Home LENTERA KEHIDUPAN Memaknai Ramadhan: Gejala Mereduksi Makna Puasa(3)

Memaknai Ramadhan: Gejala Mereduksi Makna Puasa(3)

0

[media-credit name=”Google” align=”alignleft” width=”150″]

SETIDAKNYA dua fenomena di atas dapat menjadi cermin bagaimana pemahaman dan orientasi ibadah puasa mulai bergeser ke arah yang salah. Kultur masyarakat, teruma akibat pengaruh budaya populer, mulai membelokkan makna di balik ibadah puasa dan Idul Fitri. Ironisnya, fenomena ini terjadi dalam masyarakat perkotaan yang identik dengan pola pikir yang lebih terbuka dan rasional. Nyatanya, ritual suci ini hanya menjadi instrumen penunggang nafsu material yang menggelora.

Saum dan Lebaran ibarat sebuah proses. Masing-masing menjadi penanda sebuah perubahan. Tentunya pemaknaan yang utama bukanlah simbol-simbol material, tetapi lebih kepada kebutuhan spiritual seseorang dengan tuhan dan sesamanya. Ketika seseorang berhasil melewati ujian dalam ibadah puasa, dan merayakan kemenangannya dalam hari Idul Fitri, sesungguhnya lebaran merupakan titik awal manusia baru untuk lebih beriman kepada ilahi dan mengasihi sesamanya.

Islam dan kesederhaan

Islam menempatkan ibadah puasa pada posisi yang istimewa. Puasa merupakan ibadah yang memadukan keikhlasan hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta (hablum minallah) dan keihklasan hubungan antara manusia dengan manusia (hablum minannas). secara pribadi puasa merupakan media mendekatkan diri kepada Allah swt.

Sementara ditelisik dari aspek sosial, puasa mengajarkan untuk peduli kepada sesama, memperbanyak amal sholeh; bukan mengumbar nafsu konsumtif. Puasa hendak mengajarkan bagaimana manusia mengendalikan diri dalam kehidupan. Dalam konteks ini, Islam mengajarkan kepedulian sosial melalui zakat fitrah di akhir Ramadhan.

Sebagai ibadah yang menjunjung tinggi toleransi dan solidaritas sosial, mengapa perilaku umat di bulan puasa menjadi demikian konsumtif, sehingga mengubah wajah bulan suci yang penuh ampunan menjadi bulan belanja yang penuh kemewahan? Mengapa pemerintah dan otoritas agama membiarkan dunia industri dan bisnis terus mengeksploitir naluri konsumtif umat melalui produk iklan dan pencitraan beragam produk yang seolah menjadi kebutuhan umat dalam yang menjalankan ibadah berpuasa?

]

[/media-credit]

Menghadapi gempuran konsumerisme, umat Islam perlu merevitalisasi pesan ruhaniyah puasa. Respiritualisasi puasa menjadi hal urgen guna menjawab krisis keberagamaan dan perilaku konsumtif umat dewasa ini. Ekspresi Ramadhan haruslah sebuah refleksi yang ituh dus implemetasi konkret kesadaran keberagaman untuk meningkatkan kadar keimanan dan ketakwaan umat sesuai dengan pesan moral yang terkandung dalam makna ibadah puasa.

Spiritualitas Ramadhan juga harus dilandasi oleh kesadaran paripurna umat untuk menghadirkan spirit dan pesan ramadhan yang rahmatan lil’alamin (peneguhan kebersamaan, toleransi, kesetiakawanan, dan solidaritas sosial (umat) dengan memperbanyak sedekah, infak, dan zakat (fitrah) untuk kaum miskin, dhu’afa, dan mustadh’afin.

Respiritualisasi agama ini menjadi refleksi sosio-religiusitas yang mendesak agar kita tak terjerembap masuk dalam kubangan perilaku konsumtif yang tak Islami. Sebagai ibadah yang berdimensi spiritual (teosentrik) sekaligus sosial (antroposentrik), puasa tak akan banyak berguna dalam menjahit nilai-nilai keikhlasan dan ketakwaan serta peneguhan spirit solidaritas sosial umat jika ia hanya menyuburkan sikap konsumtif-hedonis di tengah kegamangan umat. Walahuallam bisawab.  (Selesai)

Ulul Huda MA, ikut mengasuk Pondok Pesantrean Al Hidayah di Karangsuci, Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version