Home BERITA “Pupur, Dapur, Kasur”

“Pupur, Dapur, Kasur”

0
Ilustrasi: Museum RA Kartini di Kota Rembang, Jateng. (Mathias Hariyadi)

Puncta 07.02.23
Selasa Biasa V
Markus 7: 1-13

PEREMPUAN pernah diidentikan dengan ungkapan “macak, masak, manak”. Istilah itu sangat membatasi dan membelenggu kaum perempuan.

Macak” artinya pandai berdandan, bersolek. “Masak” berarti memasak, pandai melakukan pekerjaan dapur. “Manak” artinya beranak. Tugas perempuan adalah melahirkan anak.

Istilah lain yang artinya sama dengan itu adalah “pupur, dapur, kasur”.

Pada zaman Kartini ada aturan-aturan yang membelenggu kaum perempuan. Mereka dibatasi pada urusan domestik saja.

Pekerjaan mereka dibatasi hanya urusan berdandan (pupur), memasak (dapur), melayani laki-laki (kasur).

Kalau ada perempuan yang tidak bisa memasak, berdandan dan melayani lakinya, mereka akan dicibir, direndahkan, tak berharga.

Tetapi sebaliknya jika ada perempuan yang bekerja seperti laki-laki, mampu menjadi pemimpin, akan dianggap melanggar aturan atau hukum.

Masyarakat terlanjur beranggapan bahwa kegiatan rumahtangga itu bukan pekerjaan. Kegiatan baru dinilai sebagai pekerjaan jika hal itu menghasilkan uang.

Padahal kalau kita mempekerjakan asisten rumah tangga, kita harus menggaji. Tetapi kalau dikerjakan oleh istri sendiri tidak pernah digaji, tidak dihargai.

Kartini mendobrak aturan-aturan yang membelenggu kaum perempuan.

“Kami, gadis-gadis masih terikat oleh adat-istiadat lama dan sedikit sekali memperoleh kebahagiaan dari kemajuan pengajaran. Untuk keluar rumah sehari-hari dan mendapat pelajaran di sekolah saja sudah dianggap melanggar adat,” tulis Kartini kepada sahabatnya Stella Zeehandelaar di Belanda.

Yesus mendobrak adat istiadat Yahudi yang membelenggu. Ia mengutip Nabi Yesaya, “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadat kepada-Ku, sebab ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.”

Yesus mengkritik kaum Farisi yang kaku menjalankan adat istiadat.

“Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri. Dengan demikian, sabda Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu.”

Kemunafikan itulah yang dikritik oleh Yesus. Kaum Farisi membuat aneka macam aturan agar dilihat sebagai orang suci, saleh dan bersih.

Dengan mudahnya mereka mempersalahkan orang-orang yang tidak melakukan aturan-aturan buatan mereka. Mereka mudah sekali menghakimi, menuduh dan menyingkirkan.

Mereka menganggap diri paling suci, benar dan bersih. Orang lain yang tidak melakukan adat istiadat dinilai najis, kotor, berdosa dan tidak selamat. Surga hanya milik mereka sendiri.

Yesus mengulangi peringatan Yesaya, “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.”

Jangan kita terjebak pada aturan-aturan atau ritus-ritus formalitas belaka, tetapi mengabaikan hal-hal yang esensial yakni cinta kasih sebagai hukum yang utama.

Pergi ke Lampung mencari buah durian,
Makan di pinggir jalan rasanya hambar.
Orang munafik suka mencari kesalahan,
Hanya dirinya saja yang paling benar.

Cawas, ketemu teman2 merto yang luar biasa….

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version