Ketika Hati Lebih Keras dari Batu

0
0 views
Dirikan rumah di atas batu, by thiscobhouse

Kamis, 30 Oktober 2025

Rm. 8:31b-39.
Mzm. 109:21-22,26-27,30-31.
Luk. 13:31-35

BATU yang keras tidak akan mudah ditembus air, sekalipun hujan turun deras.

Kita juga tahu bahwa air yang terus menetes pada tempat yang sama, lama-kelamaan mampu melubangi batu itu.

Begitulah kasih Allah, tidak lelah menetes, tidak berhenti bekerja, bahkan ketika hati kita menolak dan mengeras.

Hati yang keras tidak terbentuk dalam semalam. Ia tumbuh dari kebiasaan yang menolak koreksi, dari rasa cukup diri, dari luka yang tidak disembuhkan, atau dari kekecewaan yang tidak diampuni.

Semakin lama dibiarkan, hati itu menjadi beku, tak lagi peka terhadap teguran, sulit disentuh oleh belas kasih, dan enggan menerima kebenaran yang mengganggu kenyamanan.

Dalam bacaan Injil hari ini, kita dengar demikian,”Pada waktu itu datanglah beberapa orang Farisi dan berkata kepada Yesus: “Pergilah, tinggalkanlah tempat ini, karena Herodes hendak membunuh Engkau.”

Yesus bukan hanya berhadapan dengan orang-orang yang menolak-Nya secara terang-terangan.

Tantangan yang lebih berat justru datang dari mereka yang merasa sudah mengenal Allah, tetapi sesungguhnya hatinya tertutup terhadap pembaruan.

Ia menghadapi pola pikir yang telah membatu, kebiasaan rohani yang sudah menjadi rutinitas tanpa roh, dan karakter yang sulit dibentuk ulang oleh kasih serta kebenaran.

Yesus berhadapan dengan banyak hati tegar dan menolak. Orang-orang yang bangga dengan pengetahuan agamanya, tetapi hatinya tertutup bagi kasih; orang-orang yang rajin menjalankan aturan, tetapi tidak mau mendengar suara Tuhan yang hidup.

Yesus tahu, di balik kekerasan itu ada rasa takut, takut kehilangan kontrol, takut mengakui kesalahan, takut berubah.

Namun Yesus tidak berhenti di situ. Ia terus berbicara, mengajar, dan mengasihi. Ia membiarkan kasih-Nya menetes seperti air yang sabar, karena Ia percaya: tidak ada batu yang terlalu keras bagi cinta yang terus mengalir.

Demikian juga dalam hidup kita. Kadang Tuhan membiarkan peristiwa, kegagalan, atau kesedihan datang, bukan untuk menghukum, melainkan untuk melunakkan bagian hati yang telah mengeras.

Setiap air mata, setiap teguran, setiap pengalaman yang mengguncang bisa menjadi “tetesan air kasih” yang perlahan-lahan membuka ruang bagi pembaruan.

Bagaimana dengan diriku?

Apakah aku lebih sering membenarkan diri daripada membuka diri terhadap pembaruan?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here