Jumat, 15 Agustus 2025
Yos. 24:1-13.
Mzm. 136:1-3,16-18,21-22,24; Mat. 19:3-12.
BANYAK orang berkata bahwa menikah itu gampang, tetapi merawat perkawinanlah yang sulit.
Pernikahan sering diibaratkan seperti sebuah taman indah di awalnya, penuh bunga segar, warna-warni, dan aroma yang memikat. Namun, tanpa perawatan harian, bunga akan layu, rumput liar akan tumbuh, dan keindahan itu perlahan memudar.
Hidup perkawinan tidak hanya dimulai dari janji setia di altar, tetapi dibangun setiap hari melalui komitmen dan kesetiaan.
Kasih yang sejati tidak bergantung pada perasaan yang sedang hangat saja, tetapi pada keputusan untuk tetap mengasihi, bahkan ketika hati lelah atau tersakiti.
Kerendahan hati menjadi kunci utama. Tak ada pasangan yang sempurna. Masing-masing membawa kelemahan, kebiasaan, bahkan luka masa lalu.
Di sinilah pengampunan menjadi napas cinta. Mengampuni bukan berarti menghapus kesalahan dari ingatan, tetapi memilih untuk tidak membiarkan kesalahan itu memutuskan ikatan kasih.
Dalam.bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
Perikope ini berisi bukan sekadar peraturan pernikahan, tetapi sebuah rahasia kudus tentang kasih yang Allah rancang sejak awal penciptaan.
Ketika seorang pria dan wanita menikah, mereka bukan hanya mengikat janji di hadapan manusia, tetapi masuk ke dalam perjanjian suci di hadapan Allah.
Dalam perjanjian ini, mereka dipanggil untuk menyatukan hati, hidup, dan tujuan bukan hanya secara lahiriah, tetapi juga secara rohani.
“Menjadi satu daging” berarti tidak lagi ada “aku” dan “kamu” yang terpisah, melainkan “kita” yang saling melengkapi.
Segala keputusan, perjuangan, sukacita, dan duka dihadapi bersama. Namun, kesatuan ini tidak terjadi secara otomatis. Diperlukan komitmen, pengorbanan, kesetiaan, dan pengampunan yang terus diperbarui setiap hari.
Yesus menegaskan bahwa apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia. Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa pernikahan adalah karya Allah, bukan hanya hasil kesepakatan pribadi. Maka, menjaga kesatuan dalam perkawinan berarti kita sedang menjaga karya tangan-Nya.
Dalam dunia yang mudah menyerah pada perbedaan dan konflik, pasangan yang berjuang mempertahankan kesatuan menjadi saksi kasih Allah yang setia.
Kasih yang bertahan bukan karena tidak ada masalah, tetapi karena memilih untuk tetap setia di tengah masalah.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah saya sudah menghidupi janji setia perkawinan dalam suka maupun duka?