Konferensi Para Uskup, KWI, dan SAGKI (3)

0
155 views
Ilustrasi: Pembukaan SAGKI V tanggal 3 November 2025 di Jakarta Utara. (Titch TV/ Mathias Hariyadi)

DALAM konteks Gereja Katolik di Indonesia, Konferensi Para Uskup dikenal dengan sebutan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

KWI berperan sebagai perhimpunan tetap para Uskup yang, menurut kan. 447–455, bertugas merumuskan dan mengoordinasikan arah pastoral nasional.

Dalam kerangka tersebut, Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) bukanlah lembaga juridis tersendiri, melainkan forum sinodal yang melibatkan para Uskup bersama imam, hidup bakti, dan umat awam untuk mendengarkan, menilai, dan merumuskan kepekaan pastoral Gereja terhadap tanda-tanda zaman.

Keputusan-keputusan SAGKI bersifat konsultatif dan memperoleh daya normatifnya hanya jika kemudian ditegaskan dan ditetapkan oleh KWI sesuai ketentuan kanonik. SAGKI berfungsi sebagai proses penegasan bersama umat Allah, sedangkan KWI menjadi otoritas yang mengesahkan dan mengarahkan langkah pastoral tersebut.

Tulisan ini akan menguraikan secara sistematis hubungan tersebut, dengan menyoroti dasar yuridis-kanonis Konferensi Para Uskup serta posisi dan makna SAGKI dalam konteks Gereja Katolik Indonesia.

Cikal bakal Konferensi Para Uskup

Hampir 150 tahun yang lalu, para Uskup di Belgia mulai mengadakan pertemuan secara teratur di kediaman Uskup Agung di Mechlin. Tanpa banyak seremoni, dari sinilah kemudian berkembang apa yang kita kenal sebagai konferensi para uskup.

Dalam beberapa tahun, langkah yang sama diikuti oleh para Uskup di Jerman, Bavaria, Austria, Italia, dan Irlandia. Sering kali dengan dorongan langsung dari Paus, pertemuan nasional para Uskup ini menjadi semakin lazim pada akhir abad ke-19.

Keadaan zaman yang berubah -revolusi, guncangan ekonomi, serta menguatnya sekularisme liberal- membawa tantangan-tantangan baru. Para Uskup memandang perlunya menemukan jawaban dan kebijakan pastoral bersama. Pertemuan-pertemuan tersebut menjadi ruang yang berharga untuk saling bertukar informasi, pengalaman, dan penilaian pastoral.

Karena pengalaman nyata dan berbuah dari lembaga yang tumbuh secara organis ini, sungguh tidak mengherankan bahwa Para Bapa Konsili Vatikan II kemudian memberikan dasar hukum dan martabat resmi bagi konferensi para uskup.

Konsili menyatakan: “Pada masa sekarang, para Uskup sering kali tidak dapat melaksanakan tugas mereka dengan layak dan berdaya guna, bila tidak bekerja setiap hari dengan lebih erat dan harmonis bersama para Uskup lainnya. Konferensi para Uskup, yang telah berdiri di banyak negara, telah menunjukkan buah-buah yang sangat bermanfaat bagi kerasulan Gereja.

Maka, Konsili yang amat suci ini memandang sungguh tepat bahwa para Uskup yang berada dalam satu negara atau wilayah membentuk suatu kesatuan dan mengadakan pertemuan pada waktu-waktu tertentu. Dengan demikian, setelah kebijaksanaan dan pengalaman-saling dipertukarkan, akan tumbuh kesatuan tenaga rohani yang suci dalam pelayanan bagi kebaikan Gereja-gereja.” (CD. 37).

Meskipun banyak pihak sepakat bahwa konferensi para uskup membawa manfaat besar bagi kehidupan pastoral Gereja, tetap ada perbedaan pendapat mengenai beberapa hal penting, terutama mengenai kedudukan teologisnya. Idealnya, suatu ketentuan hukum muncul dari pemahaman teologis yang matang. Namun, uraian kanonik bukanlah tempat untuk membahas secara mendalam perdebatan mengenai dasar teologis konferensi, ruang lingkup kewenangannya dalam mengajar, atau persoalan doktrinal yang lebih teknis.

Yang perlu dicatat adalah bahwa dalam pembentukan kanon-kanon tentang konferensi para uskup terdapat dua kekhawatiran utama:

  • Pertama, kekhawatiran bahwa konferensi dapat berkembang menjadi pusat kekuatan nasional yang melemahkan otoritas Paus atas Gereja universal;
  • Kedua, ketakutan bahwa konferensi dapat membatasi kewenangan asli setiap uskup di keuskupannya.

Kedua kekhawatiran inilah yang memengaruhi cara hukum mengatur lembaga ini.

Tiga belas kanon yang membahas tentang Konferensi Para Uskup tidak mudah diringkas dalam sebuah kerangka sederhana.

  • Kanon 447 memberikan definisi deskriptif mengenai konferensi para uskup. Kanon 449 menjelaskan bagaimana konferensi itu terbentuk.
  • Kanon 448 dan 450 membahas komposisi konferensi, baik dari segi wilayah maupun keanggotaannya.
  • Kanon 451 mengharuskan setiap konferensi menyusun statuta sendiri serta memberikan pedoman umum mengenai isinya.
  • Kanon 452, 457, dan 458 menyangkut pejabat-pejabat yang wajib dimiliki setiap konferensi.
  • Kanon 453 hingga 456 mengatur sidang pleno konferensi, termasuk frekuensi minimal penyelenggaraannya, hak suara bagi anggota tertentu, batas kewenangan legislatif konferensi, serta tindak lanjut setelah suatu keputusan diambil.
  • Kanon 459 membahas implikasi interaksi antar konferensi.
  • Dan secara khusus kita hanya akan membahas dua kanon yakni kan. 447 dan kan. 455. Sumber utama bagi kanon-kanon ini adalah Dekrit Christus Dominus nomor 38.

Defenisi Konferensi Para Uskup (Kan.447)

Kanon 447 berasal hampir secara harafiah dari Christus Dominus 38, 1:

“Konferensi para Uskup, suatu lembaga tetap, ialah himpunan para Uskup suatu negara atau wilayah tertentu, yang melaksanakan pelbagai tugas pastoral bersama- sama untuk kaum beriman kristiani dari wilayah itu, untuk meningkatkan kesejahteraan yang diberikan Gereja kepada manusia, terutama lewat bentuk-bentuk dan cara-cara kerasulan yang disesuaikan dengan keadaan waktu dan tempat, menurut norma hukum”.

Namun, dalam beberapa hal, kanon ini sedikit memodifikasi teks konsili tersebut.

Pertama, berbeda dengan Christus Dominus:

  • Kanon 447 menggolongkan konferensi para uskup sebagai suatu lembaga yang bersifat permanen, tetap.
  • Kanon 449 §2 menyatakan bahwa konferensi yang didirikan secara sah memiliki karakter yuridis ipso iure, dan setiap badan hukum bersifat tetap menurut hakikatnya (bdk. kan. 120 §1).
  • Selama proses revisi, muncul pertanyaan: bagaimana sebuah lembaga yang hanya “ada” ketika para anggotanya bersidang dapat disebut permanen?
  • Sekretaris komisi perumus menjawab bahwa konferensi bersifat permanen karena memiliki sekretariat tetap dan komisi-komisi yang bekerja secara berkelanjutan.

Kedua, berbeda dengan Christus Dominus:

  • Kanon 447 menyebutkan “umat beriman Kristen di wilayah mereka” sebagai penerima pelayanan pastoral para uskup.
  • Kanon 383 §3, bagaimanapun, mengarahkan uskup diosesan untuk bersikap penuh humanitas dan kasih terhadap saudara-saudari yang tidak berada dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik.
  • Kanon 383 §4 juga menaruh perhatian penuh kasih kepada mereka yang belum dibaptis dan tinggal di wilayah keuskupannya. Dengan demikian, setidaknya secara tidak langsung, mereka yang bukan Katolik termasuk dalam cakupan perhatian pastoral seorang Uskup.
  • Maka sudah jelas bahwa kanon 447 tidak bermaksud meniadakan hak dan kewajiban konferensi untuk memperhatikan mereka juga.

Ketiga, Kanon 447 menambahkan frasa ad normam iuris — “sesuai dengan norma hukum.” Ungkapan ini mungkin tampak sekadar penegasan umum bahwa setiap lembaga hukum bertindak menurut hukum. Namun, frasa ini juga dapat mencerminkan kehati-hatian, agar konferensi tidak dianggap memiliki kewenangan pemerintahan yang terlalu luas, terutama dalam bidang legislatif.

Kanon 447 ini menghadirkan sebuah definisi panjang yang padat makna. Ia menyatakan apa itu konferensi: suatu perhimpunan tetap para uskup dari wilayah tertentu. Ia menjelaskan apa yang mereka lakukan: bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan umat beriman mereka. Ia menyebutkan alasan mereka melakukannya: bukan hanya untuk “kebaikan bersama” seperti yang dikejar pemerintahan duniawi, tetapi demi kebaikan yang lebih besar – yaitu keselamatan jiwa-jiwa (bdk. kan. 1752)— yang ditawarkan Gereja kepada semua orang. Ia juga menunjukkan cara yang dipilih untuk mencapai tujuan itu: menyesuaikan kegiatan pastoral dengan situasi zaman dan tempat yang terus berubah.

Namun, kanon 447 tidak menjelaskan sifat atau batas kewenangan legislatif lembaga tersebut. Hal ini dibahas lebih lanjut dalam Kanon 455.

Kewenangan Konferensi Para Uskup (Kan. 455)

Sumber kanon ini adalah Christus Dominus 38, 4: “Keputusan-keputusan konferensi para uskup… memiliki kekuatan yang mengikat secara yuridis hanya dalam hal-hal yang ditentukan oleh hukum umum atau oleh mandat khusus dari Takhta Apostolik, baik yang diberikan secara spontan maupun sebagai jawaban atas permohonan konferensi itu sendiri.”

Menurut Kanon 29, “Dekrit umum… adalah hukum dalam arti yang sesungguhnya.” Karena itu, Kanon 455 §1 berfungsi sebagai aturan pengesahan (rule of recognition) yang menetapkan batas-batas kewenangan legislatif konferensi para uskup. Kanon ini juga merupakan bentuk hukum invalidating (bdk. kan. 10): jika konferensi hanya memiliki kewenangan dalam kasus-kasus tertentu (tantum modo potest in causis), maka setiap upaya untuk membuat legislasi di luar batas-batas tersebut menjadi tidak sah.

Meskipun beberapa (atau bahkan banyak) Kanonis dan Eklesiolog mungkin mengharapkan sebaliknya, baik konsili maupun kodifikasi hukum tidak membayangkan konferensi para uskup sebagai lembaga yang terutama bersifat legislatif. Sebaliknya, sebuah konsili partikular “memiliki kekuasaan kepemimpinan, terutama kekuasaan legislatif” (kan. 445). Otoritas legislatif konsili partikular sudah melekat, kecuali jika ia bertindak bertentangan dengan hukum universal atau jika Takhta Suci menolak memberikan recognitio yang diperlukan (kan. 446).

Konferensi para uskup, sebaliknya, tidak dapat mengusulkan atau memberlakukan hukum, kecuali apabila hal tersebut diwajibkan oleh suatu ketentuan dalam hukum universal, diizinkan oleh hukum universal, atau kecuali Takhta Suci telah memberikan persetujuan sebelumnya. Dengan demikian, kewenangan legislatif konferensi jauh lebih dibatasi dibandingkan dengan konsili partikular.

Meskipun kewenangan legislatif konferensi para uskup terbatas, kewenangan itu tetaplah nyata. Menurut kanon 131 §1, kuasa kepemimpinan yang dilekatkan oleh hukum pada suatu jabatan adalah kuasa biasa (potestas ordinaria/ordinary power). Dengan demikian, setiap kali konferensi para uskup membuat legislasi berdasarkan ketentuan hukum universal, ia sedang menjalankan kuasa biasa yang melekat pada lembaga/jabatannya sendiri.

Namun, apabila Takhta Suci memberi wewenang kepada konferensi untuk menetapkan hukum tertentu, maka konferensi bertindak dengan menggunakan kuasa delegatif (potestas delegata) yang berasal dari Paus.

Buku I KHK membedakan antara dekrit umum (kan. 29) dan dekrit umum eksekutif, yaitu dekrit yang “lebih menentukan tata cara pelaksanaan hukum atau mendorong ketaatan terhadap hukum tersebut” (kan. 31 §1).

Berdasarkan pembedaan ini, beberapa penulis berpendapat bahwa kanon 455 tidak membatasi kewenangan konferensi untuk mengeluarkan dekrit umum eksekutorial. Namun, pada 5 Juli 1985, Komisi Kepausan untuk Interpretasi Autentik atas Kodeks Hukum Kanonik memutuskan bahwa: “Istilah general decrees yang digunakan dalam kanon 455 §1 juga mencakup dekret umum eksekutif yang dibahas dalam kanon 31–33.” Dengan demikian, kewenangan konferensi dalam mengeluarkan dekret umum eksekutorial tunduk pada batasan yang sama dengan kewenangan legislatifnya.

Dan kedua kanon yakni Kan. 447 dan Kan. 455, menjadi pintu masuk untuk memahami secara jelas relasi antara KWI dan SAGKI.

  • Kanon 447 menjelaskan hakikat KWI sebagai perhimpunan tetap para Uskup yang secara kolegial mengarahkan karya pastoral Gereja di tingkat nasional;
  • Sedangkan Kanon 455 menetapkan tata cara KWI dalam menetapkan keputusan yang memiliki daya mengikat, termasuk syarat bahwa keputusan tersebut harus mencapai suara deliberatif para Uskup dan memperoleh recognitio dari Takhta Suci bila hendak diberlakukan sebagai norma umum. SAGKI memberi suara bagi seluruh umat Allah, dan KWI memberikan bentuk dan legitimasi gerejawi atas suara tersebut.

Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI)

Pada awal bulan November 2025 ini, Gereja Katolik di Indonesia kembali menyelenggarakan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI), sebuah peristiwa pastoral nasional yang melibatkan para Uskup, imam, kaum hidup bakti, dan umat beriman awam dalam proses permenungan dan discernment bersama.

SAGKI bukanlah lembaga yang berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian integral dari kehidupan dan gerak pastoral Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

SAGKI diselenggarakan atas prakarsa dan dalam kepemimpinan para Uskup anggota KWI, sebagai ruang untuk mendengarkan, berdialog, dan membaca tanda-tanda zaman, agar Gereja di Indonesia dapat merumuskan arah pastoral yang relevan dan setia pada misi Kristus.

Sudah dikatakan pula dibagian awal bahwa Konferensi Para Uskup sebagai lembaga yang memiliki dasar yuridis jelas dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK), terutama dalam Kanon 447–459.

Dalam konteks Indonesia, konferensi para uskup ini disebut dengan nama Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Konferensi Waligereja Indonesia adalah subjek gerejawi yang sah, yang bertugas mengarahkan, mengkoordinasikan, dan menyatukan kebijakan pastoral nasional seluruh keuskupan di Indonesia.

Lalu tentu ada yang bertanya: bagaimana dengan tentang SAGKI (Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia). SAGKI bukanlah lembaga yang disebut atau didefinisikan dalam KHK.

  • SAGKI tidak memiliki status hukum tersendiri seperti sinode diosesan (kan. 460–468) atau konsili partikular (kan. 439–446).
  • SAGKI adalah bentuk pastoral atau konsultatif yang diadakan oleh dan dalam lingkup KWI.
  • SAGKI tidak mengeluarkan hukum atau norma yang mengikat seperti konferensi para uskup dalam bentuk legislatif, tetapi menghasilkan arah pastoral, pedoman misi, atau prioritas gerejawi yang kemudian dapat diterjemahkan menjadi norma pastoral oleh KWI melalui mekanisme kanon 455.

Tujuan SAGKI adalah menyediakan ruang persekutuan dan dialog rohani antara para uskup, imam, hidup bakti, dan umat beriman awam, untuk mendengarkan pengalaman Gereja, membaca tanda-tanda zaman, dan merumuskan arah pastoral nasional yang relevan bagi kehidupan Gereja di Indonesia.

SAGKI adalah wujud nyata dari Gereja yang sinodal, di mana seluruh umat Allah berjalan bersama dalam tanggungjawab pengutusan. Dengan lain kata, SAGKI dapat dipahami sebagai proses sensus fidelium (mendengarkan suara umat Allah) yang kemudian membantu KWI menjalankan tugas pastoral kolektifnya sebagaimana digambarkan dalam Kanon 447: “…para Uskup dari satu wilayah bersama-sama melaksanakan tugas pastoral untuk memajukan kesejahteraan umat beriman.”

Dalam praktiknya: SAGKI menghasilkan visi pastoral dan KWI menerjemahkan visi tersebut ke dalam keputusan dan norma.

Dengan demikian, SAGKI bukan “otoritas gerejawi baru”, tetapi ruang dimana KWI memperluas proses discernment dan prioritas pastoral bersama seluruh umat Allah.

SAGKI memang bukan lembaga yang diatur secara eksplisit dalam Kitab Hukum Kanonik, namun ia merupakan bentuk konkret sinodalitas dan discernment pastoral Gereja Indonesia yang dilaksanakan dalam kerangka Konferensi Waligereja Indonesia.

Hasil-hasil SAGKI memperoleh daya implementatif melalui tindakan normatif atau pedoman pastoral yang kemudian ditetapkan oleh KWI sesuai ketentuan Kan. 447 dan Kan. 455.

Referensi:

  • Laura De Gregorio, Il potere normativo delle conferenze episcopali. Il can. 455 Cic alla luce della vicenda italiana, Stato, Chiese e pluralismo confessionale, Rivista telematica, 27 febbraio 2012.
  • New Commentary On The Code Of Canon Law Commissioned By The Canon Law Society Of America Edited By John P. Beal, James A. Coriden, Thomas J. Green, Paulist Press, New York, N.Y./Mahwah, N.J., 2001.
  • Uccella Fulvio, Le Conferenze Episcopali In Diritto Canonico, Università Di Napoli Federico Ii – Facoltà Giuridica, 1973.

Doddy Sasi CMF

Baca juga: Makna logo resmi SAGKI V 3-7 November 2025 (2)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here