
Jumat 25 September 2025
Hag. 2:1b-10.
Mzm. 43:1,2,3,4.
Luk. 9:18-22
DALAM perjalanan hidup, kita tidak pernah lepas dari penderitaan: sakit, kehilangan orang yang kita kasihi, kekecewaan, atau kegagalan yang menghantam.
Kadang kita bertanya, “Mengapa Tuhan mengizinkan ini terjadi?”
Pertanyaan itu wajar. Namun, ketika kita menatap salib Kristus, kita melihat bahwa Allah sendiri masuk ke dalam penderitaan manusia.
Mengikuti Kristus berarti belajar melihat bahwa setiap salib bukan hukuman, tetapi jalan menuju kebangkitan. Kita diajak mempercayai bahwa bahkan di tengah gelap, Tuhan sedang bekerja menumbuhkan pengharapan baru.
Penderitaan yang kita alami dapat memurnikan hati, mengasah empati, dan membuat kita lebih peka pada mereka yang juga menderita.
Memahami penderitaan Tuhan bukan sekadar mengenang peristiwa di masa lalu. Itu adalah undangan untuk berjalan bersama Dia di tengah luka hidup kita.
Salib yang kita pikul, entah berupa sakit hati, kekhawatiran, atau beban keluarga, menjadi tempat perjumpaan yang mendalam dengan kasih-Nya.
Dalam penderitaan Kristus, kita menemukan bahwa kasih Allah lebih kuat daripada rasa sakit.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Dan Yesus berkata: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.”
Yesus mengungkapkan kepada para murid bahwa jalan-Nya menuju kemuliaan bukan jalan mulus penuh pujian. Ia, yang adalah Anak Allah, justru memilih jalur penderitaan, penolakan, dan kematian.
Kata “harus” menunjukkan bahwa ini bukan sekadar kemungkinan, melainkan rencana kasih Allah yang tak bisa dihindari: keselamatan manusia lahir melalui salib.
Pernyataan ini mengguncang para murid. Mereka berharap Mesias yang menang secara duniawi. Tetapi Yesus menyingkapkan identitas Mesias yang sejati: Raja yang merendahkan diri, Hamba yang mengurbankan nyawa demi penebusan dunia.
Kebangkitan pada hari ketiga menjadi janji bahwa penderitaan bukan akhir, melainkan pintu menuju kehidupan baru.
Bagi kita, salib-salib dalam hidup, penolakan, kegagalan, kesedihan, bisa menjadi bagian dari rencana Allah untuk memurnikan dan menumbuhkan kita.
Setiap “hari Jumat Agung” yang kita alami selalu mengandung janji “hari Minggu Paskah.”
Bagaimana dengan diriku?
Apakah saya percaya bahwa Allah dapat menumbuhkan kebangkitan di balik luka dan kegagalan saya?