Kembali ke Basengat Ka’ Jubata, Menghayati Masa Prapaskah dari Kearifan Lokal Suku Dayak

0
552 views
Anak-anak Dayak di wilayah pedalaman Keuskupan Ketapang sambut kedatangan Uskup Mgr. Pius Riana Prapdi dan AsiaNews. (Mathias Hariyadi)

RABU Abu, 22 Februari 2023, menandai dimulainya Masa Prapaskah bagi umat Katolik di seluruh dunia. Masa Prapaskah adalah masa tobat. Retret Agung. Masa penuh rahmat di mana kita diajak untuk kembali kepada apa yang esensial yang tak lain ialah Tuhan sendiri.

Seperti yang kita dengar dalam bacaan pertama dari nubuat Nabi Yoel bab 2 ayat 13 pada Misa Rabu Abu: “Berbaliklah kepada Tuhan, Allahmu”.

Tema Aksi Puasa Pembangunan Nasional (APPN)

Dalam konteks Gereja Katolik di Indonesia, umat beriman diajak mendalami dan selanjutnya mengambil tindakan konkret bersama atas Tema Aksi Puasa Pembangunan Nasional (APPN) 2023: “Keadilan Ekologis bagi Seluruh Ciptaan: Semakin Mengasihi dan lebih Peduli”.

Dengan melansir dari laman mirifica.net, baiklah kiranya saya kutipkan secara utuh penjelasan dari Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) terkait dengan tema tersebut.

“Keadilan ekologis berarti adil terhadap sesama manusia (sosial) dan sekaligus adil terhadap ciptaan lainnya.

Ciptaan memiliki arti lebih luas dari lingkungan hidup, karena ada hubungannya dengan rencana kasih Allah di mana setiap makhluk memiliki nilai dan arti (bdk. Laudato Si’ 76).

Keadilan ekologis bertumpu pada prinsip bahwa seluruh ciptaan saling terhubung dan tergantung satu sama lain, sebagai suatu persekutuan universal.

Paus Fransiskus menawarkan pendekatan ekologis yang mengintegrasikan soal keadilan dalam lingkungan hidup untuk mendengar dan merespon seruan bumi dan kaum pinggiran (bdk. LS 49).

Bagi umat Kristiani kepedulian akan keadilan ekologis bagi seluruh ciptaan adalah bagian dari pewartaan Gereja (bdk. Mrk. 16:15).

Gereja dipanggil dan diutus menjadi saksi keadilan dalam dunia dengan:

  • Mencari langkah nyata dalam menerapkan prinsip menghormati martabat manusia;
  • Memperjuangkan kesejahteraan bersama;
  • Membangun solidaritas dan;
  • Keberpihakan pada yang rentan berdasarkan cinta kasih sekaligus melestarikan alam semesta.”

Keuskupan Sintang di Kalbar

Oleh setiap keuskupan, tema itu kemudian diolah kembali sambil menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi keuskupan masing-masing. 

Keuskupan Sintang, misalnya, mengambil tema: “Memuji Tuhan, Merawat Alam”.

Tema ini terinspirasi dari pujian Pemazur ketika melihat kebesaran Tuhan dalam segala ciptaan-Nya (Mzm 104). Melaui tema ini, Gereja Keuskupan Sintang mengajak umat beriman untuk peduli dan memperjuangkan lingkungan hidup demi keutuhan ciptaan sebagai perwujudan imannya.

Tentang bagaimana umat beriman di Keuskupan Sintang mendalami serta mempraktikkan tema tersebut, bukan menjadi fokus dari tulisan ini.

Gawai Dayak Sintang 2022 siap digelar mulai tanggal 29-31 Juli 2022. (Victor Emanuel)

Seperti ajakan yang ditawarkan oleh Nabi Yoel, tulisan ini juga sebentuk ajakan, secara khusus kepada umat Kristen Dayak, untuk kembali kepada apa yang esensial yang sejatinya sudah terkandung dalam salah satu yang menjadi kearifan lokal orang Dayak.

Kearifan lokal itu saya jadikan titik acuan, pertama-tama, agar penghayatan akan masa tobat ini, akan ajakan Nabi Yoel dan akan tema APPN juga dijalani oleh umat Kristen Dayak dengan sepenuh hati.

Kearifan lokal masyarakat Dayak

Harapannya agar laku doa, puasa dan amal kasih yang mereka lakukan, baik sebagai pribadi maupun sebagai persekutuan Umat Allah, menghasilkan buah demi terwujudnya tata kehidupan bersama yang lebih bermartabat.

Selain itu, diletakkan dalam konteks evangelisasi di bumi Kalimantan, acuan kepada kearifan lokal itu hendak mengingatkan agar Gereja lokal menaruh perhatian terhadap harta kekayaan budaya yang telah dibagikan Allah kepada suku bangsa Dayak.

Gereja mesti menaruh perhatian pada kearifan lokal karena “pengembangan kelompok sosial mengandaikan suatu proses sejarah yang berlangsung dalam suatu konteks budaya, dan membutuhkan keterlibatan terus-menerus, terutama dari pelaku masyarakat lokal, dengan bertolak dari budaya mereka sendiri.

Hal tersebut hendak menegaskan bahwa gagasan tentang kualitas hidup tidak dapat dipaksakan, tetapi harus dipahami dari dalam dunia simbol dan adat yang menjadi milik masing-masing kelompok manusia.” (Laudato Si’ 144).

Tarian adat Dayak menyambut kedatangan Bupati Kabupaten Sintang dr. Jarot Winarno, Uskup Keuskupan Sintang Mgr. Samuel Oton Sidin OFMCap, dan para tetamu undangan lainnya. (Victor Emanuel)

Falsafah Basengat Ka’ Jubata

Adapun kearifan lokal yang saya maksudkan ialah salah satu yang menjadi falsafah hidup manusia Dayak, yakni Basengat Ka’ Jubata: Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga,

Begitulah bunyi lengkap falsafah hidup orang Dayak.

  • Adil Ka’ Talino berarti adil terhadap sesama.
  • Bacuramin Ka’ Saruga artinya mengarahkan mata ke surga.
  • Basengat Ka’ Jubata memiliki arti bernapaskan Tuhan yang Mahakuasa.

Falsafah Basengat Ka’ Jubata saya jadikan titik berangkat karena di dalamnya diperlihatkan dengan benderang apa yang menjadi esensi manusia Dayak.

Manusia Dayak adalah makhluk religius, makhluk ber-Tuhan karena napas hidupnya berasal dari Tuhan sendiri (basengat). Oleh karena itu, hidupnya sepenuhnya bergantung pada Tuhan, Sang pemberi kehidupan.

Mengatakan manusia Dayak sebagai makhluk religius, hemat saya, memiliki tiga konsekuensi langsung berikut.

  • Pertama, pengakuan akan Tuhan sebagai pencipta dan penguasa alam semesta.
  • Kedua, hormat terhadap harkat dan martabat setiap individu sebagai citra ilahi.
  • Ketiga, hormat terhadap alam.

Gambaran tentang manusia sebagaimana ditulis oleh Tjilik Riwut dalam bukunya Menyelami Kekayaan Leluhur dapat membantu kita memahami esensi orang Dayak sebagai makhluk religius.

Berangkat dari mitos penciptaan Kaharingan, dia meyakini kalau manusia merupakan ciptaan yang paling mulia dan sempurna. Sebagai ciptaan yang paling mulia dan sempurna manusia diharapkan menjadi contoh dan teladan bagi sesama, bersikap hormat, adil, jujur dan benar kepada sesama, serta selalu mengupayakan perdamaian.

Dan dengan menyandang predikat sebagai makhluk yang paling mulia dan sempurna, manusia diingatkan untuk tidak menjadi pribadi yang sombong dengan memandang rendah orang lain.

Justru sebaliknya ia mesti menjadi pribadi yang rendah hati. Dalam semangat kerendahan hati itu pula, ia diingatkan untuk selalu bertobat dengan membersikan dan menyucikan diri dan jiwanya.

Sikap hormat dan rasa takut terhadap Alam

Bagaimana dengan hormat terhadap alam?

Dalam religiusitas suku Dayak, ungkapan ambil bagian dalam napas hidup ilahi (basengat) dinyatakan dalam semengat (semongat).

Salah satu poin penting yang hendak digarisbawahi dari pemahaman suku Dayak tentang manusia yang memiliki kodrat ilahi (semengat) ialah manusia dimampukan untuk menangkap dan membaca tanda-tanda kehadiran Yang Transenden dalam peristiwa atau gejala alam.

Berkat semengat, mereka mampu membaca fenomena alam yang bisa mendatangkan berkat ataupun kutuk.

Dalam tradisi berladang, misalnya, kemampuan itu memainkan peran yang sangat penting.  Mendapatkan hasil panen yang baik dan berlimpah tentu saja menjadi keinginan setiap warga.

Akan tetapi, keinginan tersebut tidak pernah boleh mengabaikan pesan dari Yang Ilahi atau para leluhur yang hadir lewat tanda-tanda atau fenomena alam.

Pesan itu biasanya hadir lewat suara burung atau pun mimpi. Pengabaian terhadap pesan tersebut dapat mendatangkan bencana bagi diri sendiri, keluarga dan seluruh anggota komunitas.

Bahwa Yang Ilahi hadir dalam dan lewat tanda-tanda dan fenomena alam sesungguhnya mau mengatakan keyakinan kita orang Dayak akan alam yang memiliki kekuatan mistis. Sebuah keyakinan yang tidak hanya menimbulkan rasa hormat dalam diri manusia, tapi juga ketakutan.

Orang Dayak meyakini bahwa alam itu memiliki roh, jiwa tertentu yang memberikan kehidupan kepada manusia. Maka dari itu harus dihormati. Pun juga perilaku manusia harus baik dan sopan dalam memanfaatkan alam atau ketika harus bersentuhan dengan alam.

Alam tidak hanya bisa mendatangkan bahagia, tetapi juga celaka. Wujud-wujud yang tak nampak itu bisa mendatangkan sakit, luka dan celaka bila diabaikan dalam gerak hidup sehari-hari. Sebaliknya, mereka bisa mendukung pekerjaan, mendatangkan selamat bila keberadaan mereka sungguh dihormati.

Bukan hanya sikap hormat yang penting. Tapi juga rasa takut terhadap alam. Dengan adanya rasa takut itu, maka manusia akan memperlakukan alam dengan bijaksana, penuh hormat dan beradat.

Mereka akan mendengarkan dan mematuhi apa yang dipesankan oleh leluhur agar hidup mereka selamat dan jerih payah dalam bekerja atau pun berladang mendatangkan hasil yang baik.

Saya kemudian berpikir terjadinya kerusakan hutan di bumi Kalimantan sepertinya mau memperlihatkan sudah memudarnya atau bahkan mungkin sama sekali sudah hilangnya rasa takut kita manusia terhadap Yang Ilahi yang kita yakini juga hadir dalam alam.

Para pemuda Dayak dengan busana adat Dayak. (Br. Kasta MTB)

Mendudukkan Basengat Ka’ Jubata pada tempat pertama

Menjadi pertanyaan untuk kita, masyarakat Dayak, refleksikan bersama ialah apakah laku hidup kita sudah sungguh mengalir dari falsafah Basengat Ka’ Jubata?

  • Sudahkah falsafah hidup ini menggema dalam hidup sehari-hari atau hanya menggema ketika ada pertemuan saja?
  • Sungguhkah Tuhan (Jubata) menjadi pusat hidup kita?
  • Atau justru sebaliknya kita, manusia, menjadikan diri sebagai pusat dari kehidupan?

Pertanyaan itu mengemuka ketika saya mengamat-amati kembali rumusan Trisila hidup kita orang Dayak.

Muncul beberapa pertanyaan di benak saya terkait dengan rumusan yang sepertinya memang sudah baku itu.

  • Mengapa manusia berada diawal dan Jubata ditempatkan di akhir?
  • Mengapa harus dimulai dari memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan di bumi (keadilan), baru kemudian mengarahkan pandangan ke surga?
  • Mengapa Jubata diposisikan di akhir seolah Dia bukan menjadi asal dan pusat hidup kita?
  • Atau, apakah barangkali rumusan itu tidak lebih dari sekadar untuk memenuhi rasa bahasa supaya enak diucapkan dan didengar?

Rasa-rasanya lebih dari pada itu. Bahwa dalam perjalanan waktu Trisila itu ditetapkan menjadi pedoman dan pandangan hidup orang Dayak, pastilah karena keberadaannya mau berbicara tentang hal yang sangat penting.

Dan, hal yang amat penting itu, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, ialah berkaitan dengan apa yang menjadi esensi manusia Dayak. Jika memang itu yang menjadi esensi kita sebagai manusia Dayak, mengapa kemudian falsafah ini berada di urutan terakhir?

Seakan-akan mau mengatakan kalau laku hidup kita sebagai manusia Dayak tidak mengalir dari falsafah tersebut?

Ilustrasi: Pesta adat seni dan budaya Gawai Raa Lamba’ Lalo Dayak Taman di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar. (Samuel Bjp)

Keputusan Tumbang Anoi

Mgr. Valentinus Saeng CP, Uskup Keuskupan Sanggau, pernah mengupas secara mendalam Trisila hidup orang Dayak ini dalam buku Kearifan Lokal Pancasila Butir-Butir Filsafat Ke-Indonesia-an.

Menarik bahwa beliau menjadikan peristiwa Tumbang Anoi 1894 sebagai latar belakang historis lahirnya Trisila hidup orang Dayak tersebut.

Kita tahu dengan baik kalau perang antarsuku atau lebih dikenal dengan budaya ngayau (berburu kepala) menjadi latar belakang lahirnya Keputusan Tumbang Anoi.

Memperkenalkan Trisila hidup orang Dayak, menurut Mgr. Valen, berada dalam dalam konteks sosialisasi dan internalisasi kesepakatan Tumbang Anoi dalam rangka mengubah pengertian dan pemahaman masyarakat Dayak tentang hakikat manusia, makna relasi dan interaksi sosial antarsuku dalam hidup bersama.

Demi mengetahui Mgr. Valen menjadikan peristiwa Tumbang Anoi sebagai latar belakang historis lahirnya Trisila hidup orang Dayak, membuat saya berpikir kalau laku dan gerak hidup kita sebagai manusia Dayak tidak mengalir dari falsafah Basengat Ka’ Jubata, terasa benar adanya.

Bahwa ada yang berpandangan kalau pertemuan Tumbang Anoi bukanlah fajar peradaban bagi orang Dayak, melainkan semata-mata sebagai cara licik pemerintah Belanda agar bisa dengan leluasa menjajah bangsa Dayak, sama sekali tidak menghilangkan fakta historis kalau kita sesama orang Dayak pernah saling membunuh.

Uskup Keuskupan Sanggau Mgr. Valentinus Saeng CP rilis Salib IYD 2023 dan canangkan gerakan kirab Salib IYD 2023. (Komsos Keuskupan Sanggau)

Falsafah Basengat Ka’ Jubata memang belum lahir ketika bangsa Dayak saling berperang dan memusuhi. Realitas ini bagi beberapa orang mungkin akan dijadikan dasar pembenaran atas terjadinya pengayauan di masa lampau.

Menyetujui pandangan ini, hemat saya, sama saja dengan kita menyimpulkan kalau orang Dayak itu ialah kaum barbar yang kesukaannya ialah berperang.

Menstigmatisir orang Dayak sebagai suku yang tak ber-Tuhan karena itu tidak memiliki rasa hormat dan belas kasih terhadap orang lain.

Padahal, faktanya tidaklah demikian.

Bila kita merujuk kembali pada tulisan Mgr. Valen, perang antarsuku (ngayau) di masa lampau semestinya tidak terjadi. Sebab, kesadaran tentang eksistensi dan campur tangan Yang Kuasa sudah hidup dalam sanubari setiap suku Dayak yang ada di bumi Kalimantan.

Kesadaran itu, masih menurut Mgr. Valen, bukan berasal dari pendakuan revelatif (wahyu) maupun refleksi teologis yang begitu sistematis, metodis, ilmiah, dan koheren, melainkan dari pengalaman hidup sehari-hari.

Pengalaman hidup milik siapa?

Ya pengalaman hidup semua suku Dayak yang hidup di bumi Kalimantan. Dalam aneka bentuk pengalaman hidup itu, Yang Kuasa menunjukkan kemahakuasaan dan kebaikannya bukan hanya kepada satu suku Dayak saja, melainkan kepada semua suku Dayak.

Dari sini kiranya kita dapat memahami mengapa setiap suku Dayak memiliki sebutan yang berbeda terhadap Yang Mahatinggi: Petara, Jubata, Duata, Penompa, Duataq, Duato, Tanangaan, Ompokng Soma, Ranying Hatalla Langit dan sebagainya.

Sebuah perbedaan yang sama sekali tidak hendak mengatakan kalau Tuhan-nya suku Dayak yang satu lebih tinggi dan perkasa dari yang lain.

Juga tidak hendak mengatakan kalau suku Dayak yang satu lebih tinggi harkat dan martabatnya dari suku Dayak yang lain.

Dalok Dayak Uut Danum, Ritual Adat Dayak Wujud Penghormatan Leluhur. (Victor Emanuel)

Tuhan yang mereka sembah dan imani adalah Tuhan yang satu dan sama.

Yang mencurahkan berkat, perlindungan dan kebaikan-Nya kepada semua suku Dayak. Begitu pula, martabat semua suku Dayak berada pada derajat yang sama.

Oleh karena itu, tradisi perburuan kepala (ngayau) di masa lalu, dengan berbagai alasan apa pun, tidak seharusnya terjadi.

Lagi pula, tidak mungkin Ranying Hatalla Langit yang mereka sembah memerintahkan umat-Nya untuk menghilangkan nyawa orang lain.

Justru sebaliknya Dia memerintahkan umat manusia untuk saling menjaga, menghormati dan mengasihi satu sama lain.

Peristiwa itu telah lama berlalu. Dia menjadi catatan hitam tersendiri dalam sejarah peradaban manusia Dayak.

Akan tetapi, terjadinya peristiwa itu –dan juga terjadinya kerusakan hutan di bumi Kalimantan– dapat kita interpretasikan sebagai fenomena di mana manusia sudah menempatkan dirinya sebagai pusat dari kehidupan (antroposentrisme).

Oleh karena itu, ajakan untuk kembali kepada falsafah Basengat Ka’ Jubata selama kita menjalani Masa Prapaskah ini adalah ajakan untuk kembali ke Jubata sendiri.

Memohon ampun kepada-Nya; memulihkan kembali relasi kita dengan-Nya, dengan sesama dan dengan alam yang telah rusak oleh karena dosa dan kesalahan kita.

Secara rumusan falsafah Basengat Ka’ Jubata memang berada di urutan terakhir. Namun, mari selama dalam masa tobat ini kita berupaya mendudukkannya di tempat pertama.

Dengan begitu, maka kita sungguh mengakui dan mengimani Tuhan sebagai pencipta. Dia sendirilah yang menjadi asal, pusat dan tujuan hidup kita.

Dari iman kepercayaan itu kemudian mengalir sikap hormat terhadap martabat hidup sesama; mendorong kita untuk bersikap adil kepada sesama.

Sebuah sikap yang sangat diperlukan agar konflik antarsesama orang Dayak seperti di masa silam tidak lagi terjadi.

Sudah saatnya kita membangun bumi Kalimantan dalam “peradaban cinta” (Anjuran Apostolik Gereja di Asia, 25).

Dari iman yang sama mengalir juga sikap hormat dan rasa takut terhadap alam. Dengan adanya rasa takut itu, kita akan menjadi manusia-manusia yang hidupnya tidak diperbudak oleh nafsu keserakahan.

Mari kita ingat baik-baik perkatan Paus Fransiskus berikut ini:

“Ibu Pertiwi sekarang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena tanpa tanggungjawab kita menggunakan dan menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya.” (Laudato Si’ 2).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here