Puasa Sebagai Ungkapan Cinta

0
30 views
Ilustrasi: Puasa secara benar. (Ist)

Kamis, 5 September 2025

Kol 1:15-20
Mzm 100:2-5
Luk 5:33-39

PUASA sering dipahami sebagai cara cepat menurunkan berat badan atau membuat tubuh lebih ideal. Banyak metode diet berbasis puasa yang populer karena dianggap praktis dan hasilnya terlihat.

Dari sisi kesehatan, hal ini bisa membantu orang menjaga tubuh. Namun bila puasa hanya berhenti pada urusan penampilan luar, maka maknanya menjadi sangat dangkal.

Dalam iman, puasa bukan sekadar menahan diri dari makanan. Puasa adalah latihan rohani untuk menundukkan keinginan daging, agar hati makin terbuka kepada Allah.

Tidak sedikit orang yang lebih menonjolkan gaya hidup, penampilan, status, tren, dan kenyamanan yang tampak di luar.

Gaya hidup ini bisa membuat seseorang dihormati, dipandang berhasil, bahkan dianggap bahagia. Namun, di balik itu semua, gaya hidup hanyalah cangkang luar yang mudah rapuh bila tidak diisi dengan sesuatu yang lebih mendalam.

Sebaliknya, ketekunan membangun hidup rohani menuntut proses yang panjang, kadang tidak kelihatan, dan tidak selalu dipuji orang.

Ibarat menanam pohon, kita lebih banyak bekerja di akar: menyiram, merawat, dan menunggu dengan sabar. Hasilnya tidak instan, tetapi ketika badai datang, hanya pohon yang berakar kuatlah yang sanggup bertahan.

Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Jawab Yesus kepada mereka: “Dapatkah sahabat mempelai laki-laki disuruh berpuasa, sedang mempelai itu bersama mereka. Tetapi akan datang waktunya, apabila mempelai itu diambil dari mereka, pada waktu itulah mereka akan berpuasa.”

Yesus menyebut diri-Nya sebagai Mempelai, dan para murid sebagai sahabat-sahabat-Nya. Gambaran ini begitu indah: relasi Yesus dengan murid-murid bukan relasi guru dengan murid semata, melainkan relasi penuh kasih, keakraban, dan sukacita.

Selama Sang Mempelai hadir, suasana adalah pesta. Tidak ada ruang untuk kesedihan atau kewajiban yang kaku, karena hati yang dipenuhi kehadiran Yesus adalah hati yang bersukacita.

Namun Yesus juga menyinggung saat ketika Ia “diambil” dari mereka, saat salib, kematian, dan kemudian kepergian-Nya ke surga.

Di sinilah Yesus memberi makna baru pada puasa: puasa adalah ekspresi kerinduan. Murid-murid akan berpuasa bukan sekadar karena peraturan, melainkan karena hati mereka merindukan Sang Mempelai.

Puasa yang sejati bukanlah formalitas, melainkan ungkapan cinta.

Dengan menahan diri dari makanan, hiburan, atau hal-hal yang melekat pada kita, kita sedang berkata: “Tuhan, Engkau lebih berharga daripada semua ini. Aku ingin Engkau memenuhi hidupku lebih dari segala yang lain.”

Bagaimana dengan diriku?

Apakah selama ini saya memandang puasa sebagai kewajiban belaka, ataukah sebagai ungkapan kerinduan akan Tuhan?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here