Berselancar dalam Badai

0
Ilustrasi: Konflik antara suami-isteri dalam keluarga muda. (Ist)

Jumat, 24 Mei 2024

Yak. 5:9-12;
Mzm. 103:1-2,3-4,8-9,11-12;
Mrk. 10:1-12

SIAPA pun orangnya tidak ada yang mau pernikahan yang suci harus terancam oleh persoalan dan konflik, apalagi sampai menyebabkan pertengkaran yang luar biasa. Sama sekali tidak ada yang menginginkan pernikahan yang kokoh hancur berantakan, sehingga anak-anak tidak lagi dapat bersama ayahnya karena perceraian. Sama sekali tidak ada yang mendambakan pernikahan yang suci harus berwarna kelam karena tak ada tempat lagi untuk bersatu.

Tetapi angin tidak selalu bertiup ke arah yang kita inginkan. Laut yang tenang kadang juga berombak keras, sehingga kapal harus terhempas dan perahu bisa terbalik. Kalau bukan pelaut yang tangguh, perahu terbalik tak bisa sampai ke tempatnya berlabuh. Kehidupan perkawinan kadang harus menghadapi benturan keras.

Terkadang benturan keras itu bernama keadaan, contohnya kesulitan ekonomi yang menghimpit. Terkadang benturan keras itu bernama tekanan sosial, misalnya keinginan saudara-saudara dekat atau jauh untuk menentukan warna perkawinan kita sesuai dengan apa yang mereka anggap baik.

“Jika saja orangtuaku dan saudaraku tidak terlalu ikut campur pernikahan kami, rumahtangga kami tidak sampai seperti saat ini,” kata seorang ibu.

“Sejak menikah kami tinggal bersama orangtua, karena suamiku kerja di luar kota. Awalnya semuanya baik-baik saja, karena orangtuaku memeerlukan perawatan khusus hingga aku bisa membantunya.

Namun kemudian orang tuaku terlalu ikut campur tangan rumahtanggaku, hingga suamiku benar-benar merasa sakit hati karena ayahku khususnya suka menentukan apa yang harus kami lakukan. Suamiku jarang pulang dan minta aku pindah ke luar kota bersama dia, namun orangtuaku tidak mengizinkannya. Dengan alasan keadaan ekonomi kami belum kuat.

Saya bingung karena satu pihak orangtuaku harus dibantu tetapi suamiku juga perlu kehadiranku,” katanya.

Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, ”Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.

Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”

Yesus menjelaskan tentang cita-cita Allah adalah membuat laki-laki dan perempuan bersatu. Manfaat dari kebersatuan itu diikat oleh suatu persekutuan yang tak terpisahkan, saling berbagi, mengisi, menghormati, menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing, dan berlangsung seumur hidup. Sebab, laki-laki maupun perempuan telah meninggalkan orangtuanya.

Tak ada lagi yang secara intim mendukung satu dengan lain, kecuali dari pasangan mereka sendiri. Hidup bersatu dengan penuh cinta bukan sekadar perintah dari Allah, namun lebih mendasar karena kecintaan Allah kepada manusia. Ia ingin menjadikan manusia sebagai pribadi yang mampu mencintai dan dicintai. Bukan saling menyakiti satu sama lain.

Bagaimana dengan diriku? Apakah aku setia dengan pasanganku?

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version