BERPULANGNYA Romo MarkusYumartana SJ meninggalkan kesan yang mendalam bagi tidak sedikit orang. Dalam hidup sosial ini, kita kadang mengenang orang bukan karena gebrakan besar; tetapi karena ketekunannya menjaga kebaikan dalam hal-hal kecil.
Romo Yumartana adalah salah satunya.

Mencintai dan menikmati pingpong
Dalam homili misa requiem, Romo Dedomau da Gomez SJ -teman angkatan dan seperjalanan sejak seminari menengah tahun 1981- tidak hanya mengenang; tapi seolah membiarkan kita mengintip ruang-ruang sederhana tempat kebajikan Romo Yumar tumbuh. Dari meja pingpong hingga jalanan sunyi antara Girisonta dan Muntilan, kita dibawa melihat sosok yang tenang, telaten, dan penuh iman.
Romo Yumartana mencintai pingpong. Bukan karena ingin menang, tapi karena olahraga ini mencerminkan siapa dirinya: titis, sabar, cermat, perhatian pada hal detil-detil, dan penuh konsentrasi. Dalam permainan cepat itu, ia justru menampilkan ketenangan dan kejernihan. Seperti dalam hidupnya -yang tidak terburu-buru, tidak gaduh- dan selalu tertata dalam kesantunan.

Menegur Nostri: almarhum Romo Drajat Susilo SJ
Ia jarang -bahkan nyaris- tak pernah marah. Kalau pun ada yang perlu ditegur, beliau memilih menyampaikan lewat orang lain. Dengan nada bercanda, Romo Yumar akan berkata pada Romo Dedo: “Itu si (almarhum Romo Drajat SJ dimarahi. Makannya ngawur.” Sambil tersenyum. Teguran dibungkus kasih dan humor.
Romo Drajat Susilo SJ, yang sebelumnya pernah menjadi Ekonom Seminari Mertoyudan, telah berpulang lebih dulu; juga karena sakit.


Iman tumbuh seperti kepercayaan anak kecil
Imannya bukan retoris. Ketika ditanya, dari mana dia mendapat kekuatan untuk terus percaya, Romo Yumartana menjawab dengan sederhana: iman itu seperti anak kecil yang melompat ke pelukan ayahnya. Hangat, aman, penuh sukacita. Bukan karena tahu semua jawaban, tapi karena tahu kepada siapa kita berpaut.
Ada masa-masa sulit yang ia jalani bersama Romo Dedo -kelaparan saat peregrinasi, tanpa uang, tanpa arah. Namun dari kelaparan itu tumbuh harapan. Romo Yumar menyatakan dengan penuh keyakinan. “Bantuan itu tidak akan lama lagi datang.”
Akhirnya mereka memutuskan bernyanyi acapella: mengamen. Dan dari suara itulah mereka mendapat cukup uang untuk membeli… es lilin.
Hal sederhana, tapi di situlah semangat hidup kembali menyala.

Sakit serius: jantung dan auto-imun
Setelah satu tahun menjabat posisi sebagai Rektor Seminari Menengah Mertoyudan, beliau menderita penyakit yang sangat berat. Penyakit autoimun Myasthenia Gravis menyerang tubuhnya – terutama bagian leher ke atas.
Sulit bicara, sulit makan, sulit bernapas. Padahal, beliau sangat menyukai makanan dengan cita rasa yang enak.
Namun, bukan protes yang keluar, melainkan penerimaan. “Sakit bukan untuk ditolak,” katanya, “justru menjadi pintu untuk melihat bagaimana Tuhan berkarya dalam situasi apa pun.”
Sebagai seminaris muda, sama seperti para seminaris yang lain, Yumartana muda pasti biasa mengisi waktu 45 menit untuk membaca kisah para Orang Kudus. Heroisme mereka meninggalkan jejak di alam bawah sadarnya. Disiksa, disesah, mati demi kesetiaan kepada Kristus. Cita-cita yang tampaknya sederhana, tapi mendalam. Sakit dan penderitaan bukanlah aib. Melainkan jalan.
Dan jalan itu ia jalani sampai akhir. Bahkan ketika tubuhnya makin lemah, senyum dan canda tetap menjadi bagian dari harinya. Sehari sebelum wafat, setelah menerima Sakramen Minyak Suci, beliau masih tertawa.


Siapa sangka, itu adalah tawa terakhirnya di dunia ini.
Dalam misa keluarga sebulan sebelum wafat, Romo Yumartana meninggalkan tiga pesan:
- Tetaplah teguh dalam iman.
- Iman kepada Yesus adalah kunci keselamatan.
- Tetaplah mencintai dengan hati.
Bukan hanya pesan bagi keluarga, tapi juga bagi siapa pun yang sedang bergulat – termasuk pemimpin Gereja sekalipun.
Romo Benedictus Hari Juliawan SJ, Provinsial Jesuit, menyebut Romo Yumartana sebagai sosok yang “geleman” – versatile, ringan tangan, mau diajak bekerjasama.
Sebagai pemimpin di masa pandemi, awalnya banyak yang meragukan ketegasannya. Namun enam bulan kemudian, semua sepakat: “Romo Yumartana orang baik. Jangan dipindahkan.”

Ia sempat menjadi Rektor Seminari Mertoyudan. Dalam waktu singkat, bergerak cepat. Tegas dalam keheningan. Tidak semua bisa memahaminya, tetapi ia tetap melangkah dengan mantap.
Lalu penyakit itu datang. Pelan tapi pasti menggerogoti. Hingga akhirnya, ia berpulang dengan tenang.
Dan bagi Frater Arnold SJ, yang sempat menolak membuatkan mie atas larangan suster, kini hanya ada sesal. Mie sederhana yang tak pernah jadi, mungkin menjadi simbol dari banyak hal yang ingin kita lakukan tapi terlambat.
Namun jika mengenal Romo Yumartana, kita tahu ia pasti memaafkan. Karena ia tahu, cinta itu tidak selalu harus sempurna. Yang penting: tulus.
Di akhir homilinya, Romo Dedomau da Gomez SJ -pastor Paroki Blok Q Jakarta- berkata, “Romo Yumartana, dirimu bukan seperti tanaman semangka yang tumbuh sendirian.”
Dan benar. Ia tumbuh bersama banyak orang. Ia mengakar dalam kenangan, doa, dan cinta yang terus hidup.
“Selamat jalan, Romo Nono. Terimakasih atas hidup yang penuh iman, kesetiaan, dan cinta yang tenang. Doakan kami yang masih melanjutkan perjalanan ini – dengan pingpong hidup kami sendiri, yang kadang menang, kadang kalah, tapi semoga selalu dengan ketulusan seperti yang telah engkau tunjukkan.”
Bapak Andreas Yumarmo, kakak kandungnya mengucapkan selamat jalan.
Markus Budiraharjo
Kalasan, 9 Agustus 2025, pkl 15.53
Ketua IASM 2022-2025
Baca juga: Requiem untuk Romo Markus Yumartana SJ dan prosesi pemakaman jenazahnya