- Lukas 14:25-33
REKAN-rekan,
Pada awal Luk 14:25-33 yang dibacakan pada Minggu Biasa XXIII Tahun C disebutkan bahwa “ada banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanannya” (ayat 25).
Yang dimaksud tentu perjalanan menuju Yerusalem, tempat Yesus akan ditolak, disalibkan, dan dibangkitkan. Dengan catatan sederhana ini, Lukas ingin pembaca bertanya: apakah orang banyak itu berani mengikuti Yesus sampai akhir perjalanan-Nya?
Pertanyaan yang sama juga patut kita ajukan pada diri kita: beranikah kita menyertai perjalanan Yesus sampai tuntas
Hubungan dengan perumpamaan perjamuan
Selanjutnya, Lukas menjelaskan bagaimana seseorang bisa mengikuti Yesus sampai akhir. Menurut para ahli tafsir, kata-kata Yesus dalam ayat 25-33 dipakai Lukas untuk menegaskan maksud perumpamaan tentang tuan rumah yang mengadakan perjamuan (Luk 14:15-24).
Para undangan yang sebenarnya mampu datang, justru berdalih dengan berbagai alasan. Tuan rumah pun marah dan menyuruh hambanya mengundang orang miskin, cacat, buta, dan lumpuh agar memenuhi rumahnya.
Perumpamaan ini menunjukkan bahwa yang akhirnya masuk perjamuan Kerajaan Allah justru mereka yang semula tidak diperhitungkan.
Dalam tafsir tradisional, para undangan yang menolak diidentikkan dengan umat Yahudi zaman dulu, sedangkan undangan baru menunjuk kepada umat non-Yahudi.
Namun makna ini bisa berlaku bagi siapa pun yang telah dipanggil Tuhan tetapi kemudian menolak.
Masuk Kerajaan Allah?
Timbul pertanyaan: apakah status sebagai orang miskin, cacat, buta, atau lumpuh otomatis menjadi tiket masuk ke Kerajaan Allah? Apakah “status umat baru” sudah cukup sebagai jaminan?
Tentu tidak sesederhana itu. Persoalan ini sudah hangat sejak Gereja awal. Lukas menegaskan: untuk sungguh masuk Kerajaan Allah, orang harus menjadi murid Yesus.
Matius menyampaikan hal ini dengan cara lain. Dalam Mat 22:1-14, perumpamaan serupa ditutup dengan kisah seseorang yang masuk tanpa pakaian pesta dan akhirnya diusir.
Itu berarti ada syarat tertentu untuk sungguh layak masuk. Jika Matius menyebut “pakaian pesta”, Lukas menjelaskan dengan istilah “menjadi murid Yesus”.
Menjadi Murid Yesus
Menjadi murid Yesus berarti berani menjalani syarat-syarat yang dituntut. Lukas menampilkan tiga syarat pokok:
- Mengutamakan Yesus di atas ikatan keluarga (ayat 26)
Kata “membenci” dalam gaya bahasa Semit bukan berarti membenci secara harfiah, tetapi tidak berpihak. Seorang murid tidak lagi berpihak pada kepentingan keluarga atau bahkan nyawa sendiri, melainkan pada Kerajaan Allah. Pesannya bukan agar menolak keluarga, melainkan agar Kerajaan Allah tidak dipersempit menjadi urusan pribadi atau keluarga semata. - Memikul salib dan mengikuti Yesus (ayat 27)
Memikul salib bukan mencari penderitaan, melainkan berjalan dalam jejak Yesus. Salib sudah dipikul Yesus; murid dipanggil ikut meringankan beban-Nya. Salib tanpa mengikuti Yesus hanyalah penderitaan tanpa makna. Tetapi salib bersama Yesus membawa pada kemuliaan, yakni exodos menuju kehidupan baru. - Melepaskan diri dari keterikatan harta (ayat 33)
Setelah memberi perumpamaan tentang menghitung biaya membangun menara dan memperhitungkan kekuatan sebelum berperang, Yesus menekankan bahwa menjadi murid memerlukan perhitungan matang, bukan sekadar semangat sesaat. Murid Yesus harus bebas dari belenggu harta, sebab harta sering hanya dibagi pada keluarga sendiri. Murid Yesus justru dipanggil membentuk komunitas baru yang memberi ruang bagi semua orang, terutama yang miskin.
Yesus bukan pendiri sistem sosial-ekonomi baru, melainkan pewarta Kerajaan Allah yang mengajak pengikut-Nya memperhatikan mereka yang tak berkesempatan. Murid Yesus hidup merdeka dari harta dan berani berbagi. Karena itu komunitas Kristen awal makin dikenal sebagai umat baru yang terbuka bagi siapa saja.
Macam-macam cara menjadi murid Yesus
Tanya: Jadi, untuk sungguh masuk Kerajaan Allah orang harus menjadi murid Yesus, begitu?
Jawab: Benar.
Tanya: Tetapi mengapa Lukas menampilkan syarat-syarat yang rumit, sementara Matius hanya bicara “pakaian pesta”?
Jawab: Karena Lukas dan Matius mengolah kumpulan sabda Yesus sesuai kebutuhan komunitas mereka. Matius berbicara pada orang Kristen asal Yahudi yang sering berkonflik dengan keluarga Yahudi mereka. Lukas menulis untuk komunitas non-Yahudi, sehingga lebih menekankan perjalanan mengikuti Yesus dengan dedikasi penuh.
Tanya: Jadi sejak awal umat Kristen memang beragam, tidak seragam?
Jawab: Betul. Pluralitas sudah nyata sejak awal. Mengikuti Yesus dapat dijalankan dengan berbagai cara, namun intinya sama: ikut serta dalam perjalanan Yesus, memanggul salib bersama-Nya, dan membangun komunitas yang hidup dari kasih.
Salam hangat,
A. Gianto