Home BERITA Soulfriend, Makna Kepemimpinan Religius

Soulfriend, Makna Kepemimpinan Religius

1

Ini merupakan refleksi dalam rangka Ulang Tahun Tarekat MSC  (Societas Missionariorum Sacratissimi Cordis Jesu – Tarekat Misionaris Hati Kudus Yesus) yang ke-157 yang dirayakan bertepatan dengan perayaan Maria Dikandung Tanpa Noda pada 8 Desember

Masih kuat ingatan dalam benak saya ketika hendak mulai berkarya di Pineleng pada tanggal 11 Mei 2011.  Pada waktu itu saya  dijemput oleh P. Viany Untu MSC dan salah seorang karyawan “Percikan Hati”  di Airport. Lalu tanpa basa-basi, dia mengambil kopor dan berangkat menuju Skolastikat MSC – Pineleng. Saya sebagai orang baru  tentu merasa “risih”, karena diperlakukan demikian. Tetapi rupanya pengalaman pertama di Airport itu yang menjadi awal yang baik bagiku dalam tugas pelayanan.

Gaya Kepemimpinan Yesus
Sabda Yesus yang berbunyi, “Sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat 20:28) sungguh amat tepat. Dengan membaca kutipan di atas, kita menjadi sadar bahwa kepemimpinan religius itu pada dasarnya adalah tugas pelayanan. Bahkan Ibu Teresa dari Calcutta mengatakan bahwa kunci dari kehidupan religius adalah suatu pelayanan. Dia menulis, “Keheningan membuahkan doa. Doa membuahkan iman. Iman membuahkan cinta. Cinta membuahkan pelayanan. Dan pelayanan membuahkan damai.”

Gaya kepemimpinan Yesus yang dapat kita lihat ialah bahwa Yesus mau tinggal bersama. Yesus mengajak kedua belas murid itu untuk tinggal, makan dan beribadah serta bekerja bersama-sama dengan Dia. Kemana-mana Ia pergi bersama mereka. Kemudian hal berikutnya adalah bahwa Yesus menerapkan makna pembelajaran. Setiap kegiatan, setiap kunjungan, khotbah, penyembuhan, debat dengan ahli Kitab dan Taurat dimanfaatkan Yesus sebagai kesempatan untuk mendidik dan mengajar para murid-Nya.

“Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?” (Mrk. 9:33-37). Kemudian dalam setiap gerak langkah-Nya senantiasa dibarengi dengan doa. “Pada waktu itu pergilah Yesus ke bukit untuk berdoa dan semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah. Ketika hari siang, Ia memanggil murid-murid-Nya kepada-Nya, lalu memilih dari antara mereka dua belas orang, yang disebut-Nya rasul”  (Mrk. 1:12-13).

Kepemimpian Komunitas Zaman Ini
Kehidupan membiara pada zaman sekarang ini amat berbeda dengan kehidupan di masa lalu.  Ketaatan kaku yang diterapkan di novisiat-novisiat seperti menanam pohon terbalik dan disirami oleh para novis kini hanya terdengar di rumah-rumah biara purna tugas. Masih terdengar pula cerita-cerita bahwa superior atau moeder adalah pribadi-pribadi yang angker dan sulit didekati. Dalam menempatkan seseorang atau benuming atau SK tidak  ada lagi tawar-menawar.

Bahkan sebagai misionaris, mereka menggunakan istilah one way ticket, yang artinya sekali pergi tidak boleh kembali lagi.  Kini zaman telah berubah. Apalagi ketika ilmu-ilmu kontemporer mulai diterapkan di novisiat dan skolastikat maka pendekatan secara manusiawi lebih diutamakan. Jurang pemisah antara pemimpin dan anggota komunitas dalam biara kini mulai tidak terasa lagi. Masa mutasi bagi para anggota tarekat merupakan saat yang berat bagi Petinggi Tarekat karena harus mempertimbangkan perasaan, kemampuan, latar belakang dan lain sebagainya. Inilah konsekuensi logis dari perubahan zaman.

Penemanan dalam hidup di biara menjadi tugas yang utama bagi pemimpin komunitas. Anggota komunitas membutuhkan sahabat untuk berbicara dan didengarkan. Dengan demikian, pemimpin komunitas menjadi sahabat bagi temannya (soul friend). Bagi biarawan yang berpastoral, seperti mengajar, kantor, yayasan maka pulang ke rumah menjadi sesuatu yang membahagiakan, karena di situ bisa rekreasi dan makan dalam suasana kekeluargaan. Di sanalah muncul istilah home sweet home. Bahkan ada orang mengatakan, “Di seluruh dunia orang boleh tidak suka denganku, tetapi di komunitas aku merasa damai dan krasan.”

Saya masih ingat bagaimana ketika saya sudah berkarya di paroki selama 8 tahun di keuskupan Purwokerto. Sebagai  anggota komunitas, saya mengungkapkan isi hati kepada Pater Superior dengan maksud ingin berkarya di tempat lain dan kalau boleh bukan di paroki. Lewat dialog dan penemanan, akhirnya “permohonan” saya itu dikabulkan. Mutasi yang dilakukan dengan suka rela dan dialog, sungguh menguntungkan keduanya.  Di sinilah barangkali benar apa yang dikatakan Stefan Covey tentang “win-win solution”.

“Keteladanan” merupakan bagian penting dalam kepemimpinan religius pada zaman sekarang ini. Memberi nasihat, memimpin konperensi, menganjurkan untuk membuat laporan tahunan itu mudah. Tetapi bagaimana nanti kalau ternyata seorang pemimpin dicap sebagai “gajah diblangkoni” yang berarti bisa berkhotbah tetapi tidak mampu melaksanakan. Keteladanan dalam melaksanakan acara harian dengan penuh kesetiaan merupakan hal yang vital dalam hidup membiara.

Pemimpin yang Melayani
Sebutan kehormatan untuk seorang Paus, adalah  servus servorum Dei (abdi dari para abdi Tuhan) yang hidup dan tugasnya hanya untuk melayani umatnya.  Para pemimpin dunia yang mengukir sejarah selalu tampil sebagai pemimpin yang melayani. Martin Luther King, Mahatma Gandhi dan Dalai Lama tampil sebagai pribadi yang kuat namun penuh pelayanan bagi rakyat. Di seminari-seminari ada seorang pastor yang tugasnya memperhatikan kehidupan para seminarisnya yakni konsumsi dan akomodasi dalam asrama. Para seminaris memanggil dengan sebutan pater minister. Minister berasal dari bahasa Latin yang berarti pelayan. Dari sana pula muncul istilah “mentri” yang berarti pelayan.

Sebagai pemimpin religius dalam melayani kadang harus berbenturan dengan anggota komunitas. Namun, seorang pemimpin haruslah memiliki jiwa besar. Pakubuwono IV dalam Wulangreh memberi nasihat, “Ia harus berlapang hati, luas, sanggup memuat dan memangku” Atau menurut Ki Hajar Dewantara (yang ketika masih muda bernama Suwardi Suryaningrat) pernah berkata, “Ing ngarso sung tulodho, Ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani” yang berarti di depan memberi teladan, di tengah menjadi penggerak dan di belakang memberi motivasi.

Penutup
“Soulfriend” itulah kata yang tepat untuk melukiskan makna kepemimpinan religius.  Perjuangan dalam hidup membiara itu bagaikan berziarah menuju tanah terjanji. Dalam perjalanan menuju tanah terjanji bangsa Israel bergaul dengan penduduk setempat dan beribadah kepada dewa nenek moyang mereka. Akibatnya bangsa Israel sering tergoda untuk meninggalkan Tuhan dan pergi beribadah kepada ilah-ilah lain.

Maka, tampilah Yosua dan mengumpulkan segenap bangsa Israel di Sikhem untuk mengadakan pembaharuan perjanjian. Yosua sebagai “soulfriend” bagi bangsa Israel. Dalam hidup membiara, sering terjadi ada beberapa anggota komunitas yang mulai ingin “melenceng” dari aturan-aturan (konstitusi, regula ataupun statuta), di sinilah seorang pemimpin komunitas  menjadi teman seperjalanan (companion) menuju “Tanah Terjanji”

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version