凡事有度,过犹不及. Fánshì yǒu dù, guò yóu bùjí.
Segala sesuatu ada ukurannya; berlebihan sama buruk dengan kekurangan.
Kebijaksanaan sejati ada pada tahu kapan harus berhenti.
Sambil menyantap kering kentang Mirasa yang sangat enak, Mama Phei berkata: “Anak-anak, mana yang lebih utama, memuaskan lidah yang tak pernah puas, atau menghargai perut yang punya batas?”
Yacintha: Kita patut bersyukur atas rezeki Tuhan, Mama. Tapi bukankah menikmati ciptaan Tuhan juga bentuk pujian pada-Nya?
Mulyadi, tersenyum: Ingat “Mangan ora mangan, sing penting kumpul.” Kebersamaan lebih penting daripada kenikmatan. Dan bila kebiasaan makan berlebih jadi kebiasaan, kita bisa ‘terlena’ pada kenikmatan yang merusak kesehatan.
Mama Phei: 凡事有度,过犹不及. Fánshì yǒu dù, guò yóu bùjí. Segala sesuatu ada ukurannya; berlebihan sama buruk dengan kekurangan.
Kebijaksanaan sejati ada pada tahu kapan harus berhenti.”
Yacintha: Tapi… gimana kita tahu ukuran itu?
Mama Phei: Ukuran itu hasil kebijaksanaan dan kesadaran diri. Makan berlebihan bukan hanya membuat ngantuk, tapi juga menumpulkan batin.
Dyah berbisik: “…Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tak menyukai orang yang berlebihan. Jadi, larangan isrāf bukan hanya soal etika makan, tapi disiplin spiritual.
Mulyadi: Yaaa. “Aja ketungkul marang kalimadu” Jangan terlena pada hal-hal yang manis. Terlalu cinta kenikmatan akan membuat kita tenggelam di dalamnya.'”
Yacintha, merenung: “Makanan untuk perut dan perut untuk makanan, tapi Allah akan membinasakan keduanya. Tubuh bukan untuk percabulan, melainkan untuk Tuhan, dan Tuhan untuk tubuh.’ (1Korintus 6:13, LAI). Tubuh adalah bait Roh Kudus. Bila kita dikendalikan oleh nafsu makan, kita menodai bait itu sendiri.
Mama Phei, tersenyum: Lihat, indahnya keselarasan Timur dan Barat. Katolik menafsirkan tubuh sebagai bait Allah, yang harus dijaga kesuciannya (1Korintus 6:13).
Masyarakat Jawa mengingatkan agar tak terjebak manisnya kenikmatan (Aja ketungkul marang kalimadu).
“Dan orang Tiongkok mengajarkan keseimbangan dan moderasi (凡事有度,过犹不及).”
Mama Phei: Pertanyaannya bukan berapa porsi yang cukup, tapi, apakah kita masih pegang kendali atas diri kita sendiri? Atau justru lidah kita telah mengambil alih kemudi iman kita?”
Ketika kita makan secukup perut, kita bukan hanya menghormati tubuh, tapi juga melatih jiwa. Kita sedang beribadah, pada Tuhan, pada akal, dan pada keseimbangan hidup.”
Puasa lidah adalah ibadah pertama. Karena dari lidah lahir banyak godaan: Kata-kata, rasa, dan keinginan.
Jadi, makanlah secukup perutmu, bukan sepuas lidahmu.”
Ketiga remaja itu terdiam, menatap jendela. Di mata mereka, konsep sederhana itu kini menjadi kebenaran spiritual yang mendalam.
                






































