Home BERITA Tujuh Tahun Jalan Sendiri-sendiri, Kini Pasutri Ingin Perbarui Janji Perkawinan

Tujuh Tahun Jalan Sendiri-sendiri, Kini Pasutri Ingin Perbarui Janji Perkawinan

1
Ilustrasi -(Ist)

BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariaAN.

Selasa, 16 November 2021.

Tema: Kasih yang semula.

  • 2 Mak. 6: 18-21.
  • Luk. 19: 1-10.

MENGENANG masa lalu terlebih pada hal-hal yang menyakitkan pasti hanya akan membuat derita berkepanjangan. Juga tiadalah berguna.

Itu malah akan menjadi sumber penyakit. Bahkan bisa menjadi “sarana” kuasa iblis untuk menjerat orang pada kesedihan tiada henti.

Tegas dan singkirkan segera perasaan merasa bersalah berkepanjangan itu.

Menjalani yang ada saat ini -kendati masih saja tertatih-tatih dan terkulai- sungguh merupakan sebuah perjuangan. Juga merupakan kebangkitan rohani.

Kiranya, hal itu bisa menjadi  sebuah kegembiraan. Bahkan ungkapan syukur atas kehidupan yang dianugerahkan.

Waktunya singkat. Banyak kebaikan di luar diri sendiri. Bergabunglah dalam kebersamaan dengan yang lain.

Nikmati saja yang sudah ada dan tetaplah berjuang.

Masa depan memang tidak menjanjikan hal-hal yang indah. Namun, itu merupakan tujuan yang dapat dicapai. Tentu saja harus dengan sebuah perancangan di dalam ketulusan, ketangguhan, keberanian dan kesadaran untuk apa ia diciptakan.

Percayalah. Berjalanlah.

“Romo, saya mau intensi. Kami mau bersyukur. Kehidupan kami telah kembali,” kata seorang bapak.

“Maksudnya?”

“Ya, Romo. Kami hanya ingin ungkapkan lagi rasa bersyukur. Kehidupan keluarga kami kini telah kembali jadi normal lagi.

Kami ingin memulai lagi perjalanan bersama. Kami membangun kembali keluarga yang terberkati.

Kami makin percaya dan belajar berserah atas kehidupan yang telah diberikan.

Kami sadar keluarga adalah hadiah istimewa dalam hidup kami.

Kami mau belajar lagi. Kami mohon, Tuhan menyertai keluarga kami; memampukan kami untuk melangkah lagi bersama,” jelasnya.

“Adakah perayaan syukur yang ingin dirayakan?” tanyaku.

“Pastinya begitu Romo,” jawab bapak itu.

“Bisa sedikit syering atas kegembiraan itu?”

“Begini Romo. Relasi kami sebagai pasutri pernah berantakan. Berawal dari kesalahan saya pribadi, sebagai suami dari isteri dan bapak dari anak-anak. 

Dalam kebosanan berrumahtangga dan rutinitas pekerjaan, saya mengalami kejenuhan. Saya lalu terjerat pada hubungan dengan perempuan yang lain.

Isteri saya mengetahui. Kami jadi ribut besar. Bertengkar setiap hari. Saling menyalahkan.

Saya tidak mau keluar dari rumah. Saya masih mengingat anak-anak.

Saya sudah minta maaf pada isteri. Saya hanya minta jangan diungkit di hadapan anak-anak.

Tapi, selama itu pula, saya masih menjalin hubungan. Saya mendapat kegembiraan dan pelampiasan di luar rumah dengan relasi itu. Kami akhirnya masing-masing,” kisahnya diungkapkan tanpa sungka disertai penyesalan.

Sang isteri memegang pundak pasangannya dan spontan berkata, “Saya juga ambil bagian Romo dalam keruntuhan keluarga kami.”

“Saat itu, saya marah besar. Saya sungguh tidak terima atas perlakuannya. Saya jijik melihatnya. Saya benci, tidak mau disentuh sama sekali.

Saya sangat marah dan marah. Rasanya ingin menghabisi dia. Beri pelajaran .

Saya naik pitam. Setiap bertengkar. Anak-anak jadi kurang diperhatikan. Hidup saya kacau.

Rumah menjadi berantakan. Anak-anak menjadi sasaran.

Saya juga salah, Mo. Diam-diam saya pun membalas apa yang dibuat. Kalau dia bisa,  mengapa saya tidak juga melakukan hal yang sama?

Saya pun lalu mengontak mantan saya. Gayung pun bersambut. Kami akhirnya akrab. Hubungan kami pun tidak sebatas sekedar persahabatan.

Saya berprinsip, kalau dia bisa menyakiti, mengapa saya tidak.

Bodo amat.

Saat itu, saya kalut. Saya membutuhkan seseorang menghibur saya. Saya tidak berpikir jauh akibatnya.

Yang penting saya bisa membalas dan menikmati hidup!

Kami hidup masing-masing. Tidak saling bersentuhan dan masing-masing saja. Anak-anak diurus oleh bibi.

Kami saling tidakmau tegur sapa. Begitu, Mo,” kisahnya jadi semakin lengkap dengan “testimoni” sang isteri tanpa ragu.

“Kami mengalami hal itu selama tujuh tahun. Hidup saling bermusuhan. Sama-sama tidak mau meninggalkan rumah. Rumah tangga kami menjadi rumah kos,” sela si bapak.

“Apa yang menyebabkan kalian menyadari lalu mau jadi bersatu kembali dan kemudian  saling memaafkan dan mengampuni?”

“Harganya sangat mahal dan itu sungguh tak tergantikan. Harta keluarga yang tak terbilang. Anak kami yang paling kecil, seorang puteri yang cantik, meninggal.

Kami berdosa, Mo. Tuhan menyadarkan. Kami memutuskan hubungan dengan yang lain, Mo. Kami menyesal. Kami ingin memulai lagi.

Kami pindah di kota ini, Mo,” kata si bapak.

“Baiklah. Kapan kalian akan memperbarui janji perkawinan?” tanyaku sangat bersemangat.

Yesus berkata, “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.” ay 5

Tuhan, tinggallah di rumah kami. Amin.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version