Home BERITA Octovianus Mote dan Papua (4)

Octovianus Mote dan Papua (4)

0
Penulis bersama Octovianus Mote. (Romo Ferry Sutrisna Widjaja Pr)

SAYA tidak pernah menyangka, sekali waktu akan berjumpa dengan Octovianus Mote di AS. Octo adalah sahabat yang pernah mengantar saya meninggalkan rumah keluarga kami di Jl. Tera 14 Bandung menuju Seminari Tinggi St. Petrus dan Paulus di Jl. Suryalaya 7 Bandung.

Itu terjadi beberapa puluh tahun silam. Octo meninggalkan Indonesia tahun 1999; sejak itu kami tidak pernah kontak lagi.

Saya menginap di rumah Octo di Hamden, Negara Bagian Connecticut, 27-29 Oktober 2021 silam. Terjadi dalam perjalanan dari Boston menuju New York.

Ibukota Connecticut adalah Hartford. Universitas Yale yang terkenal ada di New Haven dan tidak jauh dari rumah Octo di Hamden.

Bagaimana kami bisa kontak lagi?

Awalnya adalah Bu Francisca Purnamawaty dari Paroki St. Stefanus di Cilandak Jakarta Selatan yang menghubungkan saya dengan Palk Marcellinus Nasution yang tinggal di Norwich CT.

Martina dan Marcellinus Nasution di Norwich CT. (Romo Ferry Sutrisna Widjaja Pr)
Dengan Bertha dan Octo Mote di Hamden CT.

Pak Marcellinus Nasution itu adalah kenalan Bu Cisca di Cilandak. Sekarang, pasutri Pak Marcellinus dan Bu Martina Kristiatmi tinggal di apartemen khusus lansia.

Saya dan Octo mengunjungi mereka 28 Oktober 2021.

Ketika saya menghubungi Pak Marcellinus, ia mengatakan punya teman orang Indonesia yang pernah kuliah di Universitas Katolik Parahyangan di Bandung. Namanya Octo Mote, asal Papua.

Saya kaget, karena saya kenal Octo. Maka jadilah saya kontak Octo dan mengenang kembali semua pengalaman masa lalu khususnya saat saya diantar Octo meninggalkan rumah orangtua saya menuju seminari. Octo masih ingat wajah ayah dan ibu saya yang nampak sedih, karena  kehilangan anak yang mau masuk seminari.

Saya sendiri tidak begitu ingat lagi. Octo saat itu kuliah di Fisip Unpar; diangkat anak oleh Bu Kodhyat di Bandung dan tinggal di rumah Bu Kodhyat.

Mengenal Papua dari para imam Papua studi di Bandung

Bagaimana awalnya saya mengenal Papua?

Ketika saya masuk Seminari Tinggi St. Petrus dan Paulus di Bandung, mulailah saya berkenalan dengan beberapa calon imam Papua.

  • Ada Romo Natalis Gobai dan Methodius Mamapuku untuk Keuskupan Jayapura.
  • Lalu Romo John Fatem, Romo Paul Tan, dan Bernard Nafurbenan untuk Keuskupan Sorong.
  • Lalu Romo John Kandam untuk Keuskupan Agung Merauke.

Dari mereka, saya mendengar berbagai kisah tentang Papua; khususnya tentang pengalaman ketidakadilan.

Methodius dan Bernard tidak menjadi imam. Bernard akhirnya menjadi diakon. Romo Nato Gobay, Romo John Fatem, dan Methodius sudah meninggal dunia.

Selain beberapa calon imam Papua yang studi teologi di Bandung, saya juga mengenal beberapa imam Papua lainnya lewat berbagai kegiatan Unio Indonesia antara lain Romo Jakobus Mote, kakak kandung Octo Mote.

Imam Papua dari suku Mee

Romo Yan Dou mencatat bahwa dari Suku Mee yang menjadi imam antara lain adalah Romo Jakobus Mote, Romo Natalis Gobay, Romo Neles Tebay, Romo Yulianus Mote, Romo Michael Tekege, dan Romo Yan Dou.

Suku Mee mendiami daerah Pegunungan Paniai. Di seluruh Papua, ada sekitar 225 suku asli Papua, antara lain Amungme, Asmat, Biak, Dani, Komoro, Mee, Maybrat, Mbahamatta, Marind, dan Muyu.

Tahun 2019 ada seorang uskup dan tiga imam yang meninggal dunia dan mengejutkan banyak orang.

Kejadian berturut-turut tersebut tentu sungguh menyedihkan hati siapa pun yang mempunyai hati untuk Papua. Kehilangan tiga imam juga sangat terasa bagi STFT Fajar Timur, karena ketiga imam yang meninggal tahun 2019 juga adalah dosen di STFT Fajar Timur.

Romo Santon Tekege yang lahir di Waghete 9 Juli 1985 dan ditahbiskan sebagai imam 21 Agustus  2016; meninggal mendadak 27 Mei 2021 dalam usia yang masih sangat muda yaitu 36 tahun dan 5 tahun imamat.  

Para imam dan uskup yang berkarya di Papua. (Romo Ferry Sutrisna Widjaja Pr)

Sebenarnya tidak banyak romo Papua yang sungguh saya kenal dengan baik.

Saya mengenal antara lain Romo John Bunai, Romo Izaak Bame, Romo Yustinus Rahangiar, Romo Amandus Rahadat, Romo Yan Djawa SVD, dan Romo J. Sudriyanta SJ. Ada romo yang asli Papua, kelahiran Papua, atau ditugaskan di Papua.

Semuanya mencintai Papua.

Ada delapan romo lain saya kenal karena mereka ditugaskan studi Magister Teologi di Unpar tahun 2010-2015 oleh Uskup Sorong Mgr. Hilarion Datus Lega. Mereka sempat mengikuti mata kuliah Ortodoksi dan Masalah Sosial serta mata kuliah Teologi Pastoral yang saya pegang.

Di kelas mereka sangat bersemangat, karena berbekal banyak pengalaman pastoral.

Yang masih bertugas di Keuskupan Sorong adalah para imam diosesan Keuskupan Sorong yaitu Romo Jeremias Rumlus, Romo Vincent Nuhuyanan, dan Romo Medardus Puji Harsono.

Lalu masih ada Romo Zepto Polii, imam diosesan Keuskupan Manado, yang sejak 2006 dan sampai saat ini masih melayani paroki di Keuskupan Sorong.

Karena saya cukup lama aktif di Unio Indonesia, saya juga mengenal para uskup Papua yaitu Uskup Keuskupan Jayapura Mgr. Leo Laba Ladjar OFM, Uskup Keuskupan Sorong Mgr. Hilarion Datus Lega, Uskup Keuskupan Agats Mgr. Aloysius Murwito OFM, Uskup Keuskupan Agung Merauke Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC, dan Uskup Keuskupan Timika Mgr. John Philip Saklil almarhum.

Saat ini, pemilihan uskup untuk Keuskupan Timika masih dalam proses, karena Mgr. John Philip Saklil meninggal dunia tahun 2019.

Sementara itu, pada tanggal 29 Oktober 2022 Mgr. Leo Laba OFM yang memasuki masa pensiun telah membacakan pengumuman  bahwa Romo Dr. Yanuarius Theofilus Matopai You telah diangkat Paus Fransiskus menjadi Uskup Jayapura.

Romo Yanuarius You adalah imam asli Papua.

Uskup Keuskupan Jayapura Mgr. Leo Laba Ladjar OFM saat umumkan pengangkatan Pastor Yanuarius Teofilus Matopai You Pr sebagai Uskup Terpilih Keuskupan Jayapura (Komsos Keuskupan Jayapura)

Selama 128 tahun kehadiran Gereja Katolik di tanah Papua, baru sekarang seorang imam asli Papua diangkat menjadi uskup. Sebenarnya sudah cukup banyak imam asli Papua dan imam kelahiran Papua di semua keuskupan yang memenuhi syarat untuk menjadi uskup dari sudut kepribadian, spiritualitas, pendidikan, kepemimpinan, dan kecintaan terhadap Papua.

Pengumuman uskup baru asli Papua tersebut diterima dengan sangat gembira oleh umat dan masyarakat Papua.

Kini, kita kembali ke Octo Mote. Sesudah lulus dari Fisip Unpar, Octo melamar dan diterima bekerja di Harian Kompas. Octo bekerja sebagai peneliti di Litbang Kompas dan sering meliput Papua – tempat asal kelahirannya.

Octo juga aktif dalam berbagai forum soal Papua. Octo sempat masuk daftar blacklist Pemerintah Indonesia. Tahun 1999, Octo berhasil meninggalkan Indonesia tanpa dicekal dan sejak itu tinggal di AS. Isteri dan tiga orang anaknya menyusul ke AS.

Octo bekerja sebagai visiting fellow program Asia Tenggara di Cornell University (1999-2002) dan di Yale University (2002-2012). Sekarang Octo sudah pensiun dan mengisi kesibukan dengan menjadi sopir taksi dan banyak membaca serta menulis.

Ngobrol dengan Octo Mote di rumahnya.

Tahun 2014 saat United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dibentuk sebagai payung berbagai kelompok untuk memperjuangkan aspirasi Papua, Octo terpilih sebagai pimpinan ULMWP dengan sebutan Sekjen sebelum digantikan Benny Wenda tahun 2017 yang mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda.

Sebagai sekjen ULMWP, Octo Mote sangat aktif menyuarakan berbagai masalah Papua di forum global. Octo bepergian ke berbagai negara untuk menjelaskan masalah Papua agar dunia global memahami apa yang sebenarnya terjadi di Papua.

Ia mengenal cukup banyak kepala negara; khususnya negara-negara di Kepulauan Pasifik. Ia berusaha meyakinkan banyak kepala negara agar masalah Papua kembali masuk dalam agenda pembahasan Majelis Umum PBB.

Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya 17 Agustus 1945, Irian Barat masih dikuasai Pemerintah Belanda. Belanda berharap Irian Barat menjadi negara yang berdiri sendiri yang mempunyai relasi khusus dengan Kerajaan Belanda.

Tahun 1961 Belanda mengusulkan agar Irian Barat menjadi negara sendiri di bawah PBB, namun usul tersebut ditolak Majelis Umum PBB. Indonesia sendiri menuntut agar Irian Barat menjadi bagian negara Indonesia.

Tahun 1962 Presiden Soekarno membentuk operasi militer yang diberi nama Komando Mandala yang dipimpin Mayjen Soeharto untuk merebut Papua dari tangan Belanda.

Belanda akhirnya bersedia berunding dengan Indonesia bersama PBB. Tanggal 15 Agustus 1962 Belanda menyerahkan kekuasaan atas Papua kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) lewat Perjanjian New York. Belanda minta agar dilakukan Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat oleh seluruh orang asli Papua.

Sesudah itu, Belanda meninggalkan Papua. Tanggal 1 Mei 1963 pemerintah Indonesia mengibarkan bendera Merah Putih di tanah Papua dan menyatakan Papua sebagai bagian dari negara Indonesia.

Ilustrasi-Pepera-Papua-Ist

Pepera

Sesuai amanat Perjanjian New York, pemerintah Indonesia wajib menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera. Pepera diadakan 14 Juli – 2 Agustus 1969 di 8 tempat, yaitu di Merauke, Wamena, Nabire, Fak Fak, Sorong, Manokwari, Biak, dan Jayapura.

Peserta Pepera di delapan tempat tersebut dipilih oleh Pemerintah Indonesia dan berjumlah seluruhnya 1.022 orang yang tidak seluruhnya orang asli Papua. Di tiap tempat sebagian peserta dipilih untuk menyatakan pendapat. Lalu seluruh peserta secara aklamasi menyatakan memilih tetap bergabung dengan Indonesia.

Hasil Pepera tersebut dilaporkan dalam Majelis Umum PBB dan dicatat dalam Resolusi 2504 (XXIV). Saat itu dan sampai saat ini masih ada pihak-pihak yang mempermasalahkan apakah Pepera 1969 tersebut sungguh dilakukan sesuai dengan Resolusi 1541 (XV) Perjanjian New York tahun 1962. Ada juga yang mengusulkan agar Pepera diulang kembali sesuai amanah Perjanjian New York.

Tahun 1973, nama Irian Barat diubah menjadi Irian Jaya oleh Presiden Soeharto. Nama Irian yang adalah akronim untuk “Ikut Republik Indonesia Anti Netherland” diubah menjadi Papua lewat UU No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Di kemudian hari, Papua dimekarkan menjadi dua propinsi yaitu Propinsi Papua dengan Ibukota Jayapura dan Propinsi Papua Barat dengan Ibukota Manokwari.

Pemerintah daerah di Papua terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif, Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif dipimpin seorang Gubernur, dan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua. MRP memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan hormat terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

Sejak Pepera 1969 kini sudah berlalu hampir 54 tahun Papua menjadi bagian dari negara Indonesia. Bila dihitung sejak 1 Mei 1963 maka sudah hampur 60 tahun waktu berlalu. Presiden Jokowi berkali-kali berjanji untuk sungguh membangun Papua.

Beliau berkali-kali berkunjung ke Papua. Ada banyak dana dan program pembangunan untuk Papua.

Enam provinsi di Papua

Papua saat ini sudah dimekarkan menjadi enam propinsi dengan alasan pemerataan pembangunan dan keamanan yaitu:

pembangunan dan keamanan yaitu:

  1. Propinsi Papua dengan Ibukota Jayapura.
  2. Propinsi Papua Barat dengan Ibukota Manokwari.
  3. Propinsi Papua Selatan dengan Ibukota Merauke.
  4. Propinsi Papua Tengah dengan Ibukota Mimika.
  5. Propinsi Papua Pegunungan dengan Ibukota Wamena.
  6. Propinsi Papua Barat Daya dengan Ibukota Sorong. 

Selama saya tinggal di rumah Octo di Hamden CT, Octo banyak bercerita mengenai keluarga dan perjuangannya untuk Papua. Octo menikah dengan Bertha Srituhu Sosiawati Mote. Mereka mempunyai tiga orang anak yaitu Emanuela Karunia Amoyepa Mote, Ignatius Prima Bidawiyai Mote, dan Kristina Kanita Miyedadi Mote.

Anak-anak mereka diberi nama Papua dan aktif dalam menanggapi berbagai isu sosial. Octo rajin berdoa dan mengikuti misa serta jalan-jalan di alam yang indah di sekitar Hamden CT.

Octo selalu menekankan pentingnya doa khususnya doa kerahiman untuk Papua. Hanya Tuhan yang bisa membantu Papua. Demikian keyakinan Octo.

Octo juga mengajak saya mengunjungi Yale University di New Haven CT, Southern Connecticut State University, dan daerah pemukiman di sekitar Hamden CT yang memperlihatkan bahwa masyarakat yang berbeda ras dan kelas ekonomi tinggal di daerah yang berbeda.

Sambil berkeliling dengan mobil, Octo memperlihatkan bagaimana dulu tiap Gereja Katolik juga dibangun untuk tiap ras yang berbeda sehingga di suatu area terdapat beberapa Gereja Katolik yang sekarang semakin kosong ditinggalkan umat. Dulu misalnya ada Gereja Katolik untuk orang Jerman, orang Italia, orang Irlandia, dll.

Kawasan hunian di dekat kampus Yale University. (Romo Ferry Sutrisna Widjaja Pr)
kawasan hunian di kampus Universitas Yale. (Romo Ferry Sutrisna Widjaja)

Octo mengajak saya melihat Gereja St. Martin de Porres yang banyak dihadiri warga Black American Catholic. St. Stanislaus Polish Catholic Church yang banyak dikunjungi warga Katolik asal Polandia. Gereja St. Mary di depan Yale University yang banyak dikunjungi warga kampus Yale. Gereja St. Mary selama ini dilayani oleh imam-imam Ordo Dominikan, namun akan diambil alih oleh pihak keuskupan. Di sekitar kampus Yale University banyak gereja berbagai denominasi.

Kami sempat melihat salah satu gedung gereja Katolik yang dibeli komunitas Yahudi. Karena pemilik baru, maka salib, kaca patri bergambar Yesus dan kisah kitab suci serta tanda-tanda khas Katolik dihilangkan dan diubah menjadi kaca polos.

Banyak gereja ada di Yale. (Romo Ferry Sutrisna Widjaja Pr)

Demikianlah kalau gedung gereja dijual dan berganti pemilik.

Octo juga mengajak saya ke New Haven Botanical Garden for Healing Dedicated to Victims of Gun Violence. Di sana dicatat dengan urutan tahun berbagai nama korban kasus kematian karena kekerasan dengan menggunakan senjata api.

Di AS antara tahun 1968-2011 tercatat ada 1,4 juta orang meninggal karena tembakan senjata api. Sebagian karena pembunuhan dan sebagian karena bunuh diri. Misalnya tahun 2018 dilaporkan terjadi 38.390 kematian karena termbaka senjata, dan 24.432 diantaranya adalah akibat bunuh diri menggunakan senjata. 

Semacam monumen tentang peringatan orang meninggal karena tembakan senjata api. (Romo Ferry Sutrisna Widjaja Pr)

Dibandingkan dengan negara lain, pembunuhan menggunakan senjata api di AS 25 kali lebih banyak. Tingkat kematian akibat senjata meningkat dari 10,3 orang per 100 ribu penduduk di tahun 1999 menjadi 12 orang per 100 ribu penduduk di tahun 2017.

Masalah kepemilikan senjata api merupakan salah satu masalah yang paling banyak diperdebatkan di AS. National Rifle Association yang didirikan tahun 1871 sekarang mempunyai 5,5 juta anggota dan merupakan organisasi yang sangat kuat dalam lobi untuk tetap mengizinkan orang di AS untuk bebas memiliki senjata.

Kami juga melihat tempat pemilahan dan pengolahan sampah Hamden Transfer Station. Di sana disediakan berbagai kontainer untuk menampung berbagai jenis sampah termasuk sampah elektronik dan mebel. Sampah organik khususnya dahan kayu dan daun-daun diolah menjadi kompos.

Kontainer pemisahan sampah (Romo FX Sutrisna Widjaja Pr)

Tragedi Kapal Amistad dan Perang Saudara Amerika

Bersama Octo kami juga berkunjung ke pelabuhan New Haven tempat kapal Amistad dibawa tahun 1839. Kapal Amistad mengangkut 53 budak asal Afrika yang dibeli dari Havana Cuba untuk dipekerjakan di perkebunan dekat Puerto Principe Cuba. Di tengah laut, para budak memberontak dan membunuh kapten kapal dan beberapa awak kapal. Para budak itu ditangkap dan diadili karena telah membunuh kapten kapal. Mereka akhirnya dibebaskan tahun 1841 oleh Supreme Court of the United States dan menjadi simbol perlawanan untuk diakhirinya perbudakan di AS.

Kisah ini dibuat film berjudul Amistad (1997) yang disutradarai Steven Spielberg dan dibintangi Morgan Freeman, Anthony Hopkins, dll.

Masalah perbudakan di AS adalah yang menjadi penyebab perang saudara yang disebut American Civil War tahun 1861-1865 antara Union dengan Confederacy.

Union mengikuti pemerintah federal menentang perbudakan. Confederacy adalah negara-negara bagian di Selatan lebih membutuhkan budak karena banyaknya perkebunan dan pertanian yang membutuhkan tenaga kerja. Saat itu ada 4 juta budak; di antara 32 juta penduduk AS. Sebagian besar budak berasal dari Afrika dan keturunannya yang bisa diperjualbelikan.

Kenangan akan tragedi Amistad. (Romo Ferry Sutrisna Widjaja Pr)

Abraham Lincoln yang terpilih sebagai presiden AS tahun 1860 menolak perbudakan. Tidak lama sesudahnya negara-negara bagian yang mendukung perbudakan memisahkan diri dari negara federal yang disebut Amerika Serikat dan membentuk Confederacy. Perang saudara ini menyebabkan hampir satu juta korban di kedua belah pihak.

Perang Saudara diakhiri tahun 1865. Presiden Abraham Lincoln dibunuh lima hari sesudahnya. Jejak-jejak perbedaan pendapat antara selatan dan utara, merah dan biru sampai sekarang masih terasa. Bahkan masih ditemukan orang-orang yang mengibarkan bendera Confederacy di rumahnya. Umumnya mereka pendukung Partai Republik dan pendukung Presiden Donald Trump.

Demikianlah selama beberapa hari bersama Octo Mote saya mencoba memahami berbagai masalah Papua. Sebagai imam Bandung yang tidak pernah bertugas di Papua, maka pengetahuan saya tentang berbagai masalah Papua tentu saja sangat terbatas. Saya hanya pernah dua kali ke Keuskupan Sorong yaitu saat Mgr. Hilarion Datus Lega ditahbiskan menjadi Uskup tanggal 7 September 2003 dan saat memberi masukan untuk Temu Pastores Keuskupan Sorong 19 November 2016.

Sebagai orang luar Papua, saya hanya bisa sedih ketika mendengar atau membaca berbagai masalah di Papua. Kompas 29 Januari 2022, misalnya, menurunkan tulisan berjudul “Jalan Terjal Pangan Lokal’ yang mengisahkan bagaimana orang Papua semakin meninggalkan pangan lokal sagu dan ubi jalar dan beralih menjadi beras dan mie instan.

Salah satu sebabnya adalah berbagai bantuan berupa uang, beras, dan mi instan yang akhirnya mengubah kebiasaan makan orang Papua.

Saya meninggalkan Octo dengan berbagai perasaan. Kami sempat merencanakan pergi bersama ke Canada awal Desember 2021 untuk mengunjungi Stephanus Kodhyat dan Vera Budhisatria di Richmond BC.

Octo adalah adik angkat Stephanus Kodhyat yang biasa dipanggil Steve. Sayang rencana tersebut tidak terlaksana. 

Octo menulis dalam buku kenangan demikian “Hidup kita adalah cermin Yesus bagi orang dan alam sekitar kita” dan “Hanya dalam kepasrahan total kita akan menemukan kebahagiaan sejati”.

Dalam percakapan kami nampak sekali Octo adalah orang yang sangat beriman. Octo percaya Tuhan sudah melindungi Papua, karena Tuhan mengasihi Papua dan akan menunjukkan jalan terbaik untuk Papua.

Saya bersyukur bisa berjumpa kembali dengan seorang sahabat lama. Sekaligus saya merasa tak berdaya mendengar berbagai masalah Papua karena tidak bisa berbuat apa pun.

Saya berharap akan muncul para pemimpin dari tanah Papua yang akan memimpin Papua membangun masa depan yang lebih baik.

Tahbisan episkopal Uskup Keuskupan Jayapura Mgr. Yanuarius Teofilus Matopai You di Gereja Katedral Kristus Raja Jayapura, Papua, Kamis 2 Februari 2023. (Keuskupan Jayapura)

Tanggal 2 Februari 2023, Mgr. Yanuarius Matopai You akan ditahbiskan sebagai uskup di Jayapura. Semoga Mgr. Yan You membuka babak baru Papua, babak baru yang penuh harapan.

Mgr. Yan You adalah teman sekelas Octo Mote. Dengan semangat gembira dan penuh harapan ada banyak rencana untuk perkembangan Keuskupan Jayapura dan Papua.

Mari kita berdoa agar Tuhan menunjukkan jalan yang terbaik untuk Papua. (Selesai)

Baca juga: Papua, Mencari Peluang Lebih Baik untuk Masa Depan (3)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version