Home BERITA Renungan Harian 22 Februari 2021: Pelayan

Renungan Harian 22 Februari 2021: Pelayan

0
Ilustrasi: Memberi pelayanan Sakramen Pengurapan Orang Sakit oleh Pastor Frans MSC.


Pesta Takhta St. Petrus Rasul
Bacaan I: 1Ptr. 5: 1-4
Injil: Mat. 16: 13-19
 
RASANYA aku baru terlelap, ketika HP-ku mulai berdering. Aku mencoba mengabaikan dering HP itu, tetapi dering itu terus berulang-ulang. Maka, dengan agak jengkel aku membuka mata dan mengangkat HP.

Saat aku lihat aku tidak kenal dengan nomor kontak yang menghubungiku, setelah aku sapa, di seberang sana ada seorang ibu yang meminta Sakramen Pengurapan Orang Sakit untuk suaminya yang sedang sakit.

Ia berharap aku segera datang. Jam di HP-ku menunjuk pukul 01.30 dini hari, aku dengan malas. Dan agak sedikit kesal bangun dan bersiap untuk pergi.
 
Dengan mengenakan jas hujan aku menembus hujan dan dinginnya udara dini hari itu. Aku segera menuju ke rumah umat yang akan menerimakan Sakramen Pengurapan Orang Sakit.

Sesampai di depan rumah ibu itu, aku memencet bel berkali-kali, tetapi tidak ada tanda-tanda dibukakan pintu. Aku mencoba mengetok-ngetok pintu pagar tetapi tetap tidak ada tanggapan.

Aku menelpon berulang-ulang juga tidak diangkat. Di bawah guyuran hujan, sudah lebih dari 30 menit aku berjuang untuk bisa masuk ke rumah itu.

Untunglah kemudian ada hansip yang sedang berpatroli, yang membantu saya, dia melompat pagar yang cukup tinggi itu.

Tidak lama kemudian, seorang ibu membukakan pintu pagar  dan mempersilakan saya masuk.
 
“Maaf, romo, maaf, saya tertidur, sewaktu menunggu romo,” ibu itu menyapaku.

Setelah aku masuk, seorang bapak keluar dari kamar, dengan wajah masih mengantuk berat, tetapi tidak menampakkan tanda-tanda sakit.

“Bapak sakit apa? Apa yang bapak rasakan?” tanyaku menyapa bapak itu, setelah beliau duduk.

“Romo, saya hanya masuk angin, saya tidak apa-apa. Saya terkejut tadi dibangunkan istri saya, dan mengatakan kalau romo datang mau memberi Perminyakan. Saya bingung, kenapa saya harus mendapatkan sakramen perminyakan?,” jawab bapak itu.
 
“Maaf romo, merepotkan, saya takut kalau bapak kenapa-kenapa, karena mulai dari siang selalu ngomong soal kalau nanti meninggal, saya harus begini dan begitu. Saya jadi kepikiran terus, maka tadi saya minta romo datang,” ibu itu menjelaskan.
 
Rasanya pengin marah mendengar apa yang dikatakan bapak dan ibu itu. 

Mengapa ibu itu tidak menelpon nanti setelah agak siang? Mengapa juga pukul 01.30 dini hari meminta saya datang segera dan ternyata suaminya hanya masuk angin.
 
Dalam perjalanan pulang, saya menimbang-nimbang, kenapa saya harus marah?

Bukankah itu bagian dari tugas pelayanan. Mengapa aku melihat peristiwa itu hanya dari sisiku di mana aku dibangunkan dini hari dan harus berhujan-hujan pergi ke rumah ibu itu?

Mengapa aku tidak melihat dan merasakan kekhawatiran ibu itu yang melihat suaminya tidak sehat dan sedari siang bicara soal kematian?

Bukankah ibu itu ingin memberikan bekal terakhir yang mulia untuk suaminya?
 
Aku menjadi sadar, aku belum bisa menjadi pelayan yang baik, betapa sering aku bersungut-sungut dan mengeluh dalam menjalani pengutusan ini.

Aku masih jauh dari harapan sebagai seorang gembala yang baik.

Sebagaimana sabda Tuhan sejauh diwartakan dalam surat St. Petrus: “Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan terpaksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri.”
 

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version