MASA liburan telah usai. Para frater Seminari Tahun Orientasi Rohani St. Laurensius Ketapang, Kalbar, segera beranjak menuju Kota Malang di Jatim.
Setelah berkutat dalam pembimbingan rohani selama setahun, atas rekomendasi Kuria Keuskupan Ketapang, maka kami diizinkan melanjutkan studi di STFT Widya Sasana Malang.
Untuk tahun-tahun selanjutnya, kami tinggal dan di Seminari Tinggi Interdiosesan San Giovanni XXIII, Malang, Jatim.
Harus ada surat bebas Covid-19
Hal yang tak terbayangkan dalam benak kami adalah bagaimana kami dapat melaksanakan perjalanan ini, sementara kondisi pandemi malahan berkembang semakin merajalela.
Kami dihadapkan pada kondisi PPKM. Ada aturan baru tetap memungkinkan melakukan perjalanan, namun dengan syarat penumpang wajib menunjukkan Surat Vaksinasi I dan Surat Tes Antigen, apabila menggunakan jalur kapal laut.
Atau surat Tes PCR, apabila menggunakan jalur udara.
Beranjak dari situ, penulis berusaha mencari jalur alternatif perjalanan. Mulai dari tiket kapal rute Pontianak-Semarang.
Namun dibatalkan karena status PPKM.
Selanjutnya, jalur alternatif kapal rute Kumai-Surabaya. Tersedia, namun terkendala jalur transportasi darat menuju Kumai, Kalimantan Tengah.
Sementara kebingungan, Tuhan menunjukkan jalan ketika seseorang menghubungi penulis dan mengatakan bahwa penelpon adalah supir travel yang akan mengantarkan ke Air Upas, Ketapang.
Air Upas adalah wilayah paroki Keuskupan Ketapang yang lokasi paling jauh dari “pusat kota” dan malah sudah dekat wilayah administatif pemerintahan Provinsi Kalimantan Tengah.
Dalam kebingungan, supir travel tersebut akan mencarikan alternatif ke Pangkalan Bun melalui travel lain yang ada di Air Upas.
Karena siang akan dijemput, maka saat itu juga penulis menuju RS Fatima untuk melakukan tes antigen, karena surat tes ini berlaku hanya 1×24 jam dengan estimasi perjalanan sehari.
Karena siang esoknya surat tes tersebut masih berlaku, sementara jadwal Kapal Dharma Kencana III Kumai berangkai menuju Surabaya pukul 08.00 pagi. Sementara dites antigen, penulis agak ketar-ketir cemas karena sedang mengalami pilek.
Puji Tuhan, hasil tes menunjukkan negatif dan hasil test dikirimkan ke aplikasi eHAC Indonesia di dalam ponsel.
Karena belum terbayangkan akan beranjak menuju Malang seorang diri, penulis terdiam sejenak pada perjalanan seharian ke depan.
Vaksinasi sudah, antigen juga sudah.
Menuju Air Upas
Dengan demikian syarat perjalanan telah tercapai. Sementara itu, penulis menghubungi bagian tiket di Kumai, pembelian tiket tidak dapat dilakukan melalui aplikasi DLU (Dharma Lautan Utama) seperti biasanya.
Dalam kebimbangan, penulis berpikir kembali apakah bisa memperoleh tiket kapal pada pagi harinya saat penulis berada di Kumai.
Mobil travel sudah tiba. Dan tanpa pikir panjang dan naik saja ke dalam mobil dengan kepercayaan bahwa penulis pasti bisa melakukan ini.
Penulis bawa doa perjalanan ini dan menyerahkannya kepada Tuhan.
Perjalanan cukup panjang dari pukul 11.00 siang dan tiba di Air Upas sudah pukul 22.00 WIB.
Sepanjang jalan, lautan debu tebal menjelma menjadi kabut. Karena kendaraan-kendaraan besar seperti truk dan tronton melaju searah dengan kecepatan penuh pada jalanan tanah (bukan aspal), sehingga debu-debu beterbangan menutupi pandangan.
Walaupun ada juga jalanan aspal, tetap saja setelahnya, jalanan tanah dan berlubang menciptakan debu-debu yang membuat semua badan kendaraan menjadi kekuningan.
Sesampainya di Air Upas, penulis berhenti dan bertanya kepada Bang Berto, supir travel yang mengantar penulis. Ia tak henti-hentinya mencari supir travel lain yang hendak mengantar penulis menuju Pangkalanbun.
Syukurlah, ada satu mobil travel yang memang akan berangkat menuju Pangkalanbun dan penulis mengikuti rombongan mereka.
Ada rasa cemas dan bimbang, karena penumpang mobil cukup sesak dan penulis duduk di tengah-tengah.
Penulis mengenakan pengaman ganda; masker dua lapis dan face shield. Tidak hanya itu, penulis berkali-kali mengenakan hand sanitizer untuk berjaga-jaga demi hasil test antigen berikutnya.
Jalanan sangat mulus dari Air Upas menuju Pangkalanbun, hanya saja kami tiba di Pangkalanbun sudah dini hari sekitar pukul 03.00 pagi.
Menuju Kumai
Penulis agak sedih, karena ada satu pasangan yang akan menuju Flores, tetapi mereka berdua belum melakukan vaksinasi sehingga ketika di Pangkalan Bun.
Maka, pihak travel tidak dapat membantu, karena itu merupakan syarat utama untuk berangkat menuju luar kota.
Pagi-pagi buta, penulis bangun dan bersiap berangkat menuju Kumai dari Pangkalan Bun. Namun salah satu karyawan travel mengatakan bahwa hasil tes antigen penulis tidak berlaku, dan dia enggan mengantar penulis menuju Kumai.
Alhasil, terjadi adu argumen antara penulis dan karyawan travel tersebut.
Penulis meyakini bahwa hasil rapid tes antigen tersebut masih berlaku sesuai ketentuan PPKM.
Penulis selanjutnya menghubungi DLU Kumai dan mereka mengatakan untuk datang langsung ke kantor mereka.
Penulis kemudian menunjukkan pesan tersebut kepada karyawan travel dan akhirnya adu argumen selesai.
Penulis diantar juga menuju Kumai, walaupun karyawan tersebut terlihat agak terpaksa.
Dalam benak, penulis berpikir kembali, ada tantangan apa lagi saat penulis berada di Kumai.
Hanya sekedar pikiran buruk, ternyata pemesanan tiket berjalan lancar oleh pihak penjual tiket.
Penulis berkata dalam hati, jika tadi penulis tidak mampu mengutarakan argumen, mungkin penulis tidak bisa sampai ke Malang.
Kumai-Surabaya dengan kapal
Di atas Kapal Dharma Kencana III Kumai Surabaya, penulis dapat mengistirahatkan sejenak kegelisahan. Tak dapat dibayangkan, ternyata sudah duduk leluasa di dalam kapal setelah berjam-jam dalam ketidakpastian.
Perjalanan ini seperti keajaiban di mana Tuhan sendiri ikut serta bersama penulis.
Penumpang kapal terlihat sangat sedikit, sehingga banyak ruang untuk semua orang. Namun penulis tetap pada kewaspadaan di awal, saat ini sedang pandemi, tetap harus waspada pada situasi.
Penulis berusaha untuk tetap berada di dalam kabin tempat tidur dan tidak ke mana-mana selama di kapal, kecuali menuju toilet dan lekas mencuci tangan serta mengoleskan hand sanitizer saat kembali menuju kabin.
Belum lepas dari kewaspadaan, semakin larut malam, ombak lautan semakin besar dan cukup kuat untuk mengguncang isi perut.
Penulis berkali-kali terbangun karena merasa pusing akibat terjangan ombak. Beberapa penumpang terlihat tidur dengan pulas, dan penulis teringat pada kejadian di mana perahu yang ditumpangi Yesus dan para murid diterjang oleh ombak dan badai.
Tuhan Yesus tetap tidur dengan pulas di buritan perahu. Karena hal itu, penulis kembali tidur dan akhirnya ombak kapal yang menerjang semalam-malaman pun reda.
Pagi hari, dari balik jendela penulis melihat air laut yang sudah teduh sekali. Sudah terlihat beberapa kapal terapung-apung di sekitar dermaga.
Penulis pikir, kapal akan segera berlabuh di Tanjung Perak, ternyata belum juga berlabuh. Sampai siang hari pukul 10.00, kapal baru berlabuh di dermaga.
Penulis tidak langsung menuju Malang tetapi singgah menuju Klinik Brimob untuk melakukan test antigen dengan hasil tetap negatif.
Puji Tuhan.
Akhirnya sampai juga di Malang
Barulah setelah semuanya diurus dengan baik, istirahat sejenak, penulis menuju Seminari Tinggi San Giovanni XXIII Malang sebagai salah satu saudara baru yang akan menapaki perutusan pendidikan di STFT Widya Sasana Malang.
Perjalanan yang penulis lakukan memang terkesan biasa-biasa saja. Namun menjadi luar biasa karena terjadi di masa PPKM.
Kewaspadaan menjadi kunci perjalanan yang penulis lakukan. Selain berusaha untuk waspada, sisa-sisa kemustahilan penulis serahkan di dalam doa.
Segala kecemasan dan ketakutan yang penulis alami dipasrahkan kepada Tuhan Yesus.
Dalam perjalanan ini penulis merefleksikan bahwa sesungguhnya Tuhan akan selalu menyertai kita apabila kita senantiasa percaya kepada-Nya.
Boleh kita merasa takut atau cemas, ragu atau bimbang, semua sisi kemanusiaan itu melekat dalam kedagingan kita.
Namun di antara lemahnya kedagingan, ada sisi Roh kita yang sanggup berbicara kepada Tuhan.
Dia akan mengulurkan tangan-Nya, menjamah ketakutan, kecemasan, kelemahan dan hal-hal mustahil yang kita alami menjadi keyakinan, keberanian, kekuatan dan keajaiban yang boleh terjadi dalam hidup kita.
Melalui orang-orang yang ada di sekitar kita, Tuhan bekerja dan menunjukkan kehadiran-Nya pada segala hal.
Dan perjalanan ini menguatkan penulis untuk senantiasa mengandalkan Dia yang selalu menyertai hidup kita sesuai janji-Nya yang tak terbatalkan; “Aku akan menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman.” (bdk. Mat. 28:20).
(Berlanjut)