BELAJAR filsafat dan teologi selama lima tahun. Setahun sebelum tahbisan, Pater Propinsial CSsR Provinsi Jerman datang melakukan visitasi dan bertanya kepada Romo Willy Wagener CSsR yang waktu itu masih menjadi Diakon calon imam.
Setahun sebelumnya, Propinsi CSsR Koln di Jerman telah menerima tawaran dari Indonesia untuk melakukan karya misi di Sumba dan Sumbawa di NTT.
Provisial CSsR itu bertanya kepadanya. “Apakah saya bersedia menjadi misionaris di Sumba? Saya jawab, saya dengan senang hati bole menjadi misionaris.”
Sebulan kemudian, ia sudah mendapat SK (surat keputusan) untuk melakukan persiapan misi di Sumba.
Tak mudah dapatkan visa
Setahun kemudian tahbisan dan Romo Willy Wagener CSsR mulai bersiap mengajukan visa untuk bisa berkarya di Indonesia.
Ini juga tidak mudah, karena waktu itu Presiden Soekarno alias Bung Karno sedang asyik-asyiknya dengan ideologi NASAKOM.
Ada teman-teman berhasil mendapatkan visa dan ada yang gagal. “Untung saya juga berhasil mendapatkan visa,” kenangnya.
Persiapkan diri.
Persiapan khusus terjadi di bidang misi, misalnya, studi misiologi. Sesudah beberapa bulan di rumah sakit khusus untuk pendidikan khusus untuk orang-orang yang mau ke tempat daerah misi.
Lalu juga harus mengikuti kursus montir perbaiki sepeda motor. “Kami dengar di Sumba tidak ada bengkel. Jadi harus tahu sendiri bagaimana harus memperbaikinya, kalau sepeda motor rusak,” kenangnya.
Setelah tiba di Sumba, ia mendapat banyak obat kiriman dari Jerman. Dokter-dokter yang kirim. Dipakai di sini.
“Tidak ada ada obat di sini. Waktu saya jadi Pastor Paroki di Waingapu, Sumba Timur, maka di sana hanya ada dua rumah sakit di Sumba dan satu dokter untuk seluruh Sumba. Orang Belanda,” kenangnya.
Jadi pastor paroki untuk satu Kabupaten. Dan hanya tersedia satu unit sepeda motor. Jalanan jelek sekali. Dari Waingapu sampai Melolo.
“Saya harus turne ke Sumba Timur di tas sebagian bawa alat-alat misa dan sebagian bawa obat-obat dan perkakas motor. Di sana tidak ada klinik,” kenangnya.
Sesudah misa di kampung, ia berprakarsa membuka poliklinik di balai-balai.
Enam tahun pertama, Romo Wagener berkarya di Waingapu. Terakhir, beliau diangkat jadi Vice Propinsial.
“Sampai tahun 1970-an dipilih menjadi Administrator Keuskupan selama lima 5tahun. Sesudah itu, saya Magister Novis selama setahun. Lalu diangkat menjadi Rektor Wisma Sang Penebus di Nandan, Yogyakarta. 15 tahun. Lalu, saya diganti oleh Mgr. Edmund Woga CSsR. Kembali ke Sumba menjadi Vice Propinsial. Lalu jadi Rektor Konventu,” kenangnya.
“Karena saya biasa dengan urusan rumah sakit, pembangunan projek fisik bersama Pastor Paul melayani rumah sakit. Sampai akhirnya ada Pastor Gabriel menjadi pastor di sini.”
“Dalam 87 tahun ini sudah ada banyak hal yang saya alami. Ada banyak suka dan duka. Tapi lebih banyak sukanya. Saya tidak pernah punya pikiran untuk pulang ke jerman. Saya ingin tetap hidup dan biarkan saya mati di Sumba,” ungkap.
“Tapi janganlah terlalu cepat mati juga…,” begitu harapannya.
