Kamis, 23 Oktober 2025
Mzm 1:1-4.6
Flp 3:8-9
Lukas 12:49-53
TRANSFORMASI hidup karena menyambut Roh Allah tidak pernah terjadi begitu saja.
Roh Allah bekerja di dalam hati yang mau berubah, di hati yang terbuka dan rela meninggalkan cara hidup lama.
Pertobatan sejati menuntut keberanian untuk keluar dari zona nyaman, dari kebiasaan yang sudah mengikat, dari dosa yang terasa “biasa”, dari lingkungan yang mungkin tidak mendukung perubahan itu.
Roh Allah selalu mengundang manusia untuk hidup baru, hidup yang dihidupi oleh kasih, kejujuran, dan kesetiaan.
Namun, setiap pertobatan memiliki risikonya. Ketika seseorang mulai berubah, dunia di sekitarnya tidak selalu senang.
Ada yang mencibir, ada yang menolak, bahkan ada yang mencoba menariknya kembali ke masa lalu. Namun, di situlah nilai sejati dari pertobatan diuji, apakah perubahan itu sungguh karena kasih kepada Allah, atau sekadar keinginan sementara.
Hidup dalam Roh Allah berarti berani melangkah keluar dari kegelapan menuju terang, meski harus kehilangan kenyamanan atau penerimaan orang lain.
Tapi justru di sanalah kebahagiaan sejati ditemukan, ketika seseorang berani hidup sesuai kehendak Allah dan bukan lagi menurut keinginan dunia.
Dalam bacaan injil hari ini kita dengar demikian, “Aku datang melemparkan api ke bumi, dan betapa Kudambakan agar api itu selalu menyala.”
Api yang dimaksud Yesus bukanlah api yang membakar atau menghancurkan, melainkan api kasih dan semangat ilahi yang menghidupkan dan memurnikan hati manusia.
Api itu adalah Roh Kudus yang menyalakan cinta kepada Allah dan keberanian untuk hidup dalam kebenaran.
Saat api ini menyala, hati manusia tidak lagi dingin, tidak lagi acuh, dan tidak lagi mencari kenyamanan duniawi.
Ia menjadi berani untuk mencintai, untuk berkorban, dan untuk membawa terang di tengah kegelapan dunia.
Yesus tahu bahwa api itu tidak selalu diterima. Banyak orang lebih suka hidup dalam aman dan suam-suam kuku. Api Roh Kudus menuntut Perubahan, dan perubahan itu sering menyakitkan.
Perubahan iru, membakar ego, menghanguskan kesombongan, dan memurnikan hati dari dosa. Tetapi tanpa api ini, iman menjadi kering dan pelayanan kehilangan daya hidupnya.
Maka, Yesus tidak hanya ingin api itu dinyalakan, Tuhan mendambakan agar api itu tetap menyala. Ia rindu agar umat-Nya memiliki hati yang berkobar, bukan hanya hangat sesaat, melainkan menyala terus dalam cinta dan kesetiaan kepada-Nya.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah api kasih dan iman dalam diriku masih menyala, atau sudah mulai padam oleh rutinitas dan rasa takut?