- Luk 14:1.7-14
REKAN-rekan yang baik.
Para pengikut Yesus dalam Gereja Perdana makin sadar bahwa mereka diutus bepergian ke pelbagai penjuru dunia menyampaikan Kabar Gembira dalam wujud menyembuhkan orang sakit, mengajar, dan meneguhkan iman.
Orang cacat, orang buta, janda miskin mereka usahakan agar tidak melulu menjadi penerima sedekah atau orang-orang yang keberadaannya ditolerir, melainkan menjadi bagian dalam kehidupan mereka.
Itulah yang dilakukan murid-murid generasi awal. Sebelumnya tak banyak didengar bahwa iman dapat diwartakan dalam wujud pelayanan bagi kemanusiaan. Para pemimpin mereka memang mendapatkan ilham dari kehidupan dan karya Yesus Sang Mesias sendiri.
Dalam mewartakan kedatangan Kerajaan Allah, Yesus menyembuhkan orang, mengeluarkan roh jahat dari diri orang, memperkenalkan kerahiman Tuhan, meninggikan nilai kemanusiaan. Ia juga mengikutsertakan murid-murid-Nya dalam kegiatan-Nya sehingga mereka menjadi rekan sekerja-Nya.
Bagaimana Injil kali ini, yakni Luk 14:1.7-14 dapat membantu kita mendalami kenyataan ini?
Menghormati Sang Pencipta
Petikan Injil ini berawal dengan cerita kedatangan Yesus pada suatu hari Sabat untuk makan di rumah seorang Farisi yang terpandang (Luk 14:1). Perhatian diarahkan kepada Yesus dengan penuh perhatian. Mereka mendengar bahwa Yesus pernah menyembuhkan orang pada Hari Sabat (Luk 13:10-17).
Dalam adat dan agama Yahudi banyak hal yang dikerjakan pada hari biasa tidak boleh dilakukan pada Hari Sabat demi menghormati kekudusan hari itu. Apakah Ia kini akan menjalankan sesuatu yang tak lazim?
Dalam ayat-ayat selanjutnya dikisahkan bagaimana Yesus tanpa ragu-ragu menyembuhkan orang yang sakit busung air yang datang kepada-Nya. Ketika orang bertanya-tanya apakah tindakan ini bisa dibenarkan, Ia menjawab, siapa yang tidak berbuat sesuatu bila anaknya atau lembunya terperosok ke sumur pada Hari Sabat (ayat 5)?
Maksudnya, keadaan yang mendesak bakal mengizinkan orang menjalankan hal yang biasanya tidak boleh dilakukan. Yesus mengimbau orang memakai akal sehat.

Jawaban ini erat hubungannya dengan Luk 13:15.
Di situ Yesus mengingatkan: bukankah orang mengeluarkan lembu atau keledainya dari kandang setiap hari, juga pada hari Sabat, agar hewan dapat pergi ke tempat minum? Apalagi kini ada keturunan Abraham yang sudah 18 tahun menderita terikat kuasa Iblis.
Kata-kata ini disampaikan-Nya untuk menjawab keberatan kepala rumah ibadat yang melihat-Nya menyembuhkan pada Hari Sabat. Ada enam hari kerja, mengapa Yesus melakukannya justru pada Hari Sabat dan di rumah ibadat?
Menyembuhkan orang pada Hari Sabat memang bukan hal biasa. Juga dalam masyarakat Yahudi waktu itu orang sakit tidak akan datang mencari tabib pada hari itu. Tetapi mengapa dilarang bila keadaannya mendesak dan bakal memburuk bila tidak segera ditolong?
Bentuk-bentuk kerasulan baru biasanya tumbuh dari keadaan mendesak seperti itu. Sering wujud dan cara pelaksanaannya tidak mengikuti pola-pola yang lazim dan tidak langsung dimengerti rekan sekerja.
Namun, baik diingat bahwa pada hari ketujuh, Hari Sabat, Tuhan beristirahat dari karya ciptaan-Nya dan memberkatinya (Kej 2:2-3). Karya-Nya kini dilanjutkan oleh orang-orang yang mengamalkan hidup mereka agar kemanusiaan makin menampilkan wajah dan kemiripan-Nya.
Dalam pandangan ini, kerasulan yang ditekuni para religius akan menjadi wujud nyata berkat Pencipta dan menjadi jalan memuliakan Tuhan. Pada hari istirahat-Nya itu Tuhan akan memandangi orang-orang yang berkehendak baik, yang menyediakan diri menjadi jalan berkat-Nya bagi semua yang telah diciptakan-Nya selama enam hari sebelumnya.
Peristiwa penyembuhan pada Hari Sabat di rumah seorang Farisi itu kemudian dikembangkan lebih lanjut dengan ajakan agar orang menaruh diri di tempat yang rendah (Luk 14:7-11) dan seruan untuk tidak melupakan orang-orang yang biasanya tidak dapat ikut serta dalam kegembiraan pesta (Luk 14:12-14).
Apa maksud kedua pengajaran itu?
Tempat terhormat … bagi siapa saja
Perumpamaan mengenai orang yang menduduki tempat terhormat tetapi kemudian diminta pindah ke belakang, dan orang yang duduk di belakang tetapi dipersilakan maju, menunjukkan adanya keinginan orang untuk dianggap sebagai orang terpandang.
Tetapi apa pokok pengajaran perumpamaan ini?
Menaruh diri di tempat yang rendah agar dipersilakan ke tempat yang terhormat kerap kali dimengerti sebagai menjalankan kerendahan hati dan berkelakuan baik-baik. Jadi semacam ajaran untuk tidak menonjolkan diri dan membiarkan orang lain mencarikan tempat yang lebih layak.
- Apakah Yesus bermaksud mengajarkan sopan santun sambil mengkritik kebiasaan mereka yang suka mencari tempat terhormat? Atau,
- Ia memakai amatan dalam perumpamaan itu untuk mengajarkan suatu hal mengenai Kerajaan Allah?
Meskipun tidak buruk, tafsiran pertama (“sopan santun”) di atas tidak membuat warta Injil sungguh terasa. Arah yang kedua (“merendahkan diri”) agaknya lebih sejalan dengan Injil.
Memang seorang tamu boleh jadi merasa berhak menduduki tempat yang terpandang. Tetapi hanya tuan rumahlah yang betul-betul tahu mana tempat yang cocok bagi orang yang diundangnya. Lukas menyebut uraian Yesus itu “perumpamaan” (Luk 14:7) justru agar pembaca berusaha mencari hikmatnya dan bukan langsung menerapkan bentuk luarnya pada tingkah laku sopan santun atau kerendahan diri.
Diajarkan apa artinya bila tuan rumah sendiri yang mencarikan tempat, mempersilakan tamunya menduduki tempat yang disediakan baginya.
Kepada siapa pengajaran dalam bentuk perumpamaan itu ditujukan? Tentunya kepada para murid. Tetapi tidak berarti bahwa mereka itu orang-orang yang berusaha mencari tempat terhormat atau yang pandai memilih tempat rendah agar ditinggikan nanti.
Ini bukan alegori, melainkan perumpamaan yang mengajak orang berpikir.
Baik diperhatikan bahwa dalam kisah itu hanya ada satu saja tempat terhormat. Padahal banyak yang ingin mendapatkannya. Apakah orang diminta berlaku rendah hati dan tidak mengingini tempat itu?
Tidak tepat. Lebih tepat bila perumpamaan itu dilihat sebagai imbauan kepada para murid agar berusaha menyediakan tempat terhormat sebanyak-banyaknya sehingga makin banyak orang dapat dibawa ke tempat terhormat.
Tak peduli datang duluan atau kemudian, ingin duduk di muka atau memilih ada di belakang dengan harapan nanti dipersilakan ke depan.
Cara memahami seperti ini hanya mungkin bila perumpamaan tadi tidak dianggap berbicara mengenai tempat perjamuan biasa. Di situ hendak diajarkan perihal Kerajaan Allah.
Dalam artian ini para undangan mirip dengan para pekerja kebun anggur yang diupah sama walaupun jumlah jam kerja mereka berlain-lainan seperti diceritakan dalam Mat 20:1-16.
Dalam perumpamaan Matius itu, upah yang sama bukan ketidakadilan melainkan pemberian dan kemurahan hati pemilik kebun yang ingin agar makin banyak orang menikmati keberuntungan.
Kerasulan zaman ini macam-macam wujudnya, termasuk yang sering disebut karya pelopor, misalnya pelayanan kaum pengungsi, pendampingan buruh harian, penampungan dan rehabilitasi bekas penyandang narkoba, gelandangan, dan anak jalanan.
Berbagai bentuk kerasulan baru yang dikenal sekarang pada dasarnya bertujuan mengentaskan orang-orang yang hidup dalam kondisi kurang layak akibat macam-macam ketakberuntungan. Keadaan ini membuat mereka kurang dapat ikut menikmati kemurahan Tuhan.
Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa para pelayan pastoral yang terjun dalam kerasulan ini diajak ikut menyediakan tempat terhormat sebanyak-banyaknya bagi orang-orang yang mereka layani.
Kerasulan pelopor memiliki banyak kemungkinan untuk mewujudkannya.
Sumber kebahagiaan
Dalam bagian kedua, yakni Luk 14:12-14, ada pengajaran yang melengkapi bagian pertama tadi. Jika murid-murid diimbau agar ikut menyediakan tempat terhormat sebanyak-banyaknya sehingga banyak orang dapat menikmatinya, lalu manakah karya yang paling membawa ke tujuan itu?
Jawabannya sederhana: “undanglah orang yang tak bakal mampu membalas undanganmu, yakni orang miskin, cacat, lumpuh, dan buta.”
Kebaikan yang tak langsung bisa berbalas ini dikatakan menjadi sumber kebahagiaan bagi yang mengadakan pesta. Dianjurkan agar orang mencari balasan yang benar-benar patut diharapkan, yaitu balasan yang diberikan pada hari terakhir oleh Yang Maha Kuasa sendiri.
Dengan demikian diajarkan agar orang menjalankan kebaikan kepada kaum lemah dengan dorongan yang amat manusiawi tetapi sekaligus juga amat religius.
Manusiawi, karena balasan tetap diharapkan dan apa buruknya mengharapkan balasan yang setimpal? Tetapi dorongan itu juga bersifat religius karena balasan yang bakal diperoleh itu baru sungguh didapat pada hari kebangkitan orang-orang benar kelak.
Inilah pengajaran iman bagi mereka yang bekerja bagi orang yang tak bisa membalas budi dengan cara yang sama di dunia ini.
Menjelang zaman kelahiran Yesus, semakin muncul gambaran bahwa pada akhir zaman orang-orang baik akan dibangkitkan dan mendapat hidup kekal sebagai balasan setimpal seperti tampak dalam Dan 12:2. Tapi ada juga orang-orang yang akan jatuh ke dalam aib abadi.
Bagaimana menghindari malapetaka ini?
Dalam warta Injili, ada kesadaran bahwa Yang Mahakuasa tidak tinggal diam. Ia mengutus utusan-Nya menyampaikan Kabar Gembira bahwa Kerajaan Allah sudah datang, dalam diri utusan itu sendiri, yakni Yesus Kristus.
Dengan mengikuti-Nya, orang akan tertuntun masuk ke kelompok mereka yang nanti pada akhir zaman akan dibangkitkan dan mendapat hidup kekal. Mereka yang percaya kepada Kabar Gembira ini diminta agar berani mengikutsertakan orang-orang yang biasanya dianggap tidak masuk hitungan: orang miskin, orang cacat, orang lumpuh, dan buta.
Datang mendekat ke Kerajaan Allah berarti mulai memperoleh kembali penglihatan, berbagi kekayaan Tuhan, dapat berjalan kembali.
Kemuliaan Tuhan makin tampak nyata bila Ia makin dekat pada manusia, bukan bila Dia jauh dan tak terjangkau. Pelayan pastoral yang peka akan dapat banyak membuat-Nya semakin dekat kepada kemanusiaan.
Kaum religius dapat berbuat banyak. Sebagai orang yang mengajak sesama bergembira datang ke perjamuan dalam Kerajaan Allah, seorang religius juga boleh percaya bahwa kegiatan ini dapat menjadi jaminan bagi kebahagiaan dirinya sendiri.
Untuk itu tak perlu lagi ragu-ragu mengikutsertakan orang-orang yang umumnya dianggap tak pantas, yang tak bisa membalas, yang tidak bisa datang sendiri, tetapi membutuhkan dan minta dituntun.
Mereka itu disayangi Tuhan, dan bila kita mempertemukan mereka kembali dengan-Nya, dapatkah Dia melupakan kebaikan ini?
Salam hangat,
A. Gianto