
SAGKI V Tahun 2025 Hari Ketiga: Gereja, Ekonomi, dan Demokrasi dalam Irama Sinodalitas
Suasana ruang sidang di kawasan Ancol, Jakarta Utara, terasa hangat dan reflektif pada hari ketiga Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) V. Di hadapan 374 peserta dari berbagai keuskupan, tiga narasumber lintas bidang berbagi pandangan tentang bagaimana Gereja Katolik Indonesia menapaki perjalanan bersama bangsa di tengah perubahan sosial dan politik yang dinamis.
Mereka adalah:
- Mgr. Adrianus Sunarko OFM – Uskup Keuskupan Pangkalpinang di Kepulauan Bangka-Belitung.
- Dr. Agustinus “Ico” Prasetyantoko – ekonom dan mantan Rektor Unika Atma Jaya Jakarta.
- Yunarto Wijaya – Direktur Eksekutif Carta Politika.
Ketiganya mengajak Gereja untuk meneguhkan peran profetis di tengah masyarakat – melalui jalan sinodalitas, keadilan sosial, dan rasionalitas demokrasi.
Gereja Sinodal: komunio dan misi
Dalam paparannya, Mgr. Adrianus Sunarko OFM menegaskan bahwa Gereja Sinodal bukan sekadar sebuah konsep kelembagaan, melainkan cara hidup umat Allah yang berjalan bersama dalam semangat komunio dan misi. “Sinodalitas berarti kita mau mendengarkan satu sama lain, terbuka terhadap Roh Kudus, dan berani hidup secara transparan dan akuntabel,” ujarnya.
Dengan cara itu, Gereja dapat menjadi suara kenabian yang menghadirkan harapan dan rekonsiliasi di tengah masyarakat yang terpecah.
Keadilan sosial sebagai dasar kesejahteraan
Sementara itu, Dr. Ico Prasetyantokomenyoroti peran Gereja dalam membangun etika publik yang menopang kesejahteraan bersama. Mengutip ekonom Amartya Sen, ia mengingatkan, “Tidak ada kemakmuran tanpa keadilan.”
Menurutnya, keadilan sosial bukan hanya urusan ekonomi, tetapi juga moral dan spiritual. Gereja dipanggil untuk membangun solidaritas sosial melalui pendidikan, penguatan karakter, dan pendampingan bagi kelompok rentan. “Di sinilah Gereja bisa menumbuhkan tanggung jawab bersama untuk kesejahteraan semua orang,” katanya.
Menjaga kewarasan demokrasi
Dari ranah politik, Yunarto Wijaya mengingatkan pentingnya rasionalitas dan kewarasan dalam demokrasi yang kian diuji oleh disinformasi dan polarisasi. “Partisipasi warga adalah kekuatan moral bangsa,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa generasi muda harus dibekali pendidikan kritis dan etika politik agar mampu menjaga nilai keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas dalam kehidupan publik.
Bagi Yunarto, Gereja dapat menjadi ruang moral yang menjaga nalar publik tetap sehat dan nurani sosial tetap peka.
Hadir dan tetap berguna bagi masyarakat
Sesi kedua SAGKI hari itu menampilkan empat sosok inspiratif dari berbagai latar:
- Prof. Tri Budi Raharjo, pakar gerontologi.
- Sunarman Sukamto, seorang difabel yang aktif dalam pemberdayaan komunitas.
- Monika Bataona dari Orang Muda Katolik (OMK).
- Wima Chrisyanti, aktivis lingkungan.
Dalam sesi yang dimoderatori Romo Yus Ardianto Pr dari Keuskupan Agung Jakarta, mereka berbagi kisah tentang bagaimana setiap pribadi – dengan segala keterbatasan dan peluang- dapat menjadi tanda kehadiran Allah di tengah dunia.
Prof. Tri Budi menekankan pentingnya perhatian Gereja terhadap kaum lansia. “Gereja bisa menjadi tempat yang ramah usia, di mana para lansia dihargai dan diberi ruang untuk terus berkontribusi,” ujarnya.
Sunarman dengan semangat dan kemandirian yang luar biasa, mendorong agar penyandang disabilitas tidak hanya diterima, tetapi juga dipercaya dan dilibatkan. “Kami ingin bukan sekadar dikasihani, tapi diberdayakan,” tegasnya.
Moderator Romo Yus mencatat bahwa para tokoh ini justru banyak berkiprah di tengah masyarakat luas dibanding di lingkungan gereja.
Hal itu diakui Wima yang menilai bahwa kesaksian iman tidak selalu harus diwujudkan lewat aktivitas internal Gereja. “Dengan hadir di tengah dunia yang kompleks, kita justru membawa terang Injil ke ruang-ruang yang lebih luas,” ujarnya.

Menabur harapan di tengah bangsa
Dari seluruh refleksi dan kesaksian yang muncul, satu pesan mengemuka: Gereja Katolik Indonesia dipanggil untuk berjalan bersama bangsa, membaca tanda-tanda zaman, dan menabur harapan bagi masyarakat yang tengah mencari arah dan makna.
Melalui SAGKI 2025, Gereja menegaskan kembali komitmennya untuk menghadirkan wajah Allah yang penuh belas kasih -m sekaligus memperjuangkan kehidupan sosial yang lebih adil, terbuka, dan berkeadaban.
“Gereja harus hadir di tengah bangsa, menjadi tanda kasih Allah yang membebaskan dan menumbuhkan kehidupan,” ungkap Mgr. Kornelius SipayungOFMCap, Uskup Agung Medan & Anggota Presidium KWI dalam sesi jumpa pers Rabu 5 November 2025.
PS: Sumber KWI








































