Home BERITA Damai Kita Bersama Berkat Kardinal Ayuso, Gus Yahya Staquf, dan Pak Sudibya...

Damai Kita Bersama Berkat Kardinal Ayuso, Gus Yahya Staquf, dan Pak Sudibya Markus (2)

0
Bersama Ketua PBNU KH Yahya Cholil Staquf, dr. Sudibya Markus, Kardinal Ayuso Guixot menerima penghargaan doktor honoris causa dari Universitas Islam Negeri "Sunan Kalijaga" Yogyakarta, 13 Februari 2023. (Ist)

TAHUN-tahun terakhir, muncul kesan di masyarakat bahwa agama menjadi sumber berbagai konflik dan perpecahan.

Samuel Huntington, ahli politik dari Amerika, dalam bukunya Clash of Civilization yang terbit tahun 1993, berpendapat bahwa faktor utama yang akan mempengaruhi konflik antar perdaban di dunia pasca Perang Dingin adalah identitas budaya dan agama.

Citra agama yang demikian tampaknya mendapat pembenarannya dalam aneka macam konflik dan permasalahan yang memperumit hidup manusia dan memperuncing permusuhan. Namun, pendapat ini terlalu berat sebelah.

Benar bahwa di dalam relasi antar manusia, identitas (baik budaya maupun agama) acapkali menjadi sumber pemicu. Namun, klaim ini seakan mengabaikan begitu banyak kontribusi agama dalam membangun peradaban manusia yang penuh juga dipenuhi dengan damai dan persaudaraan.

Kardinal Ayuso Guixot dari Vatikan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Senin, 13 Februari 2023, Universitas Islam Negeri “Sunan Kalijaga” Yogyakarta menganugerahi gelar doktor honoris causa kepada tiga tokoh agama.

Peristiwa ini unik, mengingat ketiganya dipilih karena kontribusi mereka dalam mendorong komunitas agamanya untuk lebih aktif terlibat di dalam membangun peradaban yang penuh damai.

Poster pemberian gelar doktor honoris causa kepada Ketua PBNU KH Yahya Cholil Staquf, Kardinal Ayuso Guixot, dan Sudibyo Markus dan PP Muhammadiyah. (UIN Sunan Kalijaga)

Gelar doktor honoris causa dianugerahkan kepada:

  • Kardinal Miguel Ángel Ayuso Guixot, M.C.C.J., Prefek Dikasteri Dialog Antarumat Beragama Gereja Katolik;
  • K.H. Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama;
  • dr. Sudibya Markus, Dewan Pakar Hublu PP Muhammadiyah.

Salah satu dasar dari penganugerahan ini adalah penghargaan yang setinggi-tingginya atas inisiatif bersama Paus Fransiskus dari Gereja Katolik dengan Imam Besar Al-Azhar Ahmed el Tayeb yang pada 4 Februari 2019 bersama-sama menandatangani Dokumen Persaudaraan Insani.

Dokumen ini bicara tentang usaha bersama melawan berbagai macam penggunaan kekerasan dan diskriminasi antar kelompok (salah satunya agama) demi berpihak kepada mereka yang tersingkirkan. Dokumen ini mendorong banyak pihak untuk memikirkan bersama masa depan kemanusiaan.

Sebagai representasi Gereja Katolik dan Islam Suni dunia, penandatanganan dokumen ini memiliki makna lebih terutama dalam membangun komitmen bersama untuk membangun persaudaraan.  

Baca juga: Di Balik Honoris Causa Kardinal Ayuso (1)

Menuai damai bagi semua

Dalam pidato ilmiahnya, KH Yahya Cholil Staquf mengungkapkan bahwa dalam realita, kalau terjadi perang antar agama, tidak akan ada kelompok yang menang atau pun kalah, karena yang akan terjadi adalah kehancuran semua orang.

Maka, dari pembelajarannya di bawah pendampingan Gus Dur, ia sadar bahwa tidak ada jalan yang lebih baik untuk memperbaiki situasi Islam lebih dari perjuangan untuk memperbaiki situasi kemanusiaan.

Karena kalau kemanusiaan menang, maka semua orang menang.

Ketika kemanusiaan menang, Islam menang, kekristenan menang, Hinduisme menang, Budhisme menang, Shiah menang, Sunni menang, setiap orang menang.

Dalam pandangan yang demikian, ia sampai pada keyakinan untuk terus berjuang maju dalam perjuangan demi kemanusiaan ini.

dr. Sudibya Markus juga merefleksikan hal yang senada tentang Islam. Kita sadar bahwa untuk mempromosikan kemanusiaan global bukanlah hal yang mudah, karena sejarah berdarah di abad-abad yang lalu.

Namun, kalau kita merefleksikan perjumpaan antar Agama-agama Abrahamik, terutama dalam Perang Salib, rupanya konflik itu adalah bukan semata-mata perang suci antar agama.

Benar bahwa ada ingatan buruk kolektif tentang perang antar agama terutama karena diajarkan demikian di sekolah-sekolah dasar, tetapi dalam banyak terbukti bahwa perang yang terjadi adalah perang antar peradaban, bukan antar agama. Masyarakat kita saat ini perlu membuat sebuah visi baru tentang hidup bersama.

Dokumen Persaudaraan Insani menjadi salah satu momen perjumpaan yang bisa menjadi gambaran baru tentang hidup bersama.

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta beri anugerah gelar doktor honoris causa kepada Kardinal Ayuso dari Vatikan, Ketua PBNU KH Yahya Cholil Staquf, dan dr. Sudibya Markus. (Ist)

Kardinal Miguel Ángel Ayuso Guixot, M.C.C.J. salah satu pihak yang ikut mempersiapkan dokumen itu mengkisahkan tentang komitmen Gereja Katolik untuk terus menerus menjaga persaudaraan lintas agama.

Ia mengucapkan terimakasih untuk apresiasi yang diberikan kepada niat bersama untuk menjaga persaudaraan.

Ia menekankan kenyataan bahwa kita hidup dalam pluralisme agama yang ditandai dengan terus berkembangnya konflik atas nama agama di satu sisi dan juga perkembangan diskriminalisasi di sisi yang lain.

Kita berkomitmen untuk berjalan bersama untuk menghadapi situasi ini karena Tuhan menciptakan kita dengan perbedaan bukan untuk saling terpisah, tetapi supaya perbedaan menjadi dasar persatuan kita.

Kita harus bekerja bersama dalam berbagai cara mempromosikan persaudaraan dan menghidupinya dalam hidup konkret sehari-hari.

Ungkapan ketiga tokoh ini menunjukkan kepada bahwa perjuangan untuk hidup bersama yang damai adalah sebuah panggilan kemanusiaan.

Artinya, perdamaian sedang diperjuangkan bersama. Kesadaran bahwa kita hidup di dalam perbedaan di banyak tempat melahirkan konflik dan permusuhan, tetapi bagi banyak pribadi, perbedaan itu dijadikan dasar untuk persaudaraan.

Penghargaan kepada pribadi-pribadi yang memperjuangkan damai dengan dasar ajaran agama atau kelompok keagamaannya masing-masing dalam penganugerahan gelar honoris causa ini menjadi tanda bahwa damai dan persaudaraan adalah kerinduan kita bersama.

Kardinal Ayuso Guixot dari Vatikan saat bertemu dengan wartawan Katolik Indonesia di Nunciatura Kedubes Vatikan Jakarta, Sabtu 11 Februari 2023. (Mathias Hariyadi)

Dialog sebagai jalan

Peristiwa penganugerahan honoris causa tersebut menjadi salah satu tonggak penting yang menggarisbawahi kontribusi agama-agama untuk damai yang diperjuangkan bersama.

Saya suka menyebutnya sebagai Damai Kita Bersama. Dalam hal ini, tidak ada damainya orang Islam, Hindu, Buddha, Katolik, Hindu, Konghucu atau kelompok keagamaan yang lain. Yang ada adalah damai bersama.

Damai yang dibagikan bersama itu menantang agama-agama untuk saling berkontribusi untuk membagi perdamaian. Yang satu berkontribusi mendidik anak-anak di sekolah; yang lain mengupayakan kesehatan dengan mendirikan rumah sakit dan berbagai klinik; yang lain lagi menggerakkan beberapa pribadi untuk terhindar dari kemiskinan dengan memberi bantuan kepada yang membutuhkan.

Di balik itu semua, agama-agama berkontribusi melahirkan orang-orang yang tahu berbelarasa, mengampuni, mengasihi atau peduli kepada sesama.

Perjuangan bersama untuk kebaikan itu saat ini dikenal sebagai dialog. Dari etimologinya, kata “dialog” berasal dari bahasa Yunani: dia (antara, di antara); dan legein (berbicara, bertukar pikiran dan gagasan.  Secara harafiah, kata ini menunjuk kepada percakapan, bertukar pikiran dan gagasan bersama.

Dalam konteks relasi antar agama, dialog sering kali dihindari karena dianggap sebagai mengurangi kesetiaan kepada agama.

Peristiwa penghargaan kepada tokoh-tokoh berkontribusi untuk perdamaian di tingkat internasional ini menjadi modal sekaligus panggilan bagi usaha-usaha perdamaian di negeri ini. Kita memiliki modal persaudaraan yang diakui dan diperjuangkan bersama.

Sementara, kita sedang dipanggil untuk menggandeng semakin banyak orang untuk berkomitmen sungguh menjaga damai yang jelas-jelas menjamin kemanusiaan di masa yang akan datang.

Di negeri ini, di tempat di mana damai kita perjuangkan, genderang permusuhan tiada henti juga digaungkan. Jangan kita biarkan persaudaraan, damai dan kasih sayang menjadi tinggal kenangan yang hanya bisa didongengkan.  

Kembali kepada pemikiran Samuel Huntington tentang agama yang diprediksi akan menjadi sumber konflik, rupanya di mana-mana saat ini agama-agama bekerjasama bahu membahu memperjuangkan damai.

Damai yang diperjuangkan itu bukanlah damai milik pribadi atau kelompok agama tertentu, melainkan Damai Kita Bersama, damai yang kita perjuangkan dan kita nikmati bersama.  

Martinus Joko Lelono, imam Katolik; pengajar Kajian Agama dan Dialog Universitas Sanata Dharma.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version