul masalah besar yakni moralitas perang.

Beberapa menit sebelum drone diluncurkan, di wilayah target sasaran ada Alia (Aisha Takow), gadis cilik penjual roti. Alih-alih meluncurkan drone sesuai perintah Kol. Powell, Letnan Watts justru memilih ‘tahan dulu’ untuk jangan sampai dituduh sebagai penjahat perang: membunuh musuh, namun ikut menciderai dan bahkan menewaskan warga sipil yang tidak ada kaitannya dengan target operasi militer.

Letjen Frank Benson yang dimainkan oleh mendiang aktor Alan Rickman. (Ist)

Beda perspektif dan kepentingan

Inilah moralitas drone, sebuah isu panas yang selalu menghantui para pengambil kebijakan perang. Konflik kepentingan dan menjaga kredibilitas terjadi di  antara para perwira intelijen di belakang meja,  agen rahasia di lapangan,  operator drone di bilik markas kendali,  dan para politisi (baca: pejabat pemerintahan) yang cenderung cuci tangan.  Letjen Frank Benson (Alan Rickman) memilih sikap kehati-hatian dalam hal ini, karenanya sebelum memberi aba-aba ‘serang’ dia mendengarkan banyak pertimbangan dari tim Cobra.

Eye in the Sky menjadi film terakhir Rickman sebelum ajal akhirnya menjemput bintang Inggris ini.

Letnan Watts dan asistennya menjadi operator peluncur drone dan pelepas picu rudal yang ditembakkan dari drone.

Di lapangan agen rahasia  Jama Farah (Barkhad Abdi) melawan ketakutan karena harus mengendalikan kumbang penyadap melalui sebuah perangkat gadget canggih mirip-mirip remote control sebuah model game anak-anak. Lagi-lagi, ketegangan memuncak terjadi tidak melalui tembak-menembak, melainkan bagaimana bisa mengalihkan perhatian anak-anak kampung agar tidak ngrecokin aksinya melakukan pengintaian jarak dekat di sarang musuh.

Sekali lagi, film anyar Eye in the Sky hasil besutan sutradara Gavin Hood ini tidak bicara tembak-menembak. Kesan saya, film ini mau bicara tentang ‘moralitas’ drone. Yakni, bagaimana mengakurkan sasaran tembak jarak jauh dengan daya ledak mematikan namun sangat terukur ini bisa mengurani ekses kematian penduduk lokal yang tidak ada kaitannya dengan musuh. Persis di sinilah konflik sebuah manajemen perang ketika berbagai pertimbangan kemanusiaaan vs pertimbangan militer saling bertabrakan karena beda kepentingan.

Di akhir cerita, gadis cilik penjual roti Alia memang tidak terkena langsung dua tembakan rudal  yang diluncurkan dari drone. Namun ia mati di tengah meledaknya tangisan kedua orangtuanya, bersamaan dengan para calon ‘pengantin’ pembom bunuh diri –salah satunya warga Amerika malahan– dan teroris perempuan warga Inggris yang  sudah lama membelot ke garis musuh.

Jadi, lagi-lagi moralitas politik mengemuka. Apakah bisa disebut legal, manakala serangan mematikan itu justru mengenai warga negara AS dan Inggris yang seharusnya mereka lindungi, sekalipun mereka itu teroris buruan penting dinas intelijen Inggris dan CIA. Terhadap pertanyaan maha penting ini, para anggota Tim Cobra Inggris memilih diskusi panjang lebar, sementara penasehat keamanan AS memutuskan ‘tembak’ dan itu sejalan dengan garis pemikiran Kolonel Catherine Powell: tembak saja dulu, urusan politik itu mah belakangan saja.

 

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version