Home BERITA Kisah Nyata Keajaiban Rosario: Kandas di Sawaerma Asmat (7)

Kisah Nyata Keajaiban Rosario: Kandas di Sawaerma Asmat (7)

0
42 views
Pemandangan aliran sungai nan besar yang menjadi lahan untuk transportasi dengan kapal, speedboat, dan kapal motor di Asmat, Papua. (Dok. Istiarto)

BELUM lagi setahun menjadi kuli tinta di Harian Suara Karya, aku ditugaskan pergi ke Agats, Papua. Tak tanggung-tanggung, tugas itu datang langsung dari Managing Editor, Bapak Herman Roempoko – kini sudah almarhum. Tugasnya: menginvestigasi kegiatan penebangan hutan yang berdampak pada terancamnya kelestarian budaya Asmat yang adiluhung itu.

Perjalanan luar biasa

Perjalanan Jakarta–Wamena biasa saja. Selanjutnya, itu yang luar biasa.

Dari Wamena ke Agats, pesawatnya adalah Cessna -maklum, penerbangan perintis. Saat melintas di kawasan Pegunungan Tengah, pesawat menyusuri lembah, melayang di antara dua dinding pegunungan berhutan perawan. Terlihat pilot membuka peta, terbang manual mengandalkan mata semata. Jika saja ada angin samping tiba-tiba, bisa saja kami terhempas ke dinding cadas.

Menjelang landing di Bandara Perintis Ewer – sejauh 30 menit naik speednoat dari pusat Kota Asmat, kudengar pilot berkomunikasi dengan petugas di darat. Suaranya lembut – suara seorang wanita dengan tata bahasa yang apik.

Bandara Ewer dilihat dari udara.
Pesawat AMA mendarat di Bandara Ewer Agats difoto dari udara dan kondisi riil di lapangan. Foto dibuat di bulan Juni 2013. (Mathias Hariyadi)
Bapak Uskup Keuskupan Agats Mgr. Aloysius Murwito pakai topi sebelah kiri tengah mengurusi bagasi di Bandara Ewer selepas pesawat ‘capung’ jenis Pilatus mendarat. (Mathias Hariyadi)
Ilustrasi: Moda transportasi sampan motor dari Bandara Ewer menuju pusat kota di Kabupaten Asmat – Keuskupan Agats. (Mathias Hariyadi)

Setiba di darat, ternyata itu suara seorang suster biarawati Ursulin yang sedang bertugas hari itu. Dan bandara kecil itu pun ternyata berada di kompleks susteran.

Aku pun meminta izin untuk mampir ke kapelnya dan berdoa sejenak. Aku berdoa menggunakan Rosario pemberian ibu.

Esoknya, perjalanan dilanjutkan menuju Sawaerma di pedalaman. Kami naik speedboat. Motorisnya adalah Romo.Sutiman OSC (kini sudah almarhum). Ikut pula Sr. Sisil OSU, serta dua orang pemuda warga setempat yang hendak pulang ke rumah orangtua mereka.

Perahu dipacu melaju cepat. Tengah hari kami tiba di muara sungai—entah apa namanya. Yang jelas, ketika memandang ke tepi sungai itu, yang tampak hanya pucuk-pucuk pohon, saking lebarnya. Dan tiba-tiba… Grosaaaakkk!

Perahu kandas, menabrak delta yang tak tampak dari kejauhan. Kuperkirakan itu di Teluk Flamingo.

Spontan, aku melompat dari perahu. Begitu pula romo dan suster. Bertiga kami mencoba menarik perahu, tapi sia-sia. Perahu tak bergerak sama sekali. Baling-balingnya terlalu dalam menancap di pasir.

Ilustrasi: Speedboat menjadi moda transportasi di Agats, Papua. (Mathias Hariyadi)

Lalu kuminta kedua pemuda itu turun membantu. “Kami takut, Pak… di sini banyak buaya,” jawab mereka nyaris serempak.

Mendengar itu, kami bertiga baru sadar—dan segera melompat kembali ke atas perahu. Apa boleh buat, menunggu air laut pasang tinggal satu-satunya pilihan.

Saat menunggu itulah, di bawah terik matahari, kuambil Rosario pemberian ibu. Lalu aku mulai berdoa, komat-kamit pelan.

Setengah tidak percaya, belum lagi doaku selesai, air laut tiba-tiba meninggi. Perlahan tapi pasti. Perahu mulai bergerak, beringsut, bergeser, dan akhirnya mengapung kembali.

Perjalanan pun berlanjut. Kami tiba di tujuan tepat saat magrib. (Berlanjut)

Eling B’Ning

Baca juga: Kisah nyata keajaiban Rosario, jadi kuli tinta (6)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here