Puncak Bukit Fulan Fehan nan indah nampak dari kejauhan membuat hati tak sabar untuk mencapainya. Kabut pekat yang terlihat menambah rasa penasaranku, ingin melihat yang tersembunyi di baliknya.
Rombongan mahasiswa-mahasiswi Sekolah Tinggi Pastoral (STP) Santo Petrus Keuskupan Atambua beriringan mendaki menuju puncak bukit. Di sepanjang perjalanan yang terjal dan berkelok bak ular tampak rumah-rumah penduduk berjejer. Beberapa warga tampak berjalan kaki ikut menyusuri jalan yang kami lalui. Sesekali melambaikan tangan menyapa kami.
Jalan yang berkelok-kelok dan terjal tak membosankan bagi kami karena menyajikan pemandangan alam yang begitu indah. Bukit- bukit yang disulap warga setempat menjadi kebun yang menghasilkan berbagai jenis tanaman. Kehijauan dan kesejukan membuat kami serasa disambut oleh alam.
Lima belas menit perjalanan, akhirnya kami tiba di sebuah bukit batu yang menjulang megah. Keindahan itu makin sempurna dengan berdirinya sebuah patung Bunda Maria yang tegak dan indah seolah sedang menatap kami dan berkata “Aku selalu menyertai perjalanan kalian agar sampai pada tujuan.”
Dari kejauhan nampak anak-anak kecil berjalan beriringan pulang sesuai sekolah sambil sesekali bercanda gurau, tertawa dan berkejar-kejaran di sepanjang jalan yang kami lalui. Ketika melihat rombongan kami, serentak mereka berhenti dan memberi salam sambil melambaikan tangan memberi ucapan selamat datang kepada kami.
Minta Izin
Setelah melewati perumahan warga, tibalah kami di sebuah padang nan hijau yang indah. Sebelum melangkah masuk di tempat yang lebih indah lagi, kami berhenti dan menemui tetua adat setempat untuk meminta izin agar perjalanan tidak mengalami kendala. Setelah selesai, barulah rombongan kami memasuki wilayah yang pemandangannya betul-betul indah.
Sudah menjadi hal yang biasa, sebelum memasuki kawasan bukit, beberapa orang tua yang merupakan tetua adat berlaku seperti pemandu wisata, menjelaskan kepada para wisatawan lokal maupun mancanegara batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar para pengunjung yang datang. Dan batasan itu disebut oleh warga setempat sebagai hutan terlarang yang berada persis di sebelah kiri dan kanan Padang Sabana.
Konon menurut cerita warga Desa Dirun, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, tempat itu merupakan daerah sengketa antara dua kerajaan zaman dahulu. Di situ pernah terjadi pertumpahan darah di antara mereka. Untuk menyelesaikan sengketa, masing-masing pihak bersumpah. Apabila ada yang melanggar dan memasuki kawasan itu maka ia tidak akan kembali dengan selamat. Hal ini kemudian secara turun temurun diyakini dan dijalani warga setempat sehingga setiap pengunjung selalu diarahkan untuk tidak melanggar larangan yang dimaksud.
Setelah mendapatkan arahan dari tetua adat, kami bisa menikmati setiap keindahan yang disajikan Bukit Fulan Fehan. Berbagai gaya diabadikan dalam bentuk foto dan video. Padang sabana nan hijau dan indah menjadi sabahat yang memanjakan mata. Walau dingin menyelimuti gairah kami tak surut untuk terus menjelajahi ciptaan Tuhan yang begitu mempesona ini.
Pohon-pohon kaktus yang terhampar di sekitar padang pun menjadi incaran kami untuk berpose mengabadikan keindahannya. Tak satu sudut pun terlewati. Semuanya menjadi tempat mengukir kisah. Kisah di lembah kaki Gunung Lakaan yang mengundang ratusan orang setiap harinya untuk berkunjung.