Home LENTERA KEHIDUPAN Ruginya Marah

Ruginya Marah

1

KEJADIANNYA belum lama ini. Persisnya hari Sabtu, pekan lalu ketika aku mengunjungi Pameran International Communication Expo and Conference (ICC) di Senayan, Jakarta.

Gara-gara tersenggol lenganku seorang pria marah dan hendak berkelahi denganku. Kami berdua sempat panteng-pantengan mata dan adu mulut. Aku juga tidak terima meski sebenarnya aku yang salah.

Selang beberapa saat aku berpikir cepat. Aku tidak perlu menggubris orang ini. Aku bisa hajar orang ini, aku jago silat dan badanku tak lebih besar dari dia meski aku lebih pendek, pikirku. Tapi, persoalan pasti akan panjang dengan perkelahian ini. Karena itu, tanpa pikir panjang aku langsung ‘cabut’ pergi meninggalkan dia dengan keadaan mendongkol. Kurasa dia juga demikian.

Ah, aku menyadari sebenarnya aku sengaja menyenggol orang itu karena aku marah. Temanku yang menungguku di suatu stand sulit kutemui karena aku tak hafal lokasinya sementara istriku kutinggal entah dimana dengan pulsa hape yang minim. Panik dan jengkel rasanya.

Ini hanyalah gambaran kecil bila seseorang marah. Marah, terjadi akibat situasi eksternal maupun internal yang berlangsung tidak sesuai harapan kita. Anda bisa marah karena orang, misalnya teman sekerja yang tak pernah tepat waktu. Atau karena situasi lingkungan. Jalanan macet misalnya. Anda bahkan bisa marah karena diri Anda sendiri.

Saat marah, secara alamiah, seseorang akan mengungkapkannya secara agresif sehingga membuat keadaan sekitar menjadi tidak nyaman. Seakan semua yang ada di sekitar merasakan uap panas menyembur dari tubuh orang itu. Begitu kuatnya hawa marah itu, hingga tak hanya orang yang merasakannya. Hewan pun mencoba menghindarinya saat itu.

Berubah
Marah memang normal. Meski begitu, perlu dikontrol. Marah, sebagai sebuah keadaan dengan beragam intensitas dari yang ringan sampai yang berat, menurut psikolog yang juga pakar di bidang marah dari Departemen Psikologi University of South Florida, Charles Spielberger, PhD, biasanya akan disertai dengan perubahan psikologis dan biologis.

Saat marah, ritme jantung dan tekanan darah akan menaik. Maka, tak heran bila para peneliti seperti Dr. Redford William dari Duke University dan Dr. Robert Sapolsky dari Stanford University menemukan bahwa amarah, amuk, dan kebencian secara khusus merusak sistem kardiovaskular (pembuluh darah dan jantung).

“Kita tidak dapat mengatasi amarah dan kebencian hanya dengan menekan emosi-emosi ini. Kita perlu aktif menumbuhkan antidot-antidot untuk melawan kebencian dengan bersikap sabar dan toleran,”

Selain sistem kardiovaskular, perubahan yang sama juga terjadi pada hormon tubuh. Adrenalin (hormon yang memicu reaksi terhadap tekanan dan kecepatan gerak tubuh kita) dan noradrenalin menjadi meningkat. Hormon lain seperti kortikosteroid dan katekolamin akan terproduksi lebih banyak. Akibatnya, sistem kekebalan ditekan dan metabolisme tubuh akan kacau.

Prof. Dr. Aboe Amar Joesoef, Sp.S, dari bagian Neurologi FK Unair-RSU Dr. Soetomo, Surabaya menyebutkan kaitan antara emosi negatif dengan peningkatan kadar sitokin proinflamatorik dan peningkatan rasa nyeri. Sementara emosi positif berkaitan dengan penurunan sitokin proinflamatorik dan rasa nyeri.

Sitokin inflamatorik merupakan hormon yang berperan menjaga keseimbangan tubuh bila terjadi kekacauan. Munculnya hormon ini biasanya akan menimbulkan gejala yang dikenal dengan “sickness behaviour”.

Situasi ini ditandai dengan sekumpulan gejala seperti badan panas, rasa lemah, malaise, gelisah, sulit konsentrasi, depresi, hilangnya nafsu makan dan lain-lain.

Dalam Pengobatan Tradisional Cina (Tradisional Chinese Medicine-TCM), kemarahan diartikan sebagai rasa terganggu yang menyebabkan aliran Qi (energi) terbalik dan berjalan ke arah atas tubuh.

“Keadaan ini bisa merusak Qi di hati,” jelas Dr. William Adi Teja, spesialis penyakit dalam lulusan Beijing University.

Maka untuk mengatasinya, perlu ada emosi lain yang menyeimbangkannya, yakni dukacita. Kesedihan akan membuyarkan rasa marah, katanya.

Perlu Sabar dan Toleran
Selain mengungkapkan dengan terus terang dan agresif, orang bisa jadi menekan rasa marah atau menyembunyikannya. Yang paling baik adalah mengungkapkan kemarahan itu dengan tenang, tidak dengan cara agresif.

“Ini adalah cara yang paling menyehatkan bagi setiap orang,” jelas Charles Spielberger. Namun, untuk bisa demikian, Anda mesti belajar.

Tokoh Spiritual dari Tibet, Dalai Lama dalam sebuah wawancara dengan psikiater anggota American Board of Psychiatry and Neurology, Howard C. Cutler M.D, mengatakan “Kita tidak dapat mengatasi amarah dan kebencian hanya dengan menekan emosi-emosi ini. Kita perlu aktif menumbuhkan antidot-antidot untuk melawan kebencian dengan bersikap sabar dan toleran,”

Dalam kehidupan sehari-hari, toleransi dan sabar mempunyai manfaat besar. Pengembangan ketrampilan ini memungkinkan kita melestarikan dan mempertahankan kesadaran kita.

Hasil akhirnya adalah kesediaan memaafkan. “Bila Anda betul-betul sabar dan toleran, maaf akan datang dengan sendirinya,” jelas Dalai Lama.

1 COMMENT

  1. Suka nih dengan artikelnya…tapi sulit sekali untuk diterapkan dalm kehidupan sehari2..meskipun mungkin saja…tetapi butuh proses pembelajaran……

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version