Home BERITA Lectio Divina 28.06.2020 – Syarat Mengikuti Yesus

Lectio Divina 28.06.2020 – Syarat Mengikuti Yesus

0
Mengikuti Yesus by Catholic Strength

Minggu. Pekan Biasa XIII (H).

  • 2Raj.4:8-11.14-16a
  • Mzm 89:2-3.16-17.18-19
  • Rm 6:3-4.8:11
  • Mat.10:37-42

Lectio

37  Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku. 38  Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku.

39  Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. 40  Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku, dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia yang mengutus Aku.

41  Barangsiapa menyambut seorang nabi sebagai nabi, ia akan menerima upah nabi, dan barangsiapa menyambut seorang benar sebagai orang benar, ia akan menerima upah orang benar. 42  Dan barangsiapa memberi air sejuk secangkir sajapun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya.”

Meditatio-Exegese

Pada waktu seperti ini juga, tahun depan, engkau ini akan menggendong anak laki-laki

Kitab Suci sering menyajikan kisah karya Allah yang disusun sangat rinci, indah dan dramatis. Seperti Nabi Elia, Nabi Elisa selalu bergerak dari tempat satu ke tempat lain dan berpangkalan di Gunung Karmel. Pada bagian pertama, terbaca kisah anugerah kehidupan baru. Seorang ibu  yang dianggap mandul dibuka rahimnya dan dianugerahi seorang anak (2Raj. 4:8-11,14-16a). Selanjutnya, Allah berkarya melalui Nabi Elisa saat Ia membangkitkan anak itu dari kematian (2Raj. 4:18-37).

Santo Yohanes Chrysostomus menulis bahwa kasih harus diwujud nyatakan dalam bentuk konkrit: sebuah kamar atas yang kecil dan berdinding batu, tempat tidur, meja, kursi dan sebuah kandil, dan ijin masuk ke sana. Selanjutnya ia menulis, “Elisa tidak hanya memberikan bantuan rohani pada perempuan yang menyambutnya dengan ramah tamah; tetapi juga membalasnya dengan bentuk bantuan konkrit” (dikutip dari De Laudibus Sancti Pauli Apostolici, 3, 7).

Bagian pertama kisah Elisa menunjukkan anugerah yang diterima seseorang setelah memperlakukan seseorang seperti menyambut seorang nabi; hal ini juga mengingatkan akan janji Yesus pada mereka yang mengakui dan menyambut seorang utusan-Nya (bdk. Mat. 10:13-14).

Kita juga belajar  bahwa kuasa doa dan doa harus dilakukan dengan penuh iman. Atas doa itu Allah sering menganugerahkan hal yang mengejutkan dan melampaui segala harapan, misalnya anugerah seorang anak pada perempuan mandul.

Ia juga memberi rahmat untuk menjaga dan membuat anugerah itu terus berkembang. Allah tidak pernah meninggalkan kita dan terus mendamping, misalnya : anugerah bakat pribadi atau panggilan.

Kelak, Santo Agustinus membandingkan perjalanan, doa dan tindakan Elisa pada anak laki-laki perempuan Sunem yang mati dengan tindakan Allah untuk inkarnasi dan karya penyelamatan Yesus Kristus. “Elisa datang dan naik ke kamar, sama seperti Kristus yang datang dan naik ke palang salib.

Elisa merentangkan tangan, meniarap di atas anak itu; Kristus merendahkan diriNya sendiri agar dunia yang di dikuasai di bawah telapak kaki dosa dapat diangkatNya.

Elisa meletakkan matanya atas mata anak itu; tangannya atas tangan anak mati itu. Apa yang dipralambangkan Elisa, cara ia menyembuhkan anak itu, dipenuhi Yesus Kristus bagi seluruh manusia. Perhatikan apa yang dikatakan sang Rasul, “Ia merendahkan diriNya sendiri dan taat sampai mati.”

Karena kita adalah anak-anak, Ia menjadikan dirinya seorang anak; karena kita terbaring mati, yang dilakukan dokter adalah membungkuk, sebab ada seorang  pun mampu melakukan apa pun pada saudara yang menderita itu kecuali bila ia membungkukkan diri sendiri.

Saat anak itu bangkit,  ia bersin tujuh kali, yang melambangkan tujuh bentuk karunia Roh Kudus yang dilimpahkan kepada manusia sepenuhnya saat Ia datang (Sermons attributed to St Augustine, “Sermons”, 42, 8).

Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya, anaknya laki-laki atau perempuan, lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku

Sebelum Yesus menetapkan syarat-syarat untuk mengikuti-Nya, Ia mengingatkan setiap orang untuk menimbang dan memutuskan kesanggupan masing-masing pribadi. Keputusan untuk mengikuti-Nya dan menjadi anggota keluarga atau komunitas yang didirikan-Nya dapat menhancurkan ikatan-ikatan keluarga yang dibentuk atas ikatan manusiawi (bdk. Mat. 10:34-37).

Syarat pertama sepertinya tidak manusiawi. Sabda-Nya, “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.” (Mat. 10:37). Sepertinya, tuntutan ini bertentangan dengan perintah keempat: mengasihi dan menghormati bapa-ibu (Mrk. 7:10-12; Mat. 19:19).

Yesus mau menekankan bahwa Kabar Suka Cita, Injil, menjadi tolok ukur tertinggi dalam hidup. Maka, bila terjadi konflik kepentingan, Yesus meminta para murid-Nya untuk menjadikan Kabar Suka Cita prioritas utama dan pertama.

Besar kemungkinan Yesus belajar dari pengalaman penjajahan Romawi yang menghisap tiap keluarga dengan pajak.  Penerapan sistem pajak yang mencekik menempatkan keluarga dalam kesulitan sosio-ekonomi, politik, keamanan – persekusi, pengkhianatan, bahkan pembunuhan. Mereka tidak bisa mengelak dari kewajiban membayar, karena semua dicatat dalam sensus penduduk (bdk. Luk. 2:1-2).

Dalam keadaan yang penuh tekanan penerapan perintah keempat dapat berkembang menjadi sangat individualistik. Orang hanya memperhatikan keselamatan diri sendiri dan keluarga intinya saja. Dampak buruk mentalitas ini : hancurnya solidaritas di antara anggota komunitas iman dan pewartaan Kabar Suka Cita menjadi tidak mungkin.

Maka, perintah keempat diinterpretasikan sesuai dengan kehendak Allah, yakni hidup dalam persaudaraan kasih. Lalu, siapa yang menjadi ibu Yesus dan saudara-saudariNya?  Saat orang banyak duduk mengelilingi Yesus, mereka berkata, “Lihat, ibu dan saudara-saudara-Mu ada di luar, dan berusaha menemui Engkau.” Jawab Yesus kepada mereka, “Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?” Ia melihat kepada orang-orang yang duduk di sekeliling-Nya itu dan berkata “Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.” (bdk. Mrk 3: 32-35).

Ia memperluas makna keluarga. Makna ini terus dipertahankan hingga sekarang. Namun, keluarga inti tetap memiliki peran sebagai tempat bersemainya benih iman di antara suami-istri dan, bila dianugerahi, anak-anak.  Keluarga menjadi Gereja kecil, familia est Ecclesiola.    

Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku

Tuntutan lain yang tak kalah berat adalah tiap murid harus memanggul salib dan mengikuti jejak langkah kakiNya. Ia bersabda, “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat. 10: 38).

Penyaliban lazim dilakukan pada masa Yesus hidup sebagai salah satu cara menghukum mati penjahat. Cara ini ditemukan oleh bangsa Persia; kemudia bangsa Yunani mengambil alih cara ini; dan, bangsa Romawi mempraktikkan hukuman ini untuk menghukum mati warga negara non-Romawi.  

Ia mengundang para murid untuk mengikuti-Nya dalam seluruh aspek hidup, termasuk: pelayanan, penyembuhan, penderitaan, dan berpuncak pada kemuliaan-Nya. Bangsa Yahudi dan Israel memandang hukuman mati dengan cara ini setara dengan penggantungan, sehingga orang yang digantung/disalib dianggap orang yang dikutuk (Ul. 21:23).

Yesus menubuatkan penyaliban yang akan dialami-Nya, walau para murid belum memahami sepenuhnya maksud sabda-Nya. Ia mengingatkan akan konsekuensi yang harus ditanggung para murid yang akan dimusuhi, bahkan, harus menanggung derita sampai dihukum mati dengan pelbagai macam bentuk yang menghinakan.

Mengesampingkan pandangang bahwa salib merupakan batu sandungan bagi orang Yahudi dan kebodohan bagi orang Yunani (1Kor. 1:23), Santo Paulus pun justru bermegah karena salib (Gal 6:14), “Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia.”, mihi autem absit gloriari nisi in cruce Domini nostri Iesu Christi per quem mihi mundus crucifixus est et ego mundo.

Yesus tidak mau mengecilkan hati para murid. Murid-Nya harus bersedia memeluk penderitaan demi Kerajaan Allah, yang diwartakan Yesus, bahkan, bila harga yang harus dibayarnya adalah mati sahid. Barang siapa mencoba menyelamatkan hidupnya dengan cara mengingkari Yesus, ia menghukum dirinya sendiri dengan kematian abadi.

Namun, Yesus ternyata juga membesarkan hari para muridNya, “Barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.” (Mat 10:39). Setiap murid, yang menjadikan Yesus sebagai Jalan, Kebenaran dan Hidup (Yoh 14:6),  rela mengorbankan nyawa untuk Sahabatnya (bdk. Yoh. 15:13). Dengan cara ini ia memelihara nyawanya untuk hidup kekal (Yoh. 15:25).

Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku, dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia yang mengutus Aku

Frase ‘Dia yang mengutus Aku’ (Mat. 10:40) mengacu pada Bapa. Dialah yang mengutus Yesus. Sedangkan pada murid-Nya adalah utusan-utusan Yesus. Santo Matius menggunakan kata αποστειλαντα, aposteilanta, kata kerja berakar dari kata  ἀποστέλλω apostelló, mengutus. Sedangkan untuk kata  utusan, duta digunakan kata ἀπόστολος, apostolos.

Dalam tradisi pengajaran dan tulisan para rabi agama Yahudi (bdk. https://www.britannica.com/topic/Rabbinic-Judaism), seorang utusan berarti “seseorang yang mewakili dan bertindak selayaknya orang yang diwakilinya” (bdk. Mishnah: Ber., 5.5). Prinsip ini menjadi landasan dan latar belakang Mat. 10:40. Yesus menyingkapkan bahwa Ia adalah seorang utusan Allah Bapa; dan, para murid-Nya adalah utusan-Nya sendiri.

Sebagai utusan-Nya, para murid mengidentifikasi diri dengan Yesus. Mereka sering disebut sebagai Yesus yang lain, alter Iesus. Maka, siapa pun menyambut murid Yesus, mereka menyambut Yesus sendiri; maka, dalam penyambutan itu terjadi juga penyambutan pada Allah Bapa, yang mengutus Yesus. Dengan demikian, yang menyambut para murid Yesus akan diganjar juga oleh-Nya.  

Barangsiapa menyambut seorang nabi sebagai nabi

Para murid Yesus yang diutus untuk menyampaikan Kabar Baik layak disambut sebagai nabi, utusan Alah. Mereka juga seharusnya dikenali karena peri hidup suci, yakni: melaksakan  hukum Allah. Allah selalu orang benar (Mzm. 146:8). Ibu Kebijaksanaan selalu berseru (Ams. 2:20), “Sebab itu tempuhlah jalan orang baik, dan peliharalah jalan-jalan orang benar”, ut ambules in via bona et calles iustorum custodias.

Murid Yesus yang hidup sebagai orang benar tak hanya disambut sebagai orang benar. Kepalsuan tidak ada padanya, seperti Nathanael (bdk. Yoh. 1:47). Bila peri hidup benar, mereka juga diganjar dengan upah nabi atau orang benar.

Hal yang sama juga berlaku bagi mereka yang ambil bagian dalam karya para nabi/pewarta sabda atau orang benar. Mereka layak mendapat upah/ganjaran sesuai dengan apa yang diberikan dalam karya nabi/pewarta sabda atau orang benar.

Dengan nada negatif dapat juga dikatakan: mereka yang menadah barang curian atau bekerja sama dengan para penjahat, akan dihukum setimpal dengan kejahatan yang dilakukan, walau tidak seberat pelaku utama.

Barangsiapa memberi air sejuk secangkir sajapun

Kerajaan Allah tidak dibangun dari bahan yang besar dan hebat. Kerajaan-Nya dibangun dari tindakan sederhana dan nampak kecil. Bahkan, cuma dari tindakan sederhana – memberi secangkir air sejuk. Sabda-Nya, “Dan barangsiapa memberi air sejuk secangkir sajapun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya” (Mat 10: 42).

Maka, sabda-Nya meneguhkan, karena memungkinkan siapa saja untuk turut ambil bagian dalam membangun Kerajaan-Nya melalui sumbang sih, yang seolah kecil, tidak diperhatikan mata manusia. Dengan cara sederhana dan kecil pula, tiap murid diutus mewartakan Kerajaan Allah ke segala penjuru dunia.

Para murid tidak hanya menempatkan diri sebagai yang terkecil dalam Kerajaan Sorga (Luk 9:48), yakni: mereka yang menggantungkan diri pada belas kasih Allah, tetapi juga melakukan apa yang diperlukan mereka yang kecil. Yang kecil pasti sama dengan Yesus sendiri yang hadir dalam diri mereka yang lapar, haus,  orang asing, telanjang,  sakit, dan di penjara (bdk. Mat. 25:35-45).    

Katekese

Mengambil langkah pertama, terlibat dan mendukung, berbuahdan bersukacita. Paus Fransiskus, 17 Desember 1936 – sekarang

“Gereja yang “bergerak keluar” adalah komunitas para murid yang diutus yang mengambil langkah pertama, yang terlibat dan mendukung, yang berbuah dan bersukacita. Sebuah komunitas yang mewartakan Injil mengetahui bahwa Tuhan telah mengambil prakarsa, Dia telah terlebih dahulu mengasihi kita (bdk. 1Yoh.4:19), sehingga kita dapat bergerak maju, berani mengambil prakarsa, keluar kepada yang lain, mencari mereka yang telah menjauh; berdiri di persimpangan-persimpangan jalan dan menyambut yang tersingkir.

Komunitas semacam itu tak pernah kehabisan semangat untuk menunjukkan kemurahan hati, buah dari pengalamannya sendiri akan kekuatan belas kasih Bapa yang tanpa batas. Marilah kita berusaha sedikit lebih keras untuk

mengambil langkah pertama dan terlibat. Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya. Tuhan terlibat dan Dia melibatkan murid-muridNya ketika Dia berlutut untuk membasuh kaki mereka. Dia berkata kepada para murid-Nya, “berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya” (Yoh. 13:17).” (dikutip dari Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 24)

Oratio-Missio

  • “Tuhan, tak ada mata melihat, tak ada telinga mendengar, tak ada hati memahami hal-hal yang Engkau siapkan bagi mereka yang mengasihi-Mu. Nyalakanlah api Roh Kudus dalam hati kami, agar kami mampu mengasihiMu dalam dan di atas segalanya. Perkenankan kami menerima anugerah Yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui Kristus, Tuhan kami. Amin.” (dikutip dari A Christian’s Prayer Book, terjemahan bebas)
  • Apa yang perlu aku lakukan untuk menumbuh-kembangkan kasihku pada Allah?  

Et, quicumque potum dederit uni ex minimis istis calicem aquae frigidae tantum in nomine discipuli, amen dico vobis: Non perdet mercedem suam – Matthaeum 10:42

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version