
SATU dekade ensiklik Laudato Si’ merupakan perjalanan yang sangat berarti untuk menatap masa depan Indonesia dan dunia. Gerakan Laudato Si’ Indonesia (GLSI) menuntut perubahan sikap dan perilaku sebagai “anggur baru” melalui pendekatan pastoral kolaboratif.
Ini sungguh sangat sejalan dengan gagasan ekologi integral yang menjadi spirit utama Ensiklik Laudato Si’ (2015) warisan penting dari Bapa Suci Paus Fransiskus (1036-2025).
Demikian salah satu poin yang dibahas dalam panel diskusi Jumat malam 5 September 2025 yang menghadirkan narasumber:
- Romo Marthen Jenarut Pr – Sekretaris Komisi Keadilan dan Perdamaian-Pastoral Migran dan Perantau KWI.
- Romo Ignatius Ismartono SJ – pemerhati masalah HAM, lingkungan, dan kaum pekerja migran dari Sahabat Insan.
- Sonny Keraf, pakar etika lingkungan dan mantan menteri.
- Romo Ferry Sutrisna Wijaya Pr – pemerhati lingkungan hidup dan konservasi alam dari Eco Camp Bandung.
Diskusi ini dipandu oleh Koordinator Tim Kerja Nasional Gerakan Laudato Si’ Indonesia: Cyprianus Lilik Krismantoro.

150 peserta dari 11 keuskupan di Sentul City, Bogor
Panel diskusi ini merupakan rangkaian penting di hari pertama dari seluruh kegiatan Perayaan Nasional 10 Tahun Ensiklik Laudato Si’. Kegiatan ini diselenggarakan di Padepokan Voli dan Graha Bina Humaniora, Sentul City, Kabupaten Bogor, tanggal 5-7 September.
Kegiatan ini diikuti sekitar 150 peserta dari 11 Keuskupan: Medan, Palembang, Lampung, Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Manado, dan Balikpapan.
Selain pertemuan nasional para animator Gerakan Laudato Si’ Indonesia, kegiatan selama tiga hari ini juga diisi dengan lokakarya, pameran berbagai produk ramah lingkungan serta bazaar UMKM dari sejumlah paroki di Keuskupan Bogor – tuan rumah penyelenggaraan kegiatan tahun 2025 ini.

Gerakan global yang semakin mendunia dan membumi
Gerakan Laudato Si’ Indonesia (GLSI) itu sendiri merupakan gerakan dan jaringan global yang terinspirasi oleh Ensiklik Laudato Si’ yang dikeluarkan oleh mendiang Paus Fransiskus tahun 2025. Ensiklik ini merupakan sebuah dokumen sangat penting yang dirilis oleh Vatikan dengan seruan kencang agar semua orang di dunia ini mulai gegap gempita berani yang kepedulian terhadap lalam semesta, ingkungan hidup, dan keadilan iklim.
Gerakan Laudato Si’ Indonesia mendorong adanya pertobatan ekologis dan perubahan gaya hidup. Gerakan ini juga ingin melakukan banyak hal guna mampu menginspirasi dan mengaktifkan komunitas-komunitas baru di tengah masyarakat untuk merawat bumi – rumah kita bersama. Dengan maksud dan tujuan utama gerakan ini adalah mencapai apa yang disebut sebagai keadilan iklim dan ekologis (climate and ecological justice).
Romo Ismartono SJ yang banyak berkecimpung dalam gerakan kemanusiaan melalui isu kaum pekerja migran, pengungsi, dan HAM dalam homilnya di Misa Pembukaan Jumat siang pekan lalu mengatakan antara lain sebagai berikut.

- Gerakan Laudato Si’ Indonesia merupakan “anggur baru” di tengah krisis iklim yang saat ini tengah terjadi di masyarakat di mana dari semua pihak dituntut agar mau melakukan perubahan sikap dan perilaku.
- Pola-pola dan kebiasaaan lama yang bersifat eksploitatif dirasakan oleh semua pihak bahwa cara hidup seperti itu sudah tidak relevan dalam menjaga keberlanjutan lingkungan hidup dan kehidupan itu sendiri.
“Gerakan Laudato Si’ Indonesia itu adalah ‘anggur baru’ yang akan hilang bila dimasukkan dalam kantong lama, kebiasaan lama, atau program lingkungan hidup yang lama, kegiatan ekonomi eksploitatif,” imam senior Jesuit yang lama berkecimpung dalam pendampingan mahasiswa di Depok selama beberapa dekade lampau.
Ia juga merasa perlunya menyiapkan struktur sosial dan budaya sehingga menjadi pola perilaku yang berpihak pada bumi dan kehidupan. Untuk itu, kata kakak kandung almarhum Mgr. Pujasumarta ini, semua usaha penting itu perlu diikuti dengan pertobatan yang melibatkan tanggungjawab pada generasi mendatang. “Pertobatan harus menjadi budaya baru agar terjadi keadilan antargenerasi dan tidak mewarisi bumi yang rusak,” ujar Rom Is, panggilan akrabnya.

Hal senada juga ditekankan oleh Dr. Sonny Keraf -mantan Menteri Lingkungan Hidup- dan Romo Marthen Jenarut Pr – kini Sekretaris Eksekutif KKP PMP KWI.
Gerakan Laudato Si’ Indonesia berupaya menyadarkan kita bahwa lingkungan hidup terkoneksi dengan aspek kehidupan manusia. Untuk itu, gerakan komunitas ini (GLSI) tidak hanya terbatas pada aksi lingkungan saja. Lebih dari itu, kata mereka, GLSI ini juga mesti melibatkan diri pada aksi kemanusiaan. Taruhlah seperti memberi perhatian dan bertidak menolong mereka: kalangan miskin, kelompok rentan, kaum perempuan yang paling potensial atau rentan karena dampak krisis lingkungan.
Sonny Keraf mempertegas bahwa krisis dan bencana ekologis adalah ancaman nyata pada kelangsungan bumi dan kehidupannya. Solusi yang paling mendasar harus dimulai dari perubahan perilaku dan pola hidup yang didasari sebuah etika baru yang lebih memuliakan bumi dan kehidupannya.
“Karena itu Gereja dan semua agama harus bicara tentang krisis ekologis sebagai krisis bumi. Menyelamatkan kehidupan artinya menyelamatkan bumi dengan segala isinya,” ujar mantan frater Jesuit yang pernah menjabar Menteri Lingkungan Hidup era Presiden Abdurrahman Wahid asal Flores, NTT.


Pastoral kolaboratif
Romo Marthen Jenarut Pr yang mewakili Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) memberi apresiasi atas kiprah GLSI yang berupaya mewujudkan gagasan ekologi integral yang menjadi dasar spirit Ensikik Laudato Si’.
Dalam momentum perayaan nasional 10 Tahun Ensiklik Laudato Si’, GLSI diimbau agar semakin memperluas aktivitas nyata sebagai gerakan bersama seluruh umat manusia melalui pendekatan pastoral kolaboratif.
“Sebagai lembaga koordinatif, KWI punya tugas memfasilitasi dan mengarahkan keuskupan-keuskupan agar semangat Laudato Si’ itu mewarnai sekaligus menjadi identitas dari manajemen pastoral di tingkat keuskupan,” ujar Romo Marthen Jenarut Pr dari KWI.
Ia juga menjelaskan bahwa Gereja Katolik sangat berharap agar komunitas GLSI terus bergerak menuju sebuah aksi perubahan ekologi. GLSI yang diinspirasi dari nilai-nilai etis moral lingkungan hidup harus menjadi gerakan semua orang lintas suku, agama, dan golongan.


Pengaruhi kebijakan publik
Dalam kesempatan tersebut juga dibahas bahwa selain membangun kesadaran dan aksi-aksi ekologis, upaya mempengaruhi kebijakan publik juga sangat diperlukan. Demikian juga tetap melakukan aksi dan advokasi yang membangun kesadaran kritis masyarakat.
Sementara itu, Romo Stanislaus Ferry Sutrisna Pr, imam diosesan Keuskupan Bandung dan seorang penggerak GLSI melalui pendirian Eco Camp di Bandung, meminta agar jumlah animator LS perlu terus ditingkatkan agar gerakan ini memiliki dampak yang nyata dalam mendorong perubahan sikap umat.
Idealnya, kata Romo Ferry, jumlah animator LS mencapai 3 persen dari jumlah umat Katolik di Indonesia yang kini mencapai sekitar 12,5 juta penduduk. Saat ini, jumlah animator mencapai sekitar 300 orang dari berbagai wilayah Indonesia. Jumlah ini tentu masih jauh dari angka ideal.

Kursus Laudato Si melalui daring
Cyprianus Lilik Krismantoro selaku Koordinator Nasional Gerakan Laudato Si Indonesia menyampaikan pihaknya melakukan kursus animator setiap tahun selama tiga bulan. Jumlah peserta yang mengikuti kursus ini terus bertambah.
Kursus animator LS adalah pelatihan online yang dirancang untuk melatih dan menginspirasi umat di berbagai belahan dunia tentang aspek ekologi integral.
Program ini bertujuan antara lain:
- Memberi pemahaman tentang krisis ekologi dan peran Gereja dalam merawat ciptaan Tuhan.
- Mengembangan kesadaran ekologis.
- Mempraktikkan gaya hidup berkelanjutan.
- Melatih peserta untuk menjadi penggerakan peduli lingkungan di dalam komunitas mereka sesuai spirit Ensiklik Laudato Si’. (Berlanjut)
\