Home BERITA Mutiara Keluarga: Sakit Itu Rahmat, Bukan Laknat

Mutiara Keluarga: Sakit Itu Rahmat, Bukan Laknat

0
Ilustrasi: Tanda kasih dari Isnaeni (6,5) saat memberi setangkai mawar kepada James B Lumenta (72) bulan Desember 2011. Dilakukan ketika Isnaeni sedang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. (Wahyu D)

SUNGGUH, saya tidak tahu mengapa atau dari mana datangnya ide atau mindset bahwa segala hal yang “gak menyenangkan” selalu mau kita singkirkan. Apa pun yg tidak kita maui itu kita simpulkan sebagai halangan, bukan sebagai tantangan.

Memaknai sakit sebagai rahmat

Demikian kuatnya mindset ini, sehingga “sakit” pun langsung kita tolak dan sedapat mungkin kita singkirkan. Karenanya, ada yang menganggapnya sebagai laknat. Padahal, menurut pengalaman banyak orang, sakit itu rahmat.

Sakit yang dialaminya justru membawa berkat baginya. Setelah sakit, sering orang mendapat hal-hal positif yang tak terbayang sebelumnya. Banyak yamg mengalami bahwa saat sakit adalah sungguh saat rahmat.

Dalam Gereja Katolik, banyak orang menjadi Orang Kudus dengan predikat sebagai Beato-beata dan bahkan Santo-Santa, setelah atau melalui sakit.

Ketika buah hati sakit panas

Kadang saya heran, kecewa -bahkan marah- ketika menyaksikan anak-anak, buah hati mama papa yang sakit “panas dikit” langsung dibawa ke rumah sakit. Maksudnya, biar anak segera turun panasnya.

Dan sering alasannya agar tidak merepotkan orangtua. Dengan kata lain, demi orangtua dan bukan demi anak, buah hatinya. Pertanyaan saya, apa tindakan itu tidak berarti menutup rahmat yang disediakan Tuhan untuk si buah hati atau untuk seluruh anggota keluarganya

Andai saja mindset orangtua, sakit adalah rahmat, barangkali orangtua tidak akan bertindak demikian.

Setahu saya -kalau saya salah tolong dikoreksi- panas itu macam-macam penyebabnya. Ada yang panas, karena virus. Ada yang karena bakteri. Ada pula karena psikosomatis. Kurang minum juga dapat menjadi sebab suhu badan naik.

Karena itu, anak yang panas badanya tidak selalu harus dibawa berobat atau diberi obat penurun panas; apalagi diberi antibiotik. Semua itu mestinya ditanggapi dengan hati yang mencinta. Misalnya, saat buah hati “sakit”, justru dijadikan saat indah melaluinya bersamanya.

Bukankah cinta adalah obat mujarab yang dianugerahkan Tuhan?

Maksud saya, kalau anak panas karena kurang minum, ya obatnya cukup diberi minum yang banyak. Rahmat: menyadarkan bahwa kita mesti lebih peduli pada buah hati kita. Kalau anak panas karena kangen papanya (psikologis). obatnya cukup diberi baju, kaos papanya. Rahmatnya: kita menyaksikan dan bahagia atas kedekatan anak pada papanya. Sekaligus saat yang tepat untuk menambahkan cinta mama pada si buah hati.

Kalau anak panas karena virus, tidak perlu antibiotik. Karena itu, anak yang terkena flu (virus influenza) sebenarnya tidak perlu antibiotik. Lalu? Ini saatnya orangtua berefleksi atau mawas diri. Apakah anaknya gak kurang vitamin? Atau anaknya tidak kurang asupan yang sesuai dengan kebutuhan badannya? Lihat misalnya apa badannya “berisi”?

Rahmatnya: orangtua menjadi sadar setiap anak, kebutuhan kesehatan tubuhnya berbeda-beda.

Lain halnya kalau si buah hati panas karena bakteri. Ada kemungkinan perlu antibiotik. Itu pun, orangtua mesti tetap waspada dan sabar memberi waktu pada buah hatinya pada tubuhnya untuk berproses. Sebab secara alamiah, Tuhan sudah membekali setiap anak, bahkan setiap ciptaan, untuk tumbuh sehat dan kuat.

Sederhananya, ketika tubuh menerima sesuatu yang mengancam, maka tubuh akan memeranginya. Saat itulah tubuh akan membangun imunitasnya untuk melawan atau menghancurkannya. Di saat itulah, suhu tubuh akan meningkat. Jadi, dengan memaksa tubuh menjadi dingin, sebenarnya memangkas proses tubuh membangun imunitasnya.

Setidaknya dua hal

Pada hemat saya, minimal ada dua hal yang kita, semua orangtua, mesti sadar, tahu dan menjalanimya.

Satu, setiap dokter punya hak dan wewenang sendiri. Dalam memeriksa dan mengobati pasien pun berbeda beda. Maka, kita boleh dan sah saja mencari “second opinion” ke dokter lain.

Dua, setiap dokter -juga dokter spesialis anak- menyimpulkan diagnosenya berdasarkan dua sumber. Dari formulasi verbal atau kata-kata pasien atau dari yang mengantar pasiennya. Formulasi itu dicek dan dipastikan bersama dengan hasil pemeriksan yang dilakukan.

Maka kalau yg sakit itu anak kecil, tentunya rumusan kata-katanya sungguh bisa multi interpretasi. Karenya, tetap berpotensi salah menafsirkan. Hal-hal seperti ini mestinya disadari oleh orang dewasa yang mengantar anaknya berobat.

Sakit membawa rahmat
Kalau saya boleh sekedar syering, maka demikian ini kisahnya. Selama hampir 20 tahun, saya tak pernah ke dokter. Walau relatif sehat, namun sejujurnya saya kjawatir juga. Sampai akhirnya saya sakit juga. Dan diagnosenya mantab: gagal jantung.

Itu terjadi tahun 2019 lalu. Walau kecewa, tapi saya menerima sakit saya itu, sambil tak sabar menunggu rahmat Tuhan: ada apa di balik sakit saya itu. Dan benar, sakit itu rahmat untuk saya dan keluarga.

Sekarang saya sungguh damai, tak khawatir lagi terkait kesehatan saya. Sebab pertama, setiap bulan saya kontrol dokter. Jadi kesehatan saya termonitor terus. Kedua, saya sekarang juga rajin olahraga. Itulah rahmat yang diberikan Tuhan padaku.

Itulah sebabnya, saya meyakini bahwa sehat itu anugrah, bukan prestasi, sakit itu rahmat bukan laknat.

Jika Anda berkenan dan ingin membagikan tulisan ini, monggo silakan, terimakasih.
Jika Anda tergerak hati dan berkenan untuk menanggapi letupan jiwa ini atau syering pengalaman, juga saya mau berterimakasih.

YR Widadaprayitna
H 240518 AA

Baca juga: Mutiara Keluarga: Buah demi buah hati (2)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version