Minggu, 28 September 2025
Am 6:1a,4-7
Mzm 146:7.8-9a.9b-10
Timotius 6:11-16
Lukas 16:19-31
ADA ungkapan bijak yang mengatakan, “Kehidupan itu menyiapkan kematian.”
Sekilas terdengar suram, tetapi sesungguhnya ungkapan ini penuh makna. Hidup adalah anugerah yang terbatas, dan setiap detik yang kita jalani bukanlah kebetulan. Kita sedang diberi kesempatan untuk menyiapkan diri, bukan hanya untuk akhir kehidupan di dunia ini, tetapi juga untuk kehidupan yang kekal.
Kematian bukan akhir dari segalanya, melainkan pintu menuju perjumpaan dengan Sang Pencipta. Karena itu, setiap hari adalah kesempatan emas untuk memperbaiki diri, mengembangkan potensi yang Tuhan berikan, dan mewujudkan kasih-Nya melalui perbuatan nyata.
Kita dipanggil untuk melakukan yang terbaik bagi diri kita: menjaga tubuh, jiwa, dan iman; sekaligus menjadi berkat bagi sesama melalui kebaikan, pengampunan, dan pengabdian.
Dalam bacaan Injil yang kita dengar demikian, “Kata orang itu, ‘Kalau demikian, aku minta kepadamu, Bapa, supaya Engkau menyuruh dia ke rumah ayahku, sebab masih ada lima orang saudaraku, supaya ia memperingatkan mereka dengan sungguh-sungguh, agar mereka kelak jangan masuk ke dalam tempat penderitaan ini’.”
Kata-kata ini adalah seruan dari seseorang yang sudah terlambat menyadari kesalahannya. Ia menyesal karena semasa hidupnya tidak memperhatikan sesama, tidak membuka hati pada penderitaan Lazarus, dan hidup hanya untuk dirinya sendiri.
Penyesalan itu begitu dalam, sampai ia masih memikirkan keluarganya agar jangan mengalami nasib yang sama.
Hidup adalah kesempatan untuk bertobat, bukan nanti. Kesempatan itu ada sekarang, ketika kita masih bisa membuka hati, mendengarkan firman Tuhan, dan mewujudkannya dalam kasih nyata. Jika kita menunda, bisa saja penyesalan datang ketika semua sudah terlambat.
Permohonan orang kaya itu juga menunjukkan bahwa kepedulian tidak boleh ditunda sampai di alam baka. Tuhan sudah memberi kita “Musa dan para nabi”, yakni firman-Nya yang hidup, yang terus bersuara lewat Kitab Suci, ajaran Gereja, dan suara hati.
Pertanyaannya: apakah kita sungguh mendengarkannya dan mengubah hidup kita, ataukah kita mengabaikannya seperti orang kaya itu?
Belajar dari penyesalan orang kaya yang tidak pernah bisa diperbaikinya. Jangan menunggu sampai terlambat. Hari ini adalah kesempatan untuk mengasihi lebih dalam, berbuat baik lebih tulus, dan membuka hati lebih luas.
Dengan begitu, kita tidak hanya menyelamatkan diri kita, tetapi juga memberi teladan yang menuntun orang lain, termasuk keluarga kita, kepada jalan keselamatan.
Bagaimana dengan diriku?
Apa langkah kecil yang bisa saya lakukan mulai hari ini untuk menjadi berkat bagi keluarga dan sesama, sehingga mereka pun semakin dekat pada Tuhan?