Kamis. Minggu Biasa XI, Hari Biasa (H)
- 2Kor 11:1-11
- Mzm. 111:1b-2.3-4.7-8
- Mat. 6:7-15
Lectio
7 Lagi pula, ketika kamu berdoa, janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa dengan banyaknya kata-kata, doanya akan dikabulkan. 8 Jadi, janganlah seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya.
9 Karena itu, kamu harus berdoa begini: Bapa kami yang di surga, dikuduskanlah nama-Mu, 10 datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga. 11 Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya
12 dan ampunilah kami, seperti kami pun mengampuni orang yang bersalah kepada kami; 13 dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. (Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.)
14 Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga. 15 Namun, jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.”
Meditatio-Exegese
Dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele
Secara berurutan, Yesus mengecam dua sikap hidup yang tidak disukai Allah: bertindak munafik dan berdoa bertele-tele. Kedua sikap hati yang sangat dibenci Allah tak hanya tumbuh subur di kalangan orang yang tak mengenal Allah, tetapi juga di komunitas yang dibangun Yesus, Gereja.
Ia mengecam doa-doa yang disusun dengan kata-kata yang berulang-ulang, disusun dari kata-kata terpilih dan berbunyi indah, gaya bahasa yang menyentuh hati. Doa semacam ini dianggap menarik perhatian Allah, seperti praktek di pengadilan untuk meringankan hukuman.
Mungkin penulis Injil Matius mengingat penyair Yunani, Battus, yang sering mengulang-ulang kata dalam karya puisinya. Maka ungkapan βαττολογησητε, battologesete, bermakna: bertele-tele, sia-sia, berulang-ulang, bodoh.
Yesus pasti mengingat kisah Nabi Elia saat mengejek cara para nabi palsu meminta Dewa Baal menerima persembahan lembu mereka. Katanya, “Panggillah keras-keras, bukankah dia allah? Mungkin ia sedang merenung, mungkin ada urusannya atau ia sedang bepergian.” (1Raj. 18:27).
Yesus tidak melarang doa-doa panjang dan berlangsung lama. Ia sendiri menghabiskan waktu semalaman untuk berdoa. Kepada para murid-Nya, Ia mengingatkan untuk berdoa dengan tidak jemu-jemu (Luk. 18:1) dan Santo Paulus juga menasihati untuk berdoa terus menerus (1Tes. 5:17; Kol. 4:2).
Yesus tidak melarang doa lisan yang diulang. Di Taman Getsemani, Ia berdoa agar dilepaskan dari pencobaan (Mat. 26:39), “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku.”, Pater mi, si possibile est, transeat a me calix iste.
Yesus juga mengecam cara doa dengan banyak kata. Ungkapan πολυλογια, polulogia, bermakna banyak kata. Ia memberi teladan untuk mendengarkan sabda Bapa dan melakukannya hingga selesai (Yoh. 19:30).
Ia menghayati nubuat Nabi Yesaya (Yes. 50:4), “Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid.”, excitat mane, mane excitat mihi aurem, ut audiam quasi discipulus.
Doa selalu bertujuan untuk menjalin relasi dengan Allah. Dalam tradisi Gereja dikenal juga doa yang berulang dan panjang, seperti litani dan rosario.
Seluruh doa selalu bertujuan membantu tiap pribadi untuk mengenangkan misteri penebusan Tuhan, ungkapan syukur atas kasih Allah, memohon keteguhan iman penyertaan-Nya dalam hidup sehari-hari.
Dikabulkannya doa sangat tergantung dari kemurahan hati Allah, bukan pada perulangan kata-kata indah. Namun, manusia dituntut untuk berharap, sekali pun tidak ada landasan untuk berharap, seperti Abraham.
Santo Paulus menulis, “Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya” (Rm. 4:18). Ia tahu apa yang baik bagi manusia dan kebutuhan manusia, bahkan jauh sebelum mereka berdoa.
Bapa kami, dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu
Bapa Kami. Doa ini menjadi bagian tak terpisahkan dari Gereja sejak komunitas iman ini terbentuk. Quintus Septimius Florens Tertullianus atau Tertullianus, lahir di Kartago 160, bersaksi bahwa doa ini telah menjadi bagian hidup jemaat pada masanya. Ia menulis, “Doa ini meringkas seluruh inti Injil.” (On Prayer, 1).
Bapa kami yang di surga mengawali untaian doa ini. Dengan kata inilah Yesus mengungkapkan kedekatan-Nya dengan Allah dan menyingkapkan relasi baru yang menjadi ciri khas hidup komunitas Kristen (Gal. 4:6; Rm. 8:15). Santo Matius menambahkan kata sifat pemilikan kami dan ungkapan lain di surga.
Sebagai doa yang sejati, Bapa Kami selalu menyatukan atau menghubungkan para murid Yesus dengan Bapa, sesama saudara dan saudari serta dengan alam ciptaan. Maka, saat mendaraskan doa ini para murid selalu membaharui kesadaran sebagai anggota keluarga umat manusia dan alam semesta.
Murid Yesus, kemudian, dituntut hidup selaras dengan siapa pun yang berbeda latarbelakang dan keyakinan. Mendaraskan Bapa Kami juga bermakna menjalin kedekatan dengan Dia, merasakan kerinduan para saudara dan saudari untuk hidup selaras.
Mendaraskan Bapa Kami menyingkapkan kesadaran untuk pertama-tama mencari Kerajaan Allah. Sabda-Nya (Mat 6:33), “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan keadilan-Nya, dan semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”, Quaerite autem primum regnum Dei et iustitiam eius, et haec omnia adicientur vobis.
Nama, Kerajaan, Kehendak. Pada bagian pertama doa Bapa Kami, para murid-Nya dituntut untuk membaharui relasi dengan Allah. Maka, Yesus meminta untuk memuliakan Nama yang disingkapkan dalam peristiwa keluaran dari Mesir. Bukan nama masing-masing, seperti orang Babel (Kej. 11:4).
Para murid memohon kedatangan Kerajaan-Nya. Hanya Allah yang menjadi pusat dan tujuan hidup manusia, bukan yang lain. Kerajaan dunia dan segala apa yang mendukungnya segera musnah.
Selanjutnya, para murid memohon pemenuhan kehendak-Nya, seperti disingkapkan dalam Hukum yang menjadi pusat seluruh Perjanjian. Para murid mencari, menemukan dan melakukan kehendak-Nya.
Nama-Nya, Kerajaan-Nya dan Hukum-Nya merupakan tiga pilar yang berasal dari Perjanjian Lama dan mengungkapkan bagaimana relasi mesra dengan Bapa harus dijalin.
Tiap murid berusaha keras menjadikan nama-Nya diluhurkan dan dikasihi. Maka, masing-masing hidup secara pantas, sehingga Kerajaan kasih dan persekutuan umat terjadi di bumi seperti dikehendaki-Nya.
Di langit, matahari dan bintang menaati hukum Tuhan dan menciptakan keteraturan. Melaksanakan Hukum Tuhan ‘di bumi seperti di dalam surga’ harus menjadi sumber dan cermin keselarasan dan kesejahteraan seluruh makhluk hidup, yang tinggal di bumi, rumah bersama.
Relasi manusia dengan Allah dapat dirasakan bila tiap pribadi membaharui relasi satu dengan yang lain. Pembaharuan ini menyingkapkan permohonan lain: makanan secukupnya setiap hari, pengampunan dosa, tidak masuk dalam pencobaan dan pembebasan dari yang jahat.
Makanan yang secukupnya, ampunilah kami, janganlah membawa ke dalam pencobaan, lepaskanlah dari pada yang jahat
Melalui empat permohonan, tiap pendoa memohon pembaharuan dan pemulihan relasi yang telah rusak. Struktur sosial komunitas iman dan masyarakat harus diubah agar semua hidup dengan martabat setara.
Makanan yang secukupnya (Mat. 6:11). Umat Israel di gurun menerima dan makan manna dan burung puyuh (Kel. 16:1-36). Bahan makanan yang dianugerahkan itu menjadi ‘ujian’ untuk memastikan apakah umat mampu mengikuti Hukum Tuhan: mengikuti penyelenggaraan Ilahi atau keraskusan (Kel. 16:4)..
Yesus mengundang tiap pribadi untuk menuju Keluaran baru, persekutuan baru yang mampu menjamin hidup bersama yang dipenuhi damai sejahtera dan menjamin makanan yang secukupnya bagi semua (Mat. 6:34; Yoh. 6:48-51).
Apunilah kami (Mat. 6:12) mengingatkan akan tahun Sabat yang mewajibkan seluruh pemberi hutang menghapus hutang seluruh saudara (Ul. 15:1-2). Tujuan Tahun Sabat adalah Tahun Yobel/Yubileum (Im. 25:1-22), yang menghapus segala penindasan dan memulai hidup dengan cara baru.
Janganlah membawa kami ke dalam pencobaan (Mat 6:13). Setelah keluar dari Mesir, karena merasa dimasukkan dalam pencobaan, bangsa Israel melupakan karya agung Allah dan jatuh ke dalam pemberontakan melawan-Nya, bahkan ingin kembali ke Mesir (Kel. 16:1-7; Bil. 20:1-13; Ul. 9:7-29).
Dalam Keluaran baru, pencobaan dapat dikalahkan dengan kekuatan dan kuasa yang dianugerahkan Allah. “Sebab itu, siapa yang menyangka bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh. Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan biasa yang tidak melebihi kekuatan manusia.
Allah itu setia dan tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1Kor. 10:12-13).
Yesus mengundang para murid-Nya untuk menang atas pencobaan seperti dialami-Nya (Mat. 4:1-11). Di gurun, orang sering mengambil langkah lain, berbalik arah, meninggalkan jalan yang menuju pembebasan.
Di gurun, di saat-saat sulit, tidak hanya ditemukan ‘binatang buas’. Saat itu, sering dilupakan malaikat dan, terutama, Roh Kudus. Pada Roh Kudus dimohon untuk membimbing agar dilepaskan dari jerat musuh lama, “Janganlah biarkan kami masuk ke dalam pencobaan”, et ne nos inducas in temptationem.
Lepaskanlah dari yang jahat . Si jahat adalah setan, yang selalu mencobai dan berusaha memisahkan manusia dari Allah. Ia pun mencobai Yesus untuk tidak mengikuti jalan menuju Kerajaan Allah.
Ia memaksa-Nya mengikuti jalan yang dibangun kaum Farisi, Saduki dan ahli Kitab, Herodes dan penjajah Romawi. Ia dipaksa menjadi mesias boneka, mesias ciptaan mereka.
Yang jahat selalu menjauhkan manusia dari Allah dan selalu memasang perangkap di depan kaki. Ia juga merasuki Petrus (Mat. 16:23) dan mencobai Yesus, tetapi dikalahkan-Nya (Mat. 4:1-11). Maka, kepada tiap pribadi Ia berseru, “Kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.” (Yoh. 16:33).
Jikalau kamu tidak mengampuni orang (Mat. 6:15). Tiap orang yang tidak mengampuni kesalahan sesama tidak akan diampuni. Saat mendaraskan Bapa Kami, tiap pribadi mengungkapkan untaian kata doa yang dapat menjadi kutuk atau pengampunan bagi masing-masing.
Ketika bibir mengucapkan, “Ampunilah kami, seperti kami pun mengampuni orang yang bersalah kepada kami.” (Mat. 6:12), kepada Allah diserahkan tolok ukur yang akan diterapkan dalam mengampuni.
Jika seseorang sedikit mengampuni, Allah mengampuni sedikit. Jika ia mengampuni dengan melimpah, Ia mengampuni melimpah ruah. Jika ia tidak mengampuni sama sekali, Ia tidak mengampuni.
Sabda-Nya (Mat. 6:14), “Jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga.”, Si enim dimiseritis hominibus peccata eorum, dimittet et vobis Pater vester caelestis.
Katekese
Bapa kami dan pengampunan pada yang bersalah kepada kita. Santo Yohanes Cassianus, 360-435:
“Belas kasih Allah selalu di luar jangkauan pikiran. Ia menawarkan model doa dan mengajarkan cara hidup agar kita pantas di hadapan-Nya. Tetapi, masih ada lagi yang lebih utama.
Dalam doa yang sama Ia menganugerahkan cara mudah untuk memohon kemurahan hati dan belas kasih atas hidup kita yang menyimpang. Ia memberi kita kemungkinan untuk meneliti batin kita sendiri dan menentukan hukuman atas dosa kita sendiri.
Di samping itu, Ia memberi kesempatan pula untuk memohon pengampunan. Apa lagi yang mungkin Ia lakukan karena kemurahan hati kita ketika kita memohon pada-Nya untuk mengampuni kita seperti kita mengampuni sesama kita?
Bila kita setia dengan doa ini, masing-masing kita akan memohon pengampunan atas kesalahan kita sendiri setelah kita mengampuni dosa mereka yang telah bersalah kepada kita, tidak hanya mereka yang telah bersalah kepada Guru kita. Tentu saja, kita masih memiliki beberapa jenis kebiasaan buruk.
Namun, walau sangat mengerikan, kita memperlakukan dosa-dosa kita terhadap Allah dengan memohon pengampunan dan kelembutan hati-Nya. Sebaliknya, kita tidak memberi perlakuan yang sama dengan dengan kesalahan sesama pada kita. Walaupun kesalahan sangat kecil, kita menuntut pemulihan dengan cara yang keras, bahkan, kejam.
Siapa pun yang tidak mengampuni saudara atau saudari dari lubuk hati yang bersalah padanya hanya akan menerima penghukuman dari doa ini, bukan belas kasih.” (The Gospel Of Matthew, Homily 19.3)
Oratio-Missio
Bapa kami yang ada di dalam surga….
- Apa yang perlu aku lakukan untuk memulihkan relasiku yang rusak dengan sesama dan alam?
Si enim dimiseritis hominibus peccata eorum, dimittet et vobis Pater vester caelestis – Matthaeum 6:14