Jumat, 9 Mei 2025
Kis. 13:26-33.
Mzm. 2:6-7,8-9,10-11.
Yoh. 14:1-6
SETIAP hari, tanpa kita sadari, kita berjalan makin dekat pada kesudahan hidup.
Seperti kabut yang muncul sekejap di pagi hari dan hilang oleh panas mentari, begitulah hidup manusia di hadapan kekekalan.
Waktu begitu cepat berlalu. Tahun-tahun seperti bayangan, dan kematian bukanlah kemungkinan, melainkan kepastian.
Kesadaran akan kefanaan ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menyadarkan: hidup bukan milik kita.
Kita tidak menguasai waktu, kita tidak bisa menunda maut. Maka, yang dapat kita lakukan adalah berserah, menyerahkan diri kepada Allah, Sang Pemilik Hidup.
Hanya dalam Dia kita menemukan kekuatan untuk menyiapkan diri, bukan dengan ketakutan, tetapi dengan iman dan pengharapan.
Kematian, jika dipandang dalam terang iman, bukanlah akhir yang menakutkan, melainkan pintu menuju hidup sejati bersama Allah.
Kematian itu, bukan musuh, tetapi bagian dari perjalanan, bagian dari kehidupan itu sendiri. Kita datang dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, Kata Yesus kepadanya: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”
Bagi banyak orang, kematian adalah sesuatu yang menakutkan, gelap, dan tidak pasti.
Namun dalam terang iman, Yesus mengubah cara kita memandang kematian. Kematian tidak lagi menjadi musuh yang kejam, melainkan bagian dari rencana kasih Allah.
Sebab hidup ini bukan kebetulan, dan kematian bukan akhir dari segalanya. Kematian adalah pintu menuju rumah, tempat di mana kita berasal dan akan kembali, yaitu kepada Bapa.
Yesus sendiri telah melewati jalan itu. Ia mati, namun bangkit. Dengan kebangkitan-Nya, Yesus menghancurkan kuasa maut dan membuka jalan agar kita pun bisa masuk ke dalam hidup kekal.
Maka, kita tak perlu berjalan dalam ketakutan, sebab Ia telah lebih dahulu menyiapkan tempat bagi kita
Hidup ini anugerah, hidup ini hadiah, jika kita sadar bahwa hidup ini hanyalah perjalanan singkat, maka kita pun akan menjalani hari-hari kita dengan lebih bermakna.
Kita akan lebih bijaksana dalam menggunakan waktu, lebih mengasihi sesama, dan lebih merindukan perjumpaan dengan Tuhan. Kita tidak hidup untuk dunia ini saja, melainkan untuk kekekalan.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku sudah memilih jalan yang benar untuk pulang sampai pada kebahagiaan sejati?