
MEMPERINGATI 10 tahun Ensiklik Laudato Si’, komunitas Gerakan Laudato Si Indonesia bersama Keuskupan Bogor di Sentul City, 5-7 September 2025, mengajak kita semua untuk kembali mengakar pada nilai-nilai biblis dan kearifan tradisi; khususnya Tahun Yobel dalam sejarah tradisi Israel kuno. Perayaan ini menjadi momentum untuk “Reconnect, Learn, Celebrate” atau menyambung kembali relasi dengan bumi, belajar dari kebijaksanaan iman, serta merayakan panggilan menuju ekologi integral.
Hari Sabat, Tahun Sabat, dan Tahun Yobel
Tahun Yobel punya akar sejarah kuat dalam praktik Sabat yang selalu setia dirayakan oleh segenap suku-suku Israel kuno. Tahun Yobel menjadi inspirasi utama dalam peringatan Tahun Yubileum 2025. Dalam tradisi itu, Hari Sabat dan Tahun Sabat bukan sekadar aturan religius, melainkan wujud kearifan sosial dan ekologis
Hari Sabat sebagaimana tercantum dalam Sepuluh Perintah Allah- dipahami sebagai hari untuk berhenti bekerja atau beristirahat. Ini dilakukan demi upaya melakukan pemulihan semua ciptaan; termasuk para hamba, semua hewan binantang dan tak terkecuali juga menata kembali pola hubungan manusia dengan Tuhan.
Demikian pula, Tahun Sabat sebagaimana dicatat dalam Kitab Keluaran (23:10-11) mewajibkan kita membiarkan tanah bisa “beristirahat:. Dan pada hari itu, hasil spontan dari tanah juga harus dibagikan bagi kaum miskin papa dan juga kepada segenap binatang liar. Tak kalah penting adalah mempraktikkan sikap bersedia melakukan pembebasan terhadap para budak Ibrani dari ikatan perhambaan.

Tahun Yobel dirayakan setiap 50 tahun sekali setelah 7 kali Tahun Sabat
Puncak dari praktik tersebut adalah Tahun Yobel. Ini dirayakan setiap 50 tahun; setelah tujuh kali perayaan Tahun Sabat. Pada momen ini, akan terjadi dua hal penting ini:
- Rumah dan ladang yang pernah dijual karena pemiliknya pernah terlilit hutang akan dikembalikan oleh yang memberi piutang kepada pemiliknya asilnyaa.
- Sementara orang-orang miskin yang menjadi selama ini bekerja menjadi hamba harus dibebaskan dan kemudian dipulangkan ke tanah warisannya (Im 25:28, 31).
“Tahun Yobel bukan hanya ritus keagamaan, melainkan sebuah kearifan ekologis dan sosial yang menjaga kesetaraan masyarakat, memulihkan kemerdekaan warga, serta menegaskan martabat Israel sebagai umat yang dibebaskan Tuhan,” terang Romo Martin Harun OFM – anggota tim refleksi Perayaan Nasional 10 Tahun Ensiklik Laudato Si’ dalam gelaran hari pertama di Sentul City, Jumat 5 September 2025.
Dalam lintasan sejarah Gereja, semangat Yobel dan pewartaan para nabi menemukan puncaknya dalam diri Yesus Kristus. Dan hal ini lalu diteruskan oleh figur-figur Orang Kudus seperti Santo Fransiskus dari Assisi. Dan pada akhirnya menjadi seruan global melalui Ensiklik Laudato Si’ yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus tahun 2015.

Penutup
Perayaan Nasional Gerakan Laudato Si 10 tahun Ensiklik Laudato Si’ sekaligus menyiapkan umat menyongsong Tahun Yubileum 2025 yang bertema Peziarahan Harapan.
Dengan menimba inspirasi dari tradisi Yobel, Gereja diajak untuk tidak hanya merayakan, tetapi juga mewujudkan pembaruan sosial, ekologis, dan rohani.
Semangat “Reconnect, Learn, Celebrate” menjadi ajakan agar seluruh umat beriman terus menjaga bumi sebagai rumah bersama, memulihkan relasi dengan sesama, serta meneguhkan harapan akan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan. (Berlanjut)