- Luk 16:1-13
REKAN-rekan yang baik,
Perumpamaan mengenai bendahara yang tidak jujur dalam Luk 16:1-8a dilanjutkan dengan amatan bahwa kepintaran anak-anak dunia ini melebihi anak-anak terang (ayat 8b-9), serta pepatah bahwa barang siapa setia dalam perkara kecil dapat dipercaya pula dalam perkara besar (ayat 10-12).
Petikan yang dibacakan pada Minggu Biasa XXV Tahun C ini berakhir dengan penegasan bahwa tak mungkin mengabdi dua tuan (ayat 13).
Boleh dikatakan, petikan ini berisi ajakan untuk menemukan jalan lurus dalam liku-liku kehidupan dunia.
Dengan kata lain, ada ajakan bagi orang beriman agar berani belajar dari kenyataan hidup yang sering terasa berlawanan dengan cara hidup orang baik-baik.
Mengabdi dua tuan, tak mungkin
Marilah kita mulai dari akhir petikan itu, yaitu ayat 13. Di situ ditegaskan bahwa tak mungkin mengabdi kepada dua tuan. Alasannya, cepat atau lambat orang akan memihak kepada yang satu dan meninggalkan yang lain.
Tak mungkin menyembah Allah dan pada saat yang sama mengabdi Mamon – maksudnya uang, harta, kedudukan, semua yang serba duniawi.
Apakah ini pernyataan atau peringatan?
Bentuknya memang pernyataan. Tetapi dapat pula dimengerti sebagai peringatan agar murid Yesus tidak berhati mendua. Dalam hal apa pun, sikap mendua tidak baik.
Namun hal ini bukan barang baru. Sama dengan peringatan untuk melepaskan “orangtua, sanak saudara, diri sendiri, dan milik” agar menjadi murid sejati, seperti terungkap dalam Luk 14:25-33.
Tetapi bukan barang baru pula bila dalam praktiknya komitmen utuh seperti itu tidak mudah. Arahnya jelas, tetapi dalam pelaksanaannya kerap orang gagal mengabdikan diri dengan sepenuh hati.
Lalu, untuk apa mengutik-utik perkara yang sulit dihindari ini?
Kenyataan hidup sering menampilkan wajah yang berbeda dari yang diidealkan. Apakah Injil mau menyederhanakan kehidupan?
Bila demikian, yang kita dengar bukan lagi Warta Gembira, melainkan sekadar omongan saleh yang basi dan tidak banyak membantu orang mengenali liku-liku kehidupan nyata. Benarkah demikian?
Untuk menjawabnya, baiklah kita periksa perumpamaan mengenai bendahara yang tidak jujur. Petikan ini juga berguna untuk lebih memahami tuntutan menjadi murid sejati dalam Luk 14:25-33 tadi.
Apa perkaranya?
Di manakah letak ketidakjujuran bendahara dalam perumpamaan ini?
- Apakah pada perbuatannya memotong utang (ayat 6-7)? Atau
- Karena telah “menghambur-hamburkan” milik tuannya seperti disebut dalam ayat 1?
- Dengan kata lain, apakah ia berkolusi dengan para langganan sehingga merugikan pemilik perusahaan.
- Ataukah ia melakukan korupsi dengan memboroskan uang perusahaan bagi kepentingan sendiri?
Lalu mengapa ia dipuji?
Bendahara itu kiranya pernah mengadakan jual beli minyak dan gandum dengan maksud tidak jujur. Jumlah yang disebut—100 tempayan minyak dan 100 pikul gandum—sangat besar, bahkan tetap besar setelah dipotong menjadi 50 tempayan dan 80 pikul. Dari jumlah itu jelas ia tidak berurusan dengan konsumen kecil, tetapi dengan pedagang besar.
Transaksi semacam ini lazimnya tidak dibayar lunas seketika. Para langganan memiliki rekening pada perusahaan dagang tempat bendahara itu bekerja.
Di sinilah ia berlaku tidak jujur: yang sebenarnya 50 tempayan ia catat sebagai 100, yang 80 pikul didaftarkan sebagai 100. Ia berharap kelak bisa mengantongi keuntungan dari pembayaran.
Malang baginya, perbuatannya terendus dan rupanya ada keluhan yang sampai ke telinga pemilik perusahaan.
Maka pemilik meminta pertanggungjawaban. Bendahara itu sadar ia kini terancam diperkarakan. Ia memang belum langsung dipecat, baru diminta membuat laporan.
Di titik inilah ia mencari cara melepaskan diri dari krisis. Terpikir olehnya, mumpung masih ada waktu, baiklah ia cepat memperbaiki keadaan.
Caranya lihai: ia membersihkan pembukuan yang palsu, yang tadinya ia perhitungkan akan menguntungkannya. Inilah sesungguhnya yang terjadi dalam pemotongan utang pada ayat 6-7.
Perlu dipahami, ini bukan laporan peristiwa nyata atau nasihat agar para koruptor bertobat. Ini perumpamaan yang disampaikan untuk mengajak para murid berpikir bagaimana menghadapi liku-liku kehidupan dengan sikap yang tepat.
Pembaca zaman dulu pun sadar bahwa yang diceritakan adalah perumpamaan, bukan laporan bisnis nyata, sehingga mereka tidak sibuk mengecek rincian transaksi.
Mereka langsung melihat bahwa ketidakjujuran si bendahara ada pada tindakannya memboroskan milik tuannya (ayat 1) dengan tujuan menguntungkan diri.
Oleh karena itu transaksi yang diceritakan dalam ayat 6-7 lebih baik dimengerti sebagai usaha si bendahara membenahi korupsinya terdahulu. Maka mudah dipahami mengapa ia akhirnya dipuji.
Kelanjutan kariernya tidak relevan; yang ditekankan adalah kemauan dan kecekatan untuk berubah dalam situasi krisis. Karena itulah ia mendapat pujian.
Siapa yang memuji sang bendahara?
Dalam ayat 8 disebutkan: “Lalu tuan itu memuji bendahara yang tidak jujur itu, karena ia telah bertindak dengan cerdik. Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya daripada anak-anak terang.”
Dalam teks Yunani, ho kyrios (“tuan itu”) bisa merujuk pada tuannya sang bendahara (pemilik perusahaan), tetapi bisa juga pada Tuhan Yesus.
Jika merujuk pada pemilik, maka ayat 8 masih bagian dari perumpamaan. Tetapi jika merujuk pada Yesus, maka ayat itu menjadi komentar Yesus atas perilaku bendahara tadi.
Tambahan pula, bila Yesus yang dimaksud, maka ayat 8b – “Sebab anak-anak dunia ini…” membantu memahami ayat 9, yakni nasihat Yesus agar orang tahu mengikat persahabatan juga dengan memakai Mamon (uang) yang diperoleh dengan tidak jujur.
Persoalan siapa yang memuji ini memang membingungkan banyak penafsir. Tetapi bila uraian di atas diterima, hal ini tidak jadi masalah. Bisa saja pemilik yang memuji, bisa juga Yesus. Yang jelas, bendahara itu cerdik dan patut dipuji—baik oleh pemilik dalam perumpamaan maupun oleh Yesus sendiri.
Mamon yang tak jujur
Bagaimana menafsirkan ayat 9?
Ayat ini memuat nasihat Yesus agar orang mengikat persahabatan dengan menggunakan “Mamon yang tak jujur”, supaya bila Mamon itu tak berguna lagi, orang akan diterima dalam Kemah Abadi.
Maksud perkataan itu dapat diutarakan kembali begini: “Uang tidak halal (hasil korupsi, keuntungan dari pengelolaan buruk yang disengaja—perkara yang disebut pada ayat 1) memang untuk sementara dapat menjadi sandaran hidup, misalnya untuk mengikat persahabatan.
Tetapi pada waktunya akan terbongkar (ayat 2). Oleh karena itu, berusahalah memegang hal-hal yang dapat memberi rasa aman sejati—yakni diterima dalam Kemah Abadi.”
Pembaca yang peka akan teringat Mazmur 15, yang memberi rincian siapa yang layak tinggal bersama Tuhan di kemah-Nya:
- orang yang kelakuannya tak bercela, bertindak adil;
- hidup sesuai kebenaran,
- tidak memfitnah;
- tidak berbuat jahat;
- tidak mendatangkan aib bagi sesame;
- tidak mengecilkan kaum terpojok;
- menghormati orang yang bertakwa;
- memiliki integritas;
- tidak memeras;
- tidak mau menerima suap untuk merugikan orang yang tak bersalah.
Berpijak pada kenyataan
Sang bendahara berani dan berhasil membenahi diri dalam urusan “uang yang diperoleh dengan tidak jujur”.
Dalam hal ini ia bisa disebut “setia mengenai harta orang lain”, baik harta pemilik perusahaan maupun para langganan.
Andaikata ia tidak berbuat demikian, ia akan celaka.
Ayat 10-12 merumuskan kembali perkara itu dalam bentuk pepatah: pandai-pandailah membawa diri dalam urusan duniawi, dalam “urusan kecil” yang akan memberi kredibilitas dalam perkara yang lebih luhur, yakni yang menyangkut hal-hal rohani.
Pada awal uraian disebutkan bahwa ayat 13 bukan sekadar peringatan agar orang tidak mengabdi Allah setengah-setengah.
Itu sudah jelas.
Pendengar Injil tentu bukan orang yang mau terus mendua hati. Persoalannya bukan niat, melainkan kenyataan hidup yang sering membuat orang tidak sampai pada komitmen iman yang utuh.
Lalu bagaimana?
Perumpamaan bendahara yang tidak jujur namun cerdik tadi memperlihatkan bahwa Injil mengajarkan sikap mau dan berani berubah demi mencari jalan yang menyelamatkan. Juga diajarkan sikap mau belajar dari cara-cara duniawi—dari “urusan kecil” (ayat 11).
Tetapi seperti dinasihatkan dalam ayat 9, perlu ada kejelian melihat mana yang sungguh menjamin kebahagiaan sejati.
Dengan menggemakan inti ajaran Mazmur 15, Injil menghubungkan urusan duniawi dengan tanggungjawab moral yang menuntun orang menuju kebahagiaan kekal bersama Allah.
Injil mendorong orang memikirkan bagaimana kemanusiaan yang penuh liku-liku dapat menjadi jalan bagi anak-anak terang.
Dalam arti itulah Injil membuka jalan menuju Kemah Abadi.
Salam hangat,
A. Gianto