Home BERITA Mewartakan Injil dengan “Virus Positif” di Zaman Edan (1)

Mewartakan Injil dengan “Virus Positif” di Zaman Edan (1)

0
Membacakan Kitab Suci untuk anak tercnta (Ilustrasi/Ist)

MENURUT Kamus Umum Bahasa Indonesia produksi Balai Pustaka tahun 1961, Injil berarti Berita Gembira dan Kitab Suci agama Kristen. Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indoensia, juda produksi Balai Pustaka tahun 1989, Injil berarti kitab suci agama Kristen.

Itulah produk pemaknaan bahasa yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Ada yang berkembang menjadi lebih baik, namun juga ada yang jadi lebih buruk.

Sayangnya, dalam “kasus Injil” dan itu menurut saya, perkembangannya justru makin memburuk.

Dibandingkan dengan visi Yesus, justru mundur. Mengapa? Sebab arti dan maknanya justru jadi sempit.

Coba kita pikir sedikit. Andai saja, Injil tetap dimaknai sebagai “berita gembira”, maka kita semua akan lebih happy dalam hidup kita. Buah pewartaan Injil dalam arti ini adalah kegembiraan.

Apa pun bentuk dan wujudnya, pewartaan Injil mestinya membuat orang, siapa pun orangnya, akan menjadi gembira karenanya.

Kecuali itu, siapa pun, entah diangkat atau tidak, diakui atau tidak, dapat menjadi Pewarta Gembira.

Jika dirumuskan sebaliknya, maka kata dan atau perbuatan kita yang membuat orang lain gembira itu berarti kita sudah ikut “mewartakan” Injil.

Kabar Gembira di zaman edan

Di zaman edan ini, justru yang seperti itu yang makin dibutuhkan. Buku, koran, majalah, siaran radio, TV yang bisa selalu menebarkan Kabar Gembira juga digemari, karena Kabar Gembira itu sejatinya malah semakin langka.

Minimnya Kabar Gembira ini pula yang menjadi penyebab tersebarnya virus stres dan stroke. Memang, cita-cita kita bersama adalah mencontoh Yesus: mewartakan Kabar Gembira kepada setiap orang, apa pun agama dan budayanya.  

Kemunduran yang terkandung dalam arti leksikal Injil ini sering tidak kita sadari. Bahkan untuk sebagian orang, justru bangga dengan penyempitan makna Injil menjadi Kitab Suci Agama Kristen.

Dan justru inilah masalah kita, orang beriman. Jika Injil diartikan sebagai KS Agama Kristen, maka konsekuensinya akan menjadi seperti ini:

  1. Kabar Gembira berubah jadi KS. Ini berarti pemahaman yang seluas dunia menjadi sebatas agama;
  2. Diandaikan bahwa KS itu mesti menjadi Kabar Gembira bagi setiap orang, padahal kenyataannya tidak;
  3. Injil menjadi tidak akseptabel bagi orang beragama non kristiani;
  4. Dalam agama Kristen sendiri Kabar Gembira dipersempit menjadi perkara serius, resmi, dan urusan pejabat resmi.
  5. Akibatnya, hanya yang dianggap kompeten boleh terlibat dalam pewartaan injil ini. Orang lain hanya boleh mendengar.

Dalam praktiknya, pewartaan Injil berarti kabar memprihatinkan, kabar kekurangan uang dll. Padahal, pewartaan Injil resmi melalui kotbah pastor di atas mimbar altar dan praktik katekese sering terjatuh pada hanya dunia rohani dan serius.

Fatalnya, hal itu justru tidak membawa kegembiraan. Dengan begitu yang diwartakan bukan lagi Kabar Gembira, tetapi KS dan seringnya sudah berubah bentuk menjadi agama.

Ini pula yang jadi jiwa misioner selama berabad-abad: mewartakan agama. Bukan mewartakan Kabar Gembira sama sekali. Sebab dengan mewartakan agama malah tak jarang akibatnya nyawa orang jadi taruhannya.

Mewartakan Injil kepada semua mahkluk

Ini pasti bukan Kabar Gembira buat yang mendengar Pewartaan “Injil” tersebut. Ini pasti bukan yang dimaui oleh Yesus, ketika Ia bersabda “Pergilah ke seluruh dunia dan wartakannya Injil kepada segala makhluk.”

Maka, kini saat kita kembali ke maksud sabda Yesus itu. Mewartakan Injil, kepada segala makhluk. Kita maknai Injil secara simpel saja: Kabar Gembira.

Kita bawa kabar gembira kepada setiap orang yang kita jumpai. Jangan kita mewartakan KS, apalagi agama kita. So, Anda dan saya, justru bisa mewartakannya.

Di keluarga

Carilah tempat dan kesempatan untuk membawa warta gembira kepada suami-isteri, anak, orangtua kita.

Pilih kabar yang positif, daripada yang negatif.

Kalau sendiri merasa tidak punya kabar gembira, maka cukup dengan menanyakan kabar gembira apa yang hari ini boleh kita dengar dari mereka.

Misalnya: kabar baik apa dari kantor? Dari sekolah? Dari yang di rumah?

Dengarkan dan berikan afirmasi seperlunya. Atau responlah secara positif dari wajah ceria, kebugaran, atau kelangsingan tubuhnya, dll.

Anda lebih tahu. Hindari yang negatif. Di radio, TV, koran, majalah sudah penuh kabar sedih dan memprihatinkan. 

Jarang kabar gembiranya.

Di sekolah

Puji teman atau murid atau guru yang sungguh rajin, tekun, dalam  mengoreksi ulangan, mengerjakan PR. Carilah sesuatu yang membuat orang lain gembira.

Untuk itu tidak perlu, malah sama sekali tidak harus dengan membawa KS, cukup bawa hati kita masing-masing.

Di kantor

Tanggapi positif, bukan sinis atau sirik atas penampilan dan atau kinerja rekan, pimpinan atau bawahan kita. Juga kalau sebetulnya ada yang mengecewakan, coba diungkapkan dengan cara yang meng-encourage orang lain, bukan justru men-discourage rekan, bawahan atau pimpinan.

Ingat, negatif seperti apa pun kantor kita, it’s a fact: a part of our life or maybe the rest of our life.

Maka kita harus pandai-pandai membawa kabar gembira di kantor kita.

Di lingkup agama

Kurangi semua yang berbau serius, formal, kadang juga tradisional, ketertiban dan keteraturan, dll.

Biarlah orang beragama hidup dengan gembira. Tuhan pasti tak mau kita menderita, tertekan dengan aneka aturan hidup agama kita.

Hentikan semua kecenderungan menambah aturan dalam hidup beragama kita: Hari ini gak boleh omong, esok gak boleh berdiri, lain kali gak boleh pakai backless, gak boleh pakai sandal dll. Tambah terus.

Apa itu semua mewartakan kabar gembira?

Gimana kita wewartakan Kabar Gembira, kalau kita sendiri tak pernah gembira?

Hi… hi… Padahal kita sering lihat wajah pastor yang serem. Atau, orang keluar gereja malah dengan wajah cemberut.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version