DALAM sebuah pertemuan lingkungan yang diagendakan untuk memilih ketua baru, hanya enam orang hadir—pengurus dan tuan rumah. “Bagaimana mungkin pemilihan dianggap memenuhi syarat quorum?” keluh Ketua Lingkungan (KaLing) saat ini.
Di tengah suasana itu, datanglah seorang anak muda berusia sekitar 24 tahun. Ia baru saja menyelesaikan kuliah, akan mulai bekerja, dan belum menikah. Pemuda ini tidak terlalu aktif, namun kerap menyempatkan diri hadir dalam Doa Rosario, pendalaman Kitab Suci, dan ibadat lingkungan.
Kehadirannya disambut hangat para pengurus yang sebagian sudah lanjut usia. Proses pemilihan sempat diwarnai dilema. Namun tiba-tiba, pemuda itu angkat bicara, “Bolehkah saya mengajukan diri sebagai Ketua Lingkungan?”
Tanpa banyak pertimbangan, para sesepuh lingkungan serentak menjawab, “Ya.”
Alasannya sederhana: mumpung ada yang mau.
Faktanya, tak mudah mencari sosok yang bersedia menjadi Ketua Lingkungan. Banyak umat memilih absen dari pertemuan dengan berbagai alasan, dan lebih banyak lagi yang menolak ketika namanya diusulkan. Karena itu, patut diapresiasi paroki-paroki yang terus membangun kaderisasi pengurus di tingkat teritorial, seksi, maupun kategorial.

Lingkungan: Komunitas khas Gereja Indonesia
Istilah Lingkungan (dari kata Belanda kring) berakar dari tahun 1934. Kala itu, Romo Albertus Soegijapranata SJ—yang kemudian menjadi Uskup Agung Semarang dan Pahlawan Nasional—melihat adanya diskriminasi dalam hidup menggereja di Yogyakarta.
Gereja St. Fransiskus Xaverius Kidul Loji saat itu lebih diperuntukkan bagi umat Eropa, sedangkan umat pribumi hanya diperbolehkan beribadah di Gereja St. Yusuf Bintaran yang terpisah oleh Kali Code.
Sebagai pastor Paroki Bintaran, Romo Sugiya menggagas terbentuknya gereja-gereja kecil di antara umat Katolik pribumi Jawa. Sekitar 7–12 keluarga yang rumahnya berdekatan membentuk Kring atau Lingkungan. Tujuannya agar umat dapat lebih sering berkumpul, berdoa bersama, saling membantu, memperdalam iman, dan berpartisipasi aktif dalam masyarakat sekitar.
Pola hidup berlingkungan ini terbukti menumbuhkan iman dan solidaritas sosial. Pastor Romens SJ pada tahun 1974 menulis buku Lingkungan: Menuju Gereja yang Lain, menggambarkan betapa khasnya pola menggereja di Indonesia dibandingkan gaya umat Katolik Eropa yang cenderung individualistis. Ia mengaitkannya dengan Kisah Para Rasul 2:41–47—gambaran jemaat perdana yang hidup sehati, berdoa, dan berbagi segalanya.
Mgr. Ignatius Suharyo, dalam rapat kerja pelayan umat Keuskupan Bandung tahun 2013, menegaskan bahwa “Gagasan hidup berlingkungan tidak lahir di Gereja Kidul Loji, tetapi di Gereja Bintaran. Artinya, Lingkungan menjadi salah satu ciri khas Gereja pribumi—Gereja Indonesia. Orang Katolik diharapkan tidak hanya berkumpul di gereja pusat, tetapi juga hadir dan menjadi saksi di tengah masyarakat.”
Gagasan yang lahir tahun 1934 itu sungguh visioner, bahkan 30 tahun kemudian dirumuskan dalam Konsili Vatikan II tentang Gereja dalam Dunia Modern.
Lingkungan: Tanggungjawab bersama
Istilah Lingkungan di setiap keuskupan bisa berbeda—ada yang menyebut Kring, Wilayah, atau Umat Basis. Namun tujuannya tetap sama: membangun komunitas iman yang hidup, sebagaimana dicontohkan jemaat perdana dan diwariskan oleh Romo Soegijapranata SJ.
Mengelola Lingkungan memang tidak mudah. Kisah sulitnya memilih Ketua Lingkungan hanyalah satu contoh. Kesibukan, jarak tempat tinggal, serta berbagai urusan keluarga sering menjadi kendala. Di kota besar, pertemuan Lingkungan mungkin lebih nyaman karena fasilitas mendukung. Namun di daerah lain, situasinya bisa sangat berbeda—Doa Rosario yang dibubarkan atau latihan koor yang dilempari batu, masih terjadi di sejumlah tempat.

Kunjungan pastor ke rumah-rumah menjadi harapan bagi penguatan iman umat, tetapi tidak mudah dilakukan, terutama di daerah terpencil atau luar Jawa. Karena itu, cura animarum (perawatan jiwa umat) bukan hanya tanggungjawab pastor paroki, melainkan panggilan setiap umat Katolik untuk menumbuhkan imannya sendiri melalui doa, ekaristi, dan kebersamaan dalam lingkungan.
Lingkungan: Alas Kaki Tubuh Kristus
Gereja kita berdiri di atas batu karang para rasul dan tumbuh menjadi komunitas terbesar di dunia. Santo Paulus menggambarkan umat Kristiani sebagai satu tubuh dengan Kristus sebagai Kepala (Roma 12:5; 1 Korintus 12:12–27; Efesus 3:6; Kolose 1:18). Karena itu, setiap anggota Gereja perlu berpartisipasi agar Tubuh Kristus tetap hidup dan bergerak.
Anang YB, mantan Ketua Lingkungan Paroki St. Arnoldus Bekasi, dalam bukunya Ketua Lingkungan: Sandal Jepit Gereja, menulis bahwa lingkungan adalah “alas kaki” Gereja – bagian yang menopang seluruh gerak Tubuh Kristus di dunia.
Seorang Ketua Lingkungan bisa menjadi satpam yang menjaga umatnya, kurir yang menyebarkan informasi, driver yang mengantar lansia ke misa, atau event organizer yang menyiapkan kegiatan bersama. Ia mengenal umatnya lebih dekat daripada pastor paroki sekalipun.
Menjadi Katolik berarti beriman bersama. Iman bukan hanya urusan pribadi, tetapi panggilan untuk membangun komunitas yang hidup. Memang tidak mudah menjadi umat Katolik, dan tidak mudah pula mengelola lingkungan. Namun, dibutuhkan keberanian untuk berkata:
“Saya mau menjadi Ketua Lingkungan. Saya mau berpartisipasi dalam komunitas menggereja.”
Foto: Dokpri














































