Home BERITA Klaim Tunda JKN

Klaim Tunda JKN

0
Ilustrasi: by http://healthinsurancezoom

TERJADINYA selisih biaya negatif karena tarif INA CBGs pada umumnya lebih rendah dibandingkan tarif riil RS, meskipun RS sudah melakukan berbagai upaya efisiensi, terbukti telah memangkas relatif besar pendapatan finansial RS. Selain itu, masih banyaknya penundaan pencairan klaim oleh BPJS Kesehatan, terutama di RS Swasta, semakin menyulitkan ruang fiskal RS untuk berkembang.

ARSSI (Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia) Cabang DIY telah mengumpulkan data dan permasalahan dari 15 RS swasta besar di seluruh DIY.

Bagaimana koreksi sebaiknya kita mulai?

Permasalahan yang terjadi di RS swasta dapat dirangkum dalam aspek administratif kebijakan, teknis pendaftaran, layanan pasien, penyusunan, dan pencairan klaim. Kendala klaim dalam aspek kebijakan, perizinan atau regulasi, termasuk ketentuan bahwa kasus yang belum tegak diagnosisnya, diwajibkan untuk dikoding sebagai kasus perbaikan stamina atau KU, kasus shock wajib disertakan data rekam medik, dan ‘dispute’ atau penolakan layanan fisioterapi, adalah ketentuan yang layak diperdebatkan.

Kendala dalam aspek perangkat lunak komputer atau soft ware, ternyata juga tidak sedikit. Pada saat proses penginputan klaim obat sering terkendala, karena tidak adanya nama obat dalam program asterix.

Juga aturan bahwa SEP yang tertunda lebih dari tiga hari harus dilakukan konfirmasi ulang, justru sering menyebabkan penerbitan proses SEP lebih lebih lama. Perubahan ‘data based’ peserta PBI (Penerima Bantuan Iur) tidak ada pemberitahuan sebelumnya, bahkan  peserta mandiri dengan tunggakan pembayaran saat dirawat inap, juga tidak diberitahu dan harus mengurus pengaktifan kepesertaan ke kantor BPJS terdekat.

Juga koneksi jaringan V-claim sering tidak stabil (ups-anddowns), fitur V-claim tidak dilengkapi alarm untuk membantu RS mengoreksi data yang sudah di-entri dan akan diunggah. Padahal, ketidaksesuaian data antara SEP, E-claim dan V-claim akan dijadikan alasan bahwa klaim belum dapat diproses. Selain itu, layanan obat kronis belum lancar karena data yang sudah di-entry, dapat saja tidak muncul di aplikasi verifikator. Juga entry data harus berulang, karena aplikasinya belum dapat sinkron dengan NCC Kemenkes.

Rumit

Kendala dalam aspek pengajuan klaim, tidak kalah rumit. Misalnya tidak ada konfirmasi ketika berkas klaim akan di-pending, hanya karena perbedaan persepsi antara petugas verifikator dengan coder RS. Proses penyelesaian verifikasi dan pembayaran klaim yang dipecah dengan alasan karena verifikator tidak mampu menyelesaikan semua klaim, sehingga setiap bulan pasti ada klaim yang belum diverifikasi dan semakin lama semakin banyak.

Sistem ‘fingerprint’ di unit hemodialisa masih sering error dan adanya permintaan perubahan coding oleh verifikator, terutama untuk tarif INA CBG’s yang lebih tinggi dari tarif RS, sering kali  mempengaruhi kelancaran proses klaim.

Selain itu, dalam aspek pengajuan klaim adanya pergantian personil verifikator sering menyebabkan perbedaan proses verifikasi dan petugas verifikator tidak cukup kompeten secara medis, termasuk saat verifikator menggunakan standar DPM lokal, sedangkan RS tidah diberitahu tentang standar tersebut.

Misalnya untuk kasus pneumonia dan bronkhitis, kini diwajibkan adanya bukti foto rontgen dada yang tidak spesifik untuk menunjang diagnosis tersebut, pada hal sebelumnya tidak dipermasalahkan. Namun demikian, verifikator tidak bersedia menyampaikan persyaratan tersebut secara tertulis.

Kendala klaim karena ketidaksepakatan koding antara RS dengan verifikator ini, dialami oleh 7 dari 15 RS swasta besar di DIY.

Kendala layanan JKN yang lain terjadi pada pasien, misalnya pasien tidak memahami prosedur layanan di RS, tetapi justru pasien merasa dipersulit. Misalnya datang tanpa surat rujukan, tidak tahu kalau kartunya tidak aktif dan pasien yang tidak mau dirujuk balik ke PPK 1. Juga ada pasien yang datang kontrol paska operasi dengan kasus sesuai kompetensi dokter di PPK 2, tetapi apabila kontrol lebih dari 2 kali dianggap klaim tidak layak, karena harus dirujuk balik ke PPK 1.

Kendala pada proses pendaftaran pasien untuk layanan di RS, juga ada. Misalnya ketentuan Vclaim yang berbasis internet atau ‘web based’ menghambat proses pendaftaran, karena vclaim sering ‘error’, ‘down’, dan sering ada ‘update’ otomatis pada jam sibuk.

Selain itu, para dokter di klinik masih sering mengalami kesulitan meresepkan obat sesuai e-catalog, termasuk banyak obat kronis yang tidak terdaftar dalam software klaim obat kronis. Misalnya amlodipin 5 mg, glibenclamide, miniaspi, mikardis, dan valsartan.

Bahkan ketersediaan obat di RS sering kosong.

Pada era v-claim, proses layanan harus entry data 2 kali, yaitu untuk e-claim dan v-claim, sehingga layanan menjadi kurang efisien. Selain itu, ada juga kendala log out v-claim yang sangat cepat, hanya 60 detik, sehingga menghambat saat proses SEP berjalan.

Pada era Vedika sebelum ini, berkas klaim susulan dan pending menumpuk tanpa ada informasi kejelasan klaim. Selain itu, untuk pengajuan klaim obat dengan tanda asterix atau paket di luar INA-CBGs, terdapat beberapa kendala misalnya data obat di sistem dapat berubah tanpa pemberitahuan, jika sudah entry data dan kemudian sistem di-update otomatis, maka data harus dihapus dan di-entry ulang, serta beberapa obat kronis tidak ada dalam daftar.

Selain itu, regulasi pengklaiman obat khusus seperti obat inhaler tidak sama pada semua RS, pemberian obat lebih dari 30 tablet per bulan tidak dapat di-entry, dan perbedaan regulasi obat kronis dengan regulasi Fornas.

Besarnya klaim bulan Oktober sampai Desember 2016 yang tertunda pada 15 RS swasta besar di DIY mencapai lebih dari Rp. 96,521,465,700 (hampir seratus milyar rupiah). Padahal, pada MoU antara RS dengan BPJS Kesehatan disebutkan adanya denda 1% per bulan, atas keterlambatan pencairan klaim.

Namun demikian, pelaksanaan pembayaran denda sangat sulit dieksekusi. Meskipun penundaan klaim sudah sering terjadi, tetapi pembayaran denda ini rasanya belum pernah dilaksanakan.

Kendala dalam pencairan klaim yang dialami oleh banyak RS swasta besar di DIY menyadarkan kita semua bahwa program JKN perlu dikritisi, termasuk dalam aspek teknis oleh BPJS Kesehatan.

RS swasta harus memperjuangkan perbaikan, agar tidak mengalami defisit finansial yang semakin menganga.

Apakah kita sudah terlibat membantu?

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version