Home BERITA In Memoriam Pastor Albertus Smit MSC, Cinta Besar terhadap Seminari Menengah Kakaskasen...

In Memoriam Pastor Albertus Smit MSC, Cinta Besar terhadap Seminari Menengah Kakaskasen di Tomohon (2)

0
RIP Pastor Albertus Smit MSC (1940-2022), Misionaris MSC Terakhir di Keuskupan Manado. (Dok. MSC)

PENULIS awal pertama mulai mengenal sosok almarhum Pastor Albertus Smit MSC di tahun 1967 silam. Itu terjadi, ketika penulis baru saja memulai kelas Sexta (kelas II SMP) tahun 1967.

Saat itu, almarhum Pastor Smit SMC baru tiba dari Negeri Belanda. Ditugaskan di Seminari Menengah Kakaskasen di Tomohon, Sulut, untuk mulai mengajar bahasa Latin. Kepada penulis dan para siswa seminari menengah di Tomohon.

Perhatiannya pada pendidikan para seminaris di Kakaskasen di Tomohon sungguh luar biasa besarnya. Juga passion-nya terhadap pelajaran bahasa Latin. Dan itu senantiasa selalu memenuhi seluruh bakti hidupnya sampai beliau meninggalnya.

Sungguh suatu hidup yang mulia

Dan berikut ini penulis sampaikan catatan kecil yang pernah ditulis oleh Pak Handry Pitoy tahun 2018 lalu. Tulisan lama karya Pak Handry ini pernah terbit di Majalah Hidup beberapa waktu silam.

Ada baiknya dan demi mengenang karya dan hidup almarhum Pastor Albertus Smit MSC yang kita cintai dan sangat hormati, kita paparkan tulisan in memoriam Pak Handry Pitoy akan sosok almarhum Pastor Albertus Smit MSC.

RIP Pastor Albertus Smit MSC, imam misionaris Belanda terakhir di Keuskupan Manado. (MSC)

Tulisan lama di Majalah Hidup

Catatan kecilku tentang Pastor Albertus Bernardus Geraradus Joseph Smit MSC, saat almarhum merayakan 50 tahun berkarya di Keuskupan Manado; khususnya di Seminari kakaskasen.

Saya beri judul tulisan ini: Emas Sang Pendidik.

Almarhum Pastor Albertus Smit MSC telah mengukir tinta emas berkarya di Keuskupan Manado. Semua berkat cinta Kristus yang mendorong dan menguatkan, katanya.

Abi (nama panggilan akrab almarhum Pastor Smit MSC di kalangan kerabat dan keluarganya) mungkin tidak akan pernah menginjakkan kaki di Indonesia, seandainya tak ada seorang dermawan yang mendanai pendidikannya di seminari.

Mungkin juga cita-citanya menjadi imam kandas, jika tak ada bantuan itu. Sebab, kalau hanya mengandalkan gaji ayahnya, Johan Simon Bonaventura Smit, sebagai buruh di pabrik tekstil di Negeri Belanda waktu itu tidak akan pernah cukup.

Sang ibu, Gerritdiena Siemerink, punya pekerjaan pokok di keluarga yakni mengurus keluarga saban hari. Sementara Abi memiliki enam adik; satu adiknya telah lama meninggal.

Mengalami luka serius karena kuda mengamuk

Sebelumnya, ada insiden yang tak lengkang dalam ingatan Abi kala beliau. Tentang insiden kecelakaan yang menimpa dia, ketika seekor kuda gila mengamuk dan kemudian menginjak-injak tubuhnya.

Abi mengalami luka berat karena kejadian nahas itu. Ia terluka di sejumlah bagian tubuhnya. Beberapa tulang pun patah. Beruntung nyawanya tertolong, meski sempat dirawat beberapa bulan di rumah.

Gua Maria

Sejak kecil, Abi bercita-cita menjadi imam. Ia masuk TK milik Suster Ordo Pengkotbah (Ordo Praedicatorium atau OP). Gambaran dan pola hidup kaum berjubah ia ketahui dari gurunya, Sr Hermana OP dan Sr Dionysia OP.

Tak jauh dari sekolah, ada Gua Maria Lourdes. Bocah kecil bernama asli Albertus Bernardus Gerardus Josep Smit begitu takjub melihat gua itu. Gua itu menjadi salah satu tempat favoritnya.

Frater termuda
Begitu lulus seminari, Frater Smit masuk skolastikat Tarekat Misionaris Hati Kudus Yesus (Missionarii Sacratissimi Cordis atau MSC) di Belanda.

Ia adalah frater termuda di antara kawan-kawan seangkatannya.

“Takdir” itu kerap membuat calon imam kelahiran Goor, Overijsel, di Belanda, 22 Maret 1940 seperti “anak tiri”.

Beberapa contoh, kenangnya, pada saat ujian akhir negara, semua kolega sudah merampungkan ujian, sementara dirinya belum mendapat giliran. Kemudian, ketika teman-temannya sudah ditahbiskan, ia bersama tiga rekan harus menunggu.

Pimpinan tarekat menunda tahbisan mereka.

Frater Smit MSC tak mengeluh atau marah menerima perlakuan tersebut. Ia menyadari perjalanan panggilan bukan seperti lomba lari, di mana ada garis start dan finish. Ia percaya, jika Tuhan sudah berkehendak kepada umat-Nya maka semua akan terjadi.

Pada 2 Mei 1965 kehendak Tuhan terwujud. Abi menerima Sakramen Imamat dan ditahbiskan menjadi imam.

Sabar dan tekun

Kesabaran Frater Smit juga terlihat ketika kuliah teologi di Stein, Belanda. Selama studi, mereka tinggal di dua bangunan berbeda, di rumah baru dan lama. Kondisi kamar-kamar di bangunan baru bagus, berbeda dengan di bangunan lama.

Frater Smit menempati bangunan jadul. Kamarnya tidak berjendela. Ia tak keberatan, pikirnya, tahun depan setiap penghuni kamar akan bergantian: mereka yang tinggal di bangunan lama pindah ke bangunan baru.

Begitu pun sebaliknya.

Ternyata, proses perpindahan itu tak berjalan mulus. Tak ada seorang rekannya yang mau tinggal di kamar Frater Smit. Ia tak kecewa.

Frater Smit ikhlas tinggal di kamar yang sama hingga merampungkan studi teologi.

Begitu juga saat pimpinan tarekat menunjuknya menjadi misionaris di Indonesia.

“Saya katakan kepada pimpinan. Saya siap ke Indonesia untuk mengajar bahasa Latin kepada seminaris di sana,” ungkap Pastor Smit MSC di ruang kerja sekaligus kamarnya di Seminari Menengah St Fransiskus Xaverius Kakaskasen, Tomohon, Keuskupan Manado, Sulawesi Utara.

RIP Pastor Albertus Smit MSC dengan kendaraan motor Honda CB-100 nya yang dia sukai sampai akhir hayatnya. (Dok. MSC untuk Sesawi.Net)

Tak kenal

Pastor Smit MSC tak pernah mengenal Indonesia. Ia tiba di tanah asing ini pada 1967.

“Saat Abi Smit MSC datang, saya di kelas Poesis, Pastor Agus Sumaraw di kelas Rethorica, sedangkan Pastor Piet Tinangon di Probatorium,” kenang Provinsial MSC Indonesia, Pastor Yohannes Herman Joseph Luntungan MSC, pada kesempatan meratakan pesta emas 50 tahun Pastor Smit MSC berkarya di Seminari Kakaskasen, Desember lalu.

Pastor Smit MSC mengenang, ketika menginjakkan kaki pertama kali di Sulawesi Utara, kondisi ekonomi Indonesia, termasuk di tanah misi barunya itu, sedang sekarat.

Di Taratara, misalkan, sebenarnya masyarakat di sana tidak miskin. Mereka bisa makan dengan cukup. Tetapi, terang Pastor Smit MSC, uang tunai tak beredar kala itu.

Aroma Gerakan 30 September 1965 juga masih kuat terendus. Banyak tentara berkeliaran dan membawa senjata. Ketakutan begitu rapat membungkus masyarakat.

Moda transportasi pun langka. Tak pelak lagi, saban hari Pastor Smit melihat orang berjalan kaki dari satu daerah ke daerah lain. Kondisi seperti ini amat membebani para pedagang.

Sudah berjalan amat jauh, mereka masih memikul barang dagangan yang beratnya kadang sungguh tak terperikan.

Tak hanya para pedagang, Pastor Smit juga jalan kaki untuk melayani umat. Selain berkarya di seminari, Miki –panggilan seminaris kepada Pastor Smit– juga melayani Paroki St. Antonius de Padua Taratara dan Paroki St Antonius de Padua Tataaran.

Tiap Sabtu, begitu menyelesaikan tugas di seminari, Miki berjalan kaki ke paroki. Bila lelah, ia melepas penat di Kobong Pece (Sawah).

Berkarya di sejumlah tempat tentu menguras banyak tenaga. Namun, Miki melaksanakan semua perutusan tersebut dengan senang hati.

Rektor Suster Karmel selama 25 tahun

Lagi pula sejak awal, Miki pernah meminta kepada Uskup Manado pada waktu itu, Mgr. Nicolas Verhoeven MSC (1896-1981), dirinya bersedia memegang paroki, selain di seminari.

Semula Mgr. Verhoeven keberatan, sebab tugas di seminari juga banyak. Tapi, karena kegigihan Pastor Smit, sang uskup pun membuka pintu.

“Kalau memang kamu mau dan bersedia, baiklah kamu bisa pegang paroki,” ujar Pastor Smit MSC waktu itu, sembari mengutip pendapat Mgr. Verhoeven.

Seiring waktu, para Suster Karmel meminta Pastor Smit menjadi rektor di komunitas. Mula-mula, ia keberatan karena banyak tanggungjawab yang dipikulnya.

Pada suatu ketika, pengganti Mgr. Verhoeven yakni Mgr. Theodorus Hubertus Moors MSC (1912-2003) meminta Pastor Smit MSC agar bersedia menerima permintaan Suster Karmel.

Demi ketaatan kepada uskup, Pastor Smit MSC akhirnya bersedia mengemban tugas baru tersebut. Ia menjadi rektor Suster Karmel sekitar 25 tahun.

Jasa besar

Selama 50 tahun berkarya di seminari, ada banyak anak didik yang merasakan jasa besarnya. Satu siswanya bahkan menjadi gembala utama di keuskupan tempatnya berkarya, yakni Mgr Benedictus Estephanus Rolly Untu MSC.

Berkat jasa sang guru, alumni Seminari Kakaskasen, Confraternitas Kimentur menggelar perayaan syukur di tempatnya mengabdi selama setengah abad.

Di hadapan mantan siswa, Miki berpesan demikian.

“Kalau kita punya cita-cita, maka semuanya bisa dilalui dengan baik. Namun, bila tidak ada cita-cita, orang akan lari saat mengalami kesulitan. Kalau kita ada semangat dan idealisme, maka kita akan mengatasi segala macam kesulitan.”

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version